Much. Khoiri
Terkait rencana pemberian kostum ‘Tahanan KPK’ bagi para tahanan KPK akibat korupsi, ada cermin menarik dari novel novelis AS Nathaniel Hawthorne (1804-1864) berjudul The Scarlet Letter. Secara substansial, pendosa perlu dilabeli sebuah stigma sosial agar ada efek jera dan menjadi cermin bagi orang lain.
Terkait rencana pemberian kostum ‘Tahanan KPK’ bagi para tahanan KPK akibat korupsi, ada cermin menarik dari novel novelis AS Nathaniel Hawthorne (1804-1864) berjudul The Scarlet Letter. Secara substansial, pendosa perlu dilabeli sebuah stigma sosial agar ada efek jera dan menjadi cermin bagi orang lain.
Hester Prynne, tokoh perempuan novel itu, dihukum di depan masyarakat Boston dengan tuduhan telah berzina (adultery). Berlatar tahun 1621, di koloni Massachusetts Bay, zina merupakan dosa besar di mata masyarakat Puritan, dan Hester dihukum mengenakan celemek merah-tua bertulis “A” (adultery, zina).
Bahkan, semula Hester hendak dihukum gantung. Saat itu banyak perempuan yang berharap, huruf “A” itu dilukis di kening Hester atau dia dieksekusi sekalian. Hester dianggap sampah, telah mengotori puritanisme. Namun, akhirnya John Wilson melunak, dan Hester urung dihukum gantung.
Dengan siapa berzina, Hester tak mau mengakui, karena lelaki itu tak lain pastur Dimmesdale, yang juga menginvestigasinya bersama Wilson. Dia tetap bungkam meski dimasukkan sel, dan jatuh sakit karena kehamilannya. Sementara, si pastur dikejar dosa tak berkesudahan.
Teralienasi, Hester harus tinggal di pinggiran kota, hingga melahirkan Pearl, bayi perempuan yang dicap sebagai ‘keturunan iblis’ (a demon offspring). Selama itu dia harus memakai celemek memalukan itu di rumah, pasar, gereja—ke manapun. Ejekan, cemoohan, kecaman, dan sumpah-serapah ditelannya setiap waktu.
Singkat cerita, setelah sekian kali gagal mendesak Hester mengakui siapa bapak Pearl, Dimmesdale tidak kuat memendam beban dosa, dan mengakulah dia, sembari menunjukkan huruf “A” di dadanya. Meski hancur reputasinya sebagai pastur, dia merasa lega. Dia manusia biasa yang tak luput dari dosa dan kesalahan.
Stigmatisasi
Meski tidak pas benar, para tahanan KPK identik dengan Hester, para ‘kroni politik’ identik Dimmesdale, KPK identik tim hakim John Wilson, masyarakat kita yang religius identik masyarakat puritan Boston, dan label ‘tahanan KPK’ identik celemek “A” yang disandang Hester.
Sama dengan Hester, para pelaku korupsi telah menabrak norma-norma moral, sosial dan hukum, dengan selingkuhannya, yakni para kroni politik. Jika ditimbang, zina dan korupsi sama-sama melanggar norma, namun efek karambol korupsi lebih luas. Selain diri sendiri, korupsi juga merugikan masyarakat dalam bentuk dana.
Karena itu, wajar masyarakat kita mendukung langkah KPK, sama halnya masyarakat Boston mendesak John Wilson untuk menghukum Hester. Masalahnya, apakah koruptor perlu diancam hukuman mati, sebagaimana Hester juga diancam hukum gantung?
Pemberian kostum ‘tahanan KPK’ kepada para koruptor, sebagaimana Hester memakai celemek “A”, akan menjadi hukuman sosial yang berat. Ke manapun mereka pergi, masyarakat akan mencemooh, mengecam atau menyumpah-serapahi. Mereka akan teralienasi secara sosial, dan memperoleh stigma kurang sedap.
Stigmatiasi bagi koruptor dengan mempertontonkan mereka berkostum ‘memalukan’ itu, selain punya efek jera, juga menjadi cermin bagi pejabat-pejabat lain. Harus berpikir berjuta kali kalau ada pejabat negeri ini berniat korupsi, karena akibatnya akan sungguh berat, termasuk bagi keluarganya.
Saatnya ‘Menyanyi’
Masalahnya, apakah para tahanan KPK akan tetap bungkam, dengan siapa mereka telah berselingkuh menggelapkan uang negara? Hester memang diam, meski didesak Wilson dan Dimmesdale. Nah, apakah para tahanan KPK juga tetap diam meski didesak KPK? Adakah kroni politik mendesak para tahanan KPK untuk membuka perselingkuhan?
Kalau Hester tak mau mengakui perzinaan dengan Dimmesdale semata karena ikatan cinta, maka cukup diragukan bahwa perselingkuhan kroni politik dan para tahanan KPK didasari ikatan serupa. Ikatannya, tentu, kepentingan uang dan kuasa.
Karena itu, menunggu para kroni politik mengaku—sebagaimana Dimmesdale—telah berbuat dosa bersama para tahanan KPK, nyaris mustahil. Juga mustahil mereka ramai-ramai ingin meminta kostum ‘tahanan KPK’ sebagaimana Dimmesdale yang melukis huruf ‘A’ di dadanya akibat memendam dosa mendalam.
Dimmesdale, karena tidak kuat menanggung dosa, lantas membeber dosanya telah mencintai Hester dan berbuat zina dengannya. Pengakuannya didasari kesadaran penebusan dosa sosial, dan posisinya sebagai manusia yang tak luput dari dosa. Nah, adakah kroni politik kita punya kesadaran demikian?
Sebaliknya, para kroni politik akan berupaya mempertahankan reputasinya, dan kini semua ini telah tampak ke permukaan. Satu persatu mereka berkelit, berupaya cuci tangan, dan bahkan mendistorsi fakta untuk pembunuhan karakter (character assassination) terhadap para koruptor yang terlebih dahulu dijaring KPK.
Agaknya jalan yang harus ditempuh KPK masih cukup panjang, mengingat jejaring kuasa yang berjalin kelindan dalam perselingkuhan korupsi. Namun, pintu-pintu gerbang telah dibuka dan kunci-kunci baru akan diperoleh, meski dengan perjuangan tanpa henti. Tentu, pembuktian balik tidak lagi efektif dan boros.
Dengan demikian, KPK perlu lebih proaktif mendesak para tahanan KPK (baca: koruptor) untuk ‘menyanyi’, buka-bukaan, siapa saja yang ikut terlibat dalam perselingkuhan korupsi—sebagaimana Hawthorne menulis di bab akhir novelnya: ”Be true! Be true! Show freely to the world, if not your worst, yet some trait whereby the worst may be inferred!”
KBD, 14 August 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar