It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

20 Maret 2011

MELAYANI SEMUA (MAHASISWA) DENGAN AMANAH


Much. Khoiri
Bahwa dosen harus memberikan layanan terbaik untuk mahasiswa, tak bisa disangkal lagi, dan secara normatif juga diakui oleh dosen. Namun, sesuatu yang mampu menciptakan kondisi ideal ini sulit diwujudkan dalam tindakan nyata. Dalam kata lain, sulit bagi dosen untuk memperlakukan mahasiswa secara wajar. Padahal, dalam konteks transaksi bisnis, relasi dosen dan mahasiswa ibarat relasi produsen- konsumen!

Relasi dosen-mahasiswa memang mengandung implikasi kewajiban dan hak. Selagi masing-masing mampu memenuhi kewajiban, di situlah peluang hak sebenarnya terbuka lebar. Dosen memiliki kewajiban terhadap mahasiswa dan sekaligus berhak meraup haknya; demikian pun mahasiswa. Hanya menuntut hak tanpa menebus dengan kewajiban, itu namanya kedzaliman satu pihak terhadap pihak lain.

Tak jauh beda dengan relasi produsen-konsumen, dosen juga berkewajiban melayani konsumennya dengan layanan prima. Dosen menunaikan tugas mengajar dengan baik, itu sama dengan produsen yang baik karena menjamin kualitas produk yang dijualnya kepada konsumen. Itulah sebabnya sang dosen  juga berhak untuk memperoleh imbalan hak berupa respons dan apresiasi dari mahasiswa: dihormati, dikagumi, diteladani, dan bahkan diidolakan. 

Sebaliknya, mahasiswa yang baik tidak hanya menuntut hak-haknya dari sang dosen, melainkan juga menebusnya dengan segala kewajibannya, termasuk aktif mengikuti perkuliahan, mengerjakan tugas, dan menempuh ujian. Jika perlu, ia akan mewajibkan diri untuk tawadlu’ kepada gurunya. Mahasiswa yang “tahu diri” semacam ini memahami keseimbangan antara hak dan kewajiban di atmosfir pembelajaran kampus.

Sekarang, mengapa layanan untuk mahasiswa harus diprioritaskan?

Pertama, secara praktis, sudah waktunya dosen “melayani” mahasiswa. Tidak usah diingatkan—apalagi disuruh—seorang dosen itu wajib menunaikan tugas-tugas utamanya dalam perkuliahan: mengajar, memberikan tugas, membimbing, mengoreksi, mengevaluasi, dan memberikan nilai. Loh, adakah yang tidak melaksanakan tugas yang telah melekat pada klausul sumpah jabatan itu?

Andaikata dosen itu “melayani” mahasiswa, mustahil dia jarang masuk mengajar, justru karena mengerjakan pekerjaan lain di luar dinas. Dia juga akan ingat memberikan tugas, mengoreksi, atau memberikan nilai—karena dia tidak terlalu sibuk mengurus kegiatan yang sama sekali tak terkait dengan kedinasan. Dia juga tak perlu mempersulit bimbingan  skripsi (padahal sederhana), misalnya, karena dia sadar bahwa itu memang kewajiban layanan yang perlu diberikan. Yang pasti, dia tak akan bilang,”Semua tugas beres kecuali tugas utama.”

Dalam hal mendidik, demikian pula halnya. Dosen yang melayani mahasiswa tak akan membuat mahasiswa takut karena intimidasi, ancaman, dan batasan-batasan yang menginferiorkan mahasiswa dan mensuperiorkan diri sendiri. Dosen yang melayani mahasiswa tak akan menyuruh mereka datang ke rumah hanya untuk meminta tanda tangan pada momentum paling kritis—dan sesampai di rumah mahasiswa tersebut terpaksa kembali pulang dengan tangan hampa.  Dosen yang melayani ini pasti selalu menebar atmosfir damai dan akhlak mulia, sehingga mahasiswa menaruh hormat yang mendalam.
 
Selain itu, dosen yang melayani ini tak akan jual mahal, jaga gengsi berlebihan, dan cenderung memasang jarak sosial (social distance). Sebaliknya, dia akan rendah hati menyapa, mendekat, memahami, mendoakan, atau berteman dengan mahasiswa. Bahkan, dia mudah dihubungi lewat telepon seluler, facebook, email, twitter, Yahoo Messenger, dan sebagainya. [Akrab dengan mahasiswa perlu dimaknai sebagai pertemanan dan inklusivitas relasi dosen-mahasiswa, dan hal ini tak perlu dicemaskan sebagai ancaman perilaku lajak mahasiswa.]

Singkatnya, dosen yang melayani mahasiswa justru memotong jarak sosial yang pernah ada, dan membangun jembatan komunikasi dan hubungan emosional yang akrab sosial dan emosional. Relasi demikian hakikatnya sejalan dengan roh pendidikan karakter, yang belakangan ini sedang menjadi trens dalam dunia pendidikan di negeri ini. Untuk membangun komunitas mahasiswa yang jujur, cerdas, tangguh, dan peduli, harus disemaikan dengan pembiasaan dan keteladanan.

Kedua, masalah layanan pendidikan itu bagian penting dari rencana strategis (Renstra) Unesa—bahkan, jika ditarik ke atas, selaras dengan salah satu misi Unesa “meningkatkan pembinaan mahasiswa yang komprehensif dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa.” Pembinaan tidak hanya menyangkut dimensi pengajaran (teaching), melainkan juga dimensi pendidikan (educating).

Jika dosen melayani mahasiswa dengan optimal, dia tentu ikut menyukseskan misi Unesa tersebut. Ini berarti, mahasiswa diposisikan penting dalam keluarga besar Unesa. Mahasiswa ibarat anak-anak yang perlu dirawat, dibimbing, disayang, dididik, dan—pendeknya—dihantarkan ke pintu gerbang masa depan mereka masing-masing. Dalam konteks ini, dosen harus mengambil peran sebagai pelayan, bukan juragan yang perlu dilayani dan diagung-agungkan.

Di pihak lain, mahasiswa sendiri juga manusia yang cukup dewasa untuk merasakan dan menilai apakah dosennya memberikan layanan atau minta layanan. Mereka sudah melek norma dan melek sanksi, sehingga mereka akan menafsir mendalam seandainya ada dosen mengajak kompromi politik pembelajaran, “Kita tahu sama tahu ya? Karena saya tidak bisa penuh mengajar, kalian akan saya jamin nilai bagus, syaratnya harap diatur seolah perkuliahan kita penuh. Ingat, tahu sama tahu.” Di depan sang dosen, mahasiswa bisa anteng, namun siapa tahu apa yang mereka katakan dan lakukan setelah keluar ruangan.

Memang, apapun yang dosen lakukan di depan mahasiswa akan ditangkap dan disikapi dengan cara tertentu oleh mahasiswa. Ibarat petani yang menanam benih padi baik saja belum tentu memanen padi yang bagus, apa tah lagi jika dia menanam benih padi bermutu rendah. Analog dengan itu, meski dosen bersikap-perilaku baik pun, belum tentu memperoleh respon positif dari mahasiswa. Terlebih lagi kalau sang dosen menunjukkan sikap perilaku yang tidak baik; hasilnya (terjamin) pasti kacau.

Unesa sangat peduli dengan fenomena demikian. Artinya, Unesa bertekad untuk memberikan layanan prima pendidikan kepada mahasiswa. Dengan layanan akademik prima, plus dukungan faktor lain, Unesa bertekad ingin menghasilkan lulusan yang berkualitas prima dan berdaya saing andal, pada tingkat regional dan tingkat internasional.

Ketiga, pemberian layanan terbaik bagi mahasiswa itu sejalan dengan tema kedua Rencana Pembangunan Pendidikan Nasional Jangka Panjang 2005-2025, yakni penguatan pelayanan (2010-2015). Tema kedua ini untuk menyongsong tema ketiga dan keempat: penguatan daya saing regional (2015-2020) dan penguatan daya saing internasional (2020-2025).

Dengan demikian, penguatan layanan menjadi tema sangat penting. Ia dianggap signifikan bagi dunia pendidikan, tidak hanya berimplikasi pada individu melainkan juga terkait dengan Renstra-Renstra di atas. Andaikata tidak dianggap sebagai kiblat, ia harus kental mewarnai atmosfir akademik sedemikian rupa sehingga mahasiswa Unesa memperoleh layanan terbaik di rumah sendiri. 

Yang dimaksud dengan layanan prima pendidikan nasional adalah layanan pendidikan yang memenuhi syarat-syarat (1) ketersediaan, (2) keterjangkauan, (3) kualitas dan relevansi, (4) kesetaraan, (5) kepastian/keterjaminan. Karena itu, untuk menyemangati diri, wajar bila Kemendiknas mencanangkan motto “Melayani Semua dengan Amanah.”

Motto “Melayani Semua dengan Amanah” ini memang mudah dan sederhana diucapkan, namun tidak mudah dan tidak sederhana diterjemahkan lewat perbuatan nyata—termasuk dalam hal melayani mahasiswa. Bagi yang berbaik hati, motto semacam itu pasti disambut legawa dan gembira sebagai spirit kerja; namun, bagi yang kurang baik hati, motto itu mungkin akan direspons dengan pesimisme atau apatisme. Mudah-mudahan para dosen tergolong orang-orang yang berbaik hati dalam menangkap makna motto itu.

Dalam konteks ini, dengan memberikan layanan prima kepada mahasiswa, dosen ikut melancarkan tercapainya Visi Kemendiknas, yakni terselenggaranya layanan prima pendidikan nasional untuk membentuk insan Indonesia cerdas komprehensif (cerdas spiritual, cerdas emosional dan sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kistetis).

Dalam kerangka visi Kemendiknas itu, dosen yang melayani (langsung atau tidak langsung) ikut membentuk mahasiswa (belajar) memiliki karakteristik insan manusia cerdas komprehensif berikut ini: (1) berkepribadian unggul dan gandrung akan keunggulan, (2) bersemangat juang tinggi, (3) mandiri, (4) pantang menyerah, (5) pembangun dan Pembina jejaring, (6) bersahabat dengan perubahan, (7) produktif, (8) sadar mutu, (9) berorientasi global, (10) pembelajaran sepanjang hayat, (11) menjadi rahmat bagi semesta alam.

Dengan memperhatikan tiga alasan di atas, sudah waktunya dosen melakukan refleksi secara jujur dan mendalam. Arahnya, dosen perlu menimbang ulang akan perannya sebagai pelayan publik bagi mahasiswa. Memposisikan diri sebagai penguasa kecil yang otoriter bagi komunitas mahasiswa, jika ada, adalah sikap dan tindakan konterproduktif dan merugikan diri sendiri dan institusi.

Implikasinya, kalau ada dosen yang masih “jual mahal” atau “sok berkuasa”, haruslah diubah paradigmanya. Dosen harus melakukan otokritik dan introspeksi total terhadap diri sendiri berkaitan dengan kualitas layanan yang telah diberikan kepada mahasiswa. Dosen harus menjadi pelayan bagi mahasiswa, dan mahasiswa diposisikan sebagai konsumen: baik dalam bidang akademik, sarana-prasarana, maupun bidang kemahasiswaan.

Agaknya perlu dicatat, bahwa mahasiswa itu konsumen, dan sekaligus investasi bagi Unesa—sebagaimana mahasiswa juga investasi untuk diri sendiri. Mahasiswa, sebagaimana Unesa, juga berinvestasi waktu, tenaga, dan biaya—agar suatu saat kelak juga memetik kebebasan waktu, efisiensi tenaga, dan kebebasan finansial.

Inilah momentum untuk berbenah diri, “melayani semua (mahasiswa) dengan amanah” agar ke depan kita dapat menyaksikan mutiara-mutiara kesuksesan berpendaran dan berkilauan di antara tebaran lulusan Unesa yang menyatu dengan masyarakat. Mudah-mudahan.***

6 komentar:

Gustaf Wijaya mengatakan...

Amiin Pak...

Semogaaa...

kenapa beberapa kakak senior saya yang sedang skripsi justru sulit menemui DP mereka Pak, kasian Pak..disaat yang lain sudah masuk Bab 3, dia dan temannya se DP masih berkutat bab 1,

mendengar cerita mbak2 tersebut membuat kmi makin ngeri membayangkan skripsi T.T

Halina Said mengatakan...

Setuju pak, antara niat baik, profesionalisme dan komunikasi harus berjalan dua arah,,,

sebagian mahasiswa akan lebih suka diemong dosen yg leyeh leyeh,,,(pokoe lulus)

sebagian lainnya lebih suka di-push, diberi border dan di-deadline,,,

Semoga ke depan semakin baik... Amiin!!!

deenee mengatakan...

Tidak beda dengan dosen, gurupun memiliki kewajiban melayani siswa. Sudah banyak pelatihan untuk menunjang profesionalitas guru. Namun tentu saja semua itu kembali pada individu masing2. Apakah pengalaman yangmereka dapat akan diterapkan atau hanya 'ngendon' dalam otak. Selain itu jika guru disibukkan oleh tugas sampingan dari sekolah sehingga harus berulang kali meninggalkan kelas, who's to blame? Is there any solution 4 that?

my creative forum mengatakan...

Gustaf, jangan terlalu silau dengan skripsi. Pasti u bisa melaluinya dengan baik.

my creative forum mengatakan...

Han, aku suka mhs yang optimistik dan bekerja keras. Think smart, work hard, feel sharp....

my creative forum mengatakan...

Deenee, mdh2an kita termasuk golongan guru yang cerdas komprehensif...