Much. Khoiri Meroketnya harga minyak dunia berdampak pada komoditas pangan. Menurut divisi Pangan Dunia PBB, harga pangan naik 40% dalam 9 bulan terakhir. Stok pangan dunia mencapai posisi terendah dalam 30 tahun terakhir, jagung 11 tahun terakhir, kedelai 35 tahun terakhir, beras 20 tahun terakhir, dan gandum 50 tahun terakhir. Sementara, produksi nasional anjlok, dan kita benar-benar terancam kiris beras. Daya beli pun anjlok, hidup terasa tak pasti.
Ketidakpastian sosio-ekonomi itu mau tak mau mempengaruhi tatanan sosial peradaban. Tumbuhlah perubahan mendasar dalam cara memandang hidup dan masa depan. Hidup kini dan mendatang lebih dimaknai secara mikroskopis dan fragmental.
Agaknya sebagian kita kini sedang berproses menjadi masyarakat miskin baru, bahkan masyarakat primitif baru, yakni masyarakat yang terbangun atau terkonstruksi dalam kondisi miskin dan termiskinkan oleh kemelut krisis (pangan) global dan dampak hegemoniknya. Wadahnya canggih, tapi sistem konstruksinya memiskinkan.
Masyarakat primitif baru ini “metamorphosis” dari masyarakat primitif konvensional dengan ciri pemerlain versi baru. Sistem nilai, tradisi, pola perilaku, taraf hidup, serta penerapan etika hukum dan moral mengalami kemerosotan kualitas. Ada semacam devaluasi taraf kehidupan dan penghidupan yang berdampak luas pada relasi antar sesama dan alam.
Mungkin terlalu ekstrem mereka disebut masyarakat primitif baru. Toh nyatanya kita hidup di abad modern dan/atau posmo serbacanggih yang nyaris resisten terhadap predikat keprimitifan. Namun, gejala-gejala sosiokultural yang mengarah ke predikat primitif baru itu makin jelas membayang.
Pertama, penghidupan tak lagi ditopang potensi alam, tapi lebih oleh ketergantungan pada putaran pangan. Terlebih posisi negeri kita inferior di mata dunia. Negeri ini telah masuk ke dalam hegemoni kultural-intelektual negara-negara superior, termasuk hegemoni akibat ekonomi politik internasional. Potensi alam kita kian tak berdaya.
Kian sempitnya lahan pertanian, krisis pangan global, dan besarnya populasi memperkuat ketergantungan itu. Begitu putaran pangan goyah dan daya beli anjlok, hancurlah penghidupan kita. Nyaris tak ada sisa keyakinan untuk mandiri dalam urusan pangan sekalipun.
Kekayaan alam kita sudah dikuras habis-habisan oleh segelintir oknum, rakyat hanya kebagian mengais sisa-sisanya. Mayoritas rakyat gagal berswasembada pangan, malah “terpaksa’ menjadi konsumen sejati pangan impor. Terbukti, selama ini beras impor—kebijakan safety valve pemerintah yang diklaim ‘mujarab’—lebih mendominasi pasar daripada beras petani sendiri.
Selain itu, kerawanan pangan juga merambah masyarakat urban di kota-kota besar yang tak jelas pekerjaannya. Jasa tenaga mereka tak lagi banyak dibutuhkan orang, melipatkan jumlah pengangguran. Berbagai program pengentasan kemiskinan belum banyak membuahkan hasil signifikan.
Meningkatlah jumlah orang kelaparan. Akibatnya, tiap waktu kita mendengar berita tentang generasi putus sekolah, anak-anak gizi buruk, bayi-bayi tak terawat sewajarnya. Belum lagi melonjaknya jumlah anak jalanan, serta dampak sosial lainnya.
Kedua, kehidupan sosial mengalami perubahan mendasar dan diliputi kegamangan. Taraf hidup mengalami degradasi. Strata sosial tidak hanya meliputi strata atas, menengah, dan bawah, namun bertambah satu lagi: strata bawah ke bawah. Strata terakhir ini terbatas tak hanya dalam aspek sosioekonomi, tapi juga dalam seluruh aspek kehidupan.
Daya beli masyarakat strata atas dan menengah terhadap barang-jasa pun ikut anjlok. Secara kualitatif, mereka juga sedang menjadi ‘miskin’ dan ‘termiskinkan’, meski berkamuflase seakan tak sedang mengalaminya. Alangkah terpuruknya daya beli strata bawah dan strata bawah ke bawah. Awan depresi lebih kelam akibat post-welfare syndrome.
Kegamangan itu menciptakan pesimisme melihat masa depan. Optimisme telah mulai kehabisan nafas. Jangankan yang tak berkeahlian, yang berpendidikan cukup pun kelimpungan. Yang sudah bekerja juga mulai ketir-ketir akan karirnya. Masa depan tak ubahnya bayang-bayang ilusi yang sulit dinalar.
Dus, perlu ketabahan hati untuk sekedar membayangkan, bagaimana corak kehidupan masa depan generasi putus sekolah, anak-anak gizi buruk, bayi-bayi tak terawat sewajarnya, dan anak jalanan yang dianggap sampah di mata ketertiban lingkungan.
Ketiga, jika masyarakat primitif konvensional tersisihkan, mereka masih disayangi alam; namun masyarakat primitif baru tidak demikian. Tersisihkan berarti kelaparan atau mati, sebab alam tidak lagi menyediakan bahan makan gratis. Terlebih alam belakangan sedang “tak bersahabat”: bencana terjadi di mana-mana, menyisihkan masyarakat ke dalam kondisi ketidakpastian.
Maka, yang dipikirkan lebih seputar urusan kekinian dan mendesak, seakan phobia melihat ke depan. Satu di antaranya, bagaimana bertahan hidup dalam kondisi rawan pangan, agar lebih lama mengulur waktu dalam bayang-bayang kelaparan. Inilah kisah sedih yang terekam dari masyarakat miskin, baik di daerah rural maupun urban.
Kondisi ini mungkin lebih sulit daripada yang dialami masyarakat primitif zaman Pleistosin atau Holosen. Jika mereka masih bebas berburu dan memetik hasil alam, masyarakat primitif baru tak bisa melakukan hal serupa. Tiada lagi yang bisa diburu, tiada yang bisa diambil gratis untuk dimakan. Semua harus direbut dan diperjuangkan.
Gejala keempat, sebagai dampak tiga gejala di atas, adalah bangkitnya barbarisme oportunistik. Kata Herbert C. Hoover, hunger is the mother of anarchy (kelaparan biang anarki). Orang lapar yang kepepet dan tak bermasa depan bisa nekat “menghalalkan segala cara” guna bertahan hidup. Jika perlu, kekerasan dan anarki pun ditempuh.
Ada ibu-ibu yang tertangkap mencuri susu untuk dua anaknya akibat tak punya uang sama sekali. Ada juga yang ‘terpaksa’ menjarah, mencuri, mengoplos mitan, terlibat woman trafficking atau bisnis sabu-sabu, bahkan membunuh, yang motif tersembunyinya adalah kepepet ekonomi. Akal sehatnya buntu, anarki pun berbicara.
Setidaknya, mereka merasa, hal itu tak seberapa dibanding barbarism (laten) yang telah puluhan tahun dilakukan oleh oknum-oknum pejabat yang menjarah kekayaan alam dan uang rakyat. Inilah dalih yang dijadikan pembenar bagi tindakan anarki mereka.
Hukum rimba, baik laten atau manifest, menyertai barbarism oportunistik. Siapa yang kuat—bukan hanya kuat fisik tapi juga “lihai” membodohi dan membunuh nasib si lemah—akan berkuasa dan menindas. Mereka menuhankan kelicikan dan pelecehan etika hukum dan moral guna merebut hak orang lain.
Maka, secara simultan, proses dehumanisasi menjalar ke segenap sendi kehidupan. Anjloknya taraf hidup masyarakat mengubah sistem nilai, tradisi dan pola perilaku menjadi disharmonis, hingga hukum rimba kembali muncul dalam versi barunya. Sementara itu, negara belum berdaya mengurai benang ruwetnya.
Penyair WS Rendra, dalam orasi penerimaan doctor honoris causa di UGM pada 4 Maret lalu, menggambarkan situasi negeri ini saat ini tengah mengalami kalabendu kronis. Yakni, zaman yang (tampak) mantap stabilitasnya, tapi alat stabilitasnya berupa penindasan. “Ketidakadilan didewakan dan korupsi dilindungi,” katanya. Kekuasaan dan keperkasaan berjingkrak, tanpa peduli etika.
Begitulah, carut marut kehidupan masyarakat negeri ini makin sulit ditebak juntrungnya. Sebagai homo esperans (yang berharap), banyak masyarakat praktis tak memiliki harapan masa depan yang cerah. Di mata mereka, masa depan itu telah digadaikan atau diagunkan untuk dana pembangunan masa lalu. Mereka hanyalah objek penderita!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar