It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

30 Mei 2011

CULTURAL WRITINGS: KUMCER “NDORO, SAYA INGIN BICARA”


Much. Khoiri
Tempat berbagi cerita tentang pengalaman, pikiran, dan perasaan bisa berlangsung di mana saja dan kepada siapa saja. Dalam suasana diskusi boleh, dalam debat juga boleh, dalam acara cangkrukan pun tidak ada yang melarang. Kali ini, dalam blog ini, saya (sebagai editor) ingin berbagi tentang pengantar kumpulan cerpen (kumcer) alumni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yang akan terbit dalam hitungan jam lagi. Sebuah model kecil dari karya budaya (cultural writings).
Bayangkan apa yang terjadi ketika alumni mendiskusikan sesuatu untuk almamaternya lewat milis yang dibentuknya.  Hanya satu kata: Seru! Inilah suasana milis alumni Unesa (alamatnya: keluargaunesa.groups.com) yang setiap hari menyajikan obrolan hangat dan bahkan diskusi serius oleh alumni Unesa dari beragam angkatan, profesi, dan lokasi dengan satu sasaran—demi Unesa! Kumpulan cerita pendek ini salah satu hasil konkret dari silaturahim produktif mereka lewat dunia maya ini.
            Sejak gagasan membuat karya tulis alumni di-posting, antusiasme para alumni langsung meledak dan saling berebut memberikan masukan tentang apa yang seharusnya dikumpulkan: esei, puisi, atau cerpen.  Singkat kata, sejumlah alumni bersepakat temu darat di sebuah kantin untuk membahasnya secara cukup serius . Dari temu darat inilah kumcer ini direncanakan: mulai dana hingga hal-hal teknis.
            Dalam sekitar dua minggu cerpen demi cerpen masuk ke email editor. Dan hingga deadline yang ditentukan, terkumpullah 21 buah cerpen yang ditulis oleh 13 penulis dengan aneka profesi—guru, dosen, jurnalis, wiraswasta, dan lain-lain.  Ada cerpen yang baru diciptakan, ada pula cerpen lama yang telah dimuat di media massa.  Masing-masing menjadi tetenger (indikasi, bukti) dunia kreatif penulisnya.
            Adapun para penulis kumcer itu dapat saya tampilkan berikut ini:
Much. Khoiri (1965--), juga editor kumcer ini, alumnus S1 Unesa (1990), International Writing Program (Iowa, 1993) dan Summer Institute in American Studies di (Hong Kong, 1996), mantan Kepala Pusat Bahasa Unesa (1999-2007), S2 Unair Surabaya (2005). Karya-karyanya (dalam bahasa Indonesia dan Inggris), fiksi dan nonfiksi, dimuat di berbagai media cetak, jurnal, dan online—baik dalam dan luar negeri. Dia lebih aktif menulis lewat 5 (lima) blog-nya. Cerpennya dalam kumcer ini: “Kamatian Sukreni” dan “Pesan Misterius”.
A Rohman (1975--) menulis puisi dan cerpen, mantan penyiar radio dan copy editor untuk Radar Surabaya. Kini dia menjadi jurnalis dan pemimpin redaksi di grup penerbitan media PT Mediantara Infopersada. Cerpennya dalam kumcer ini: “Sisi Hati”.
Ardi Nugroho (1965--) bekerja di sebuah perusahaan elektronik di Sidoarjo. Sejak tamat SMA gemar menulis puisi, esei, dan cerpen. Uniknya, karyanya selalu dibagikan ke teman-temannya. Sejak 2007 dia aktif di komunitas sastra dunia maya (Facebook). Cerpennya dalam kumcer ini: “Cerita Resi Sore Ini.”
Eko Prasetyo, lulus Unesa 2008, bekerja sebagai editor bahasa Jawa Pos, suka menulis puisi, dan telah menulis beberapa buku. Dia pecandu berat wedang kopi, tapi antirokok, pengagum berat kebesaran Allah, penghobi sepak bola, dan pegiat baca buku. Cerpennya dalam kumcer ini: “Bahu Laweyan” dan “Army of Rose.”
Etik Andriani (1968--) adalah guru dan Wakasek SMK Muhammdiyah 1 Kediri. Selain mengajar, Etik juga suka menulis sastra, merias pengantin, mendaki gunung dan aktif di klub pencinta alam di Kediri. Cerpennya dalam kumcer ini: “Ujung Rinjani.”
Habe Arifin (1974--) selain karya sastra (puisi dan cerpen), dia juga menekuni jurnalistik sejak masih kuliah, mulai di Surabaya Post, Jawa Pos, dan kini memimpin harian Fajar Bali di Jakarta. Habe pernah diganjar penghargaan AJI Award. Cerpennya dalam kumcer ini: “Ibu” dan “Eksekusi.”
Luthfiyah Nurlaela (1967--) mulai mempublikasikan tulisan-tulisannya sejak SMA. Hingga kini Guru Besar ke-43 Unesa ini telah memuatkan puluhan artikel di jurnal ilmiah; puluhan artikel dalam prosiding berbagai seminar lokal, nasional dan internasional; serta beberapa buku dan modul. Dia aktif di sejumlah organisasi profesi, menyunting beberapa jurnal ilmiah—dan kini Ketua Program Studi S2 PTK PPS Unesa. Cerpennya dalam kumcer ini: “Terusik” dan “Pantai itu Berpasir Hitam.”
Pratiwi Retnaningdyah (1967--) meraih S2 American Studies di UGM Yogyakarta (1996), dan S2/MA Sastra di Texas State University-San Marcos (2004). Kini Sekretaris Jurusan di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Unesa. Menulis puisi, cerpen, dan esai sejak kuliah S1, namun kini lebih disalurkan di buku harian maupun personal blognya. Cerpennya dalam kumcer ini: “Burung pun Ingin Tempat Hinggap” dan “Tidak Lagi ke Malaysia.”
Ria Fariana, alumnus S2 Bahasa dan Sastra PPS Unesa (2006). Bukunya meliputi: Siluet Senja dan Mutiara, No Man No Pain, Cewek Smart 1 dan Cewek Smart 2 (let’s talk about sex, AIDS & Valentine). Buku antologi Ria diantaranya adalah Jilbab Pertamaku, Gadis Kota Jerash, Skripsi Krispi, Selaksa Makna Cinta dan Muslim Romantis. Kini Ria guru bahasa Inggris, editor lepas di penerbit Bina Ilmu dan GIP, kontributor di gaulislam.com dan www.voa-islam. com bagian teenage. Cerpennya dalam kumcer ini: “Martir Revolusi” dan “Bara Langit Irak.”
Rukin Firda, alumnus Unesa 1990, kecintaannya pada sastra sudah menonjol sejak kuliah dan bahkan sejak sebelumnya. Sejak lulus dia jurnalis Jawa Pos; kenyang dengan berbagai pengalaman jurnalistik. Karya-karya kreatifnya telah dimuat di berbagai media cetak dan online. Cerpennya dalam kumcer ini: “Ndoro, Saya Ingin Bicara” dan “Cerita tentang Bulan.”
Sirikit Syah lulus S1 IKIP Surabaya (1984) dan Master in Communication (M.A) Westminster University, London, UK (2002). Pernah belajar American Culture and Communication’ di UCLA Davis, USA (1994-1995), dan Public Communication School, bidang Broadcast Journalism, University of Syracuse, Syracuse, NY, USA (1994-1995). Jurnalisme merupakan darah, sastra denyut jantungnya, dan menjadi dosen seakan nafasnya. Karya-karya, baik fiksi maupun nonfiksi, bertebaran di berbagai media cetak dan online—juga buku-buku pribadi dan antologi. Perempuan yang kreatif dan supel, dan telah menyabet berbagai penghargaan penting. Cerpennya dalam kumcer ini: “Katakan pada Suatu Hari Minggu” dan “Suatu Hari di Finlandia.”
Suhartoko (1966--), alumnus S1 Unesa (1990), belasan tahun jadi jurnalis di Surabaya Post, tabloid, media internal di sejumlah perusahaan, dan di salah satu harian ekonomi grup Jawa Pos. Kini dia menggeluti kehumasan, jasa komunikasi, personal/corporate branding, dan kini Media & Public Relation Officer di PT Jatim Grha Utama (JGU). Baginya, menulis merupakan satu sisi dunia yang tak bisa lepas dari kehidupannya, baik untuk karya jurnalistik, artikel, maupun karya kreatif/sastra, baik puisi maupun prosa. Cerpennya: “Prime Time.”
Yuli Setyo Budi, biasa dipanggil “mas Joss”, alumnus Bahasa Indonesia angkatan 1983. Dia kini menekuni jurnalistik, sebagai wartawan Radar Surabaya (Jawa Pos Grup).Selain menulis berita, dia juga menulis kreatif berupa cerpen dan puisi yang dimuat di beberapa media, tapi sayangnya dia tidak rajin mendokumentasi. Cerpennya: “Jangan Panggil Aku PSK.”
            Keanekaragaman profesi penulis kumcer ini kian menegaskan, bahwa menulis (kreatif) itu bukan semata dunia orang sastra—Menulis itu menembus batas profesi. Dramawan Eugene O’Neill sebenarnya seorang reporter London Telegraph;  sastrawan besar William Carlos Williams sejatinya seorang spesialis penyakit anak; dan Omar Khayyam si penulis  Rubaiyat  adalah seorang matematikawan. Dalam kumcer ini demikian pula, misalnya Suhartoko adalah seorang Media & Public Relation Officer, Sirikit Syah ahli jurnalisme, dan Luthfiyah Nurlaela seorang profesor bidang Home Economics.  
            Di samping itu, para penulis ikut menjustifikasi, bahwa sastra adalah abstraksi kehidupan manusia dan pengalamannya.  Mereka telah cerdas menangkap isyarat dan makna kehidupan manusia dan pengalaman itu, serta menuangkannya secara estetik ke dalam tema cerpen masing-masing:  masalah cinta, keluarga, misteri, aspirasi, ideologi, kritik sosial, dan lain-lain—laksana pelangi yang membentuk keindahan.
            “Pelangi” tema inilah yang cukup mendilematiskan editor saat menyusun urutan cerpen, mengingat ada beberapa penulis yang mengirimkan dua buah cerpen.  Cerpen manakah yang harus didahulukan dan manakah yang boleh diakhirkan? Setelah menimbang berbagai hal, urutan cerpen disusun berdasarkan klasifikasi tema untuk memenuhi falsafah pelangi: aneka warna untuk satu keindahan.
            Yang tak kalah seru adalah penentuan judul kumcer.  Perdebatan seru, lewat milis,  berdenyut-denyut beberapa hari seputar judul kumcer ini—dan mengerucut ke perlunya penggunaan salah satu judul cerpen. Berdasarkan debat dan diskusi maya itu, terpilihlah sebuah judul yang dianggap paling tepat: “Ndoro, Saya Ingin Bicara”—sebuah cerpen karya Rukin Firda.
            Pemilihan cerpen “Ndoro, Saya Ingin Bicara” sebagai judul kumcer ini tentu bukan—sekali lagi bukan—karena cerpen ini terbaik di antara cerpen-cerpen lainnya.  Semua cerpen dalam kumcer ini memiliki kekuatan dan keunikan masing-masing.  Memang diakui, bahwa judul itu belum merupakan “judul payung” yang menyimpulkan seluruh cerpen dengan keanekaragaman temanya. Namun, ia dianggap mewakili aspirasi para penulis yang sekaligus juga alumni Unesa dalam kaitannya dengan almamaternya sendiri.
            Judul kumcer ini simbolisasi idea dan aspirasi para alumni Unesa yang “ingin bicara” untuk menawarkan gugusan makna pikiran dan tindakan demi kemajuan Unesa di masa mendatang. Anggaplah kumcer ini representasi alumni untuk diakui eksistensinya. Bukankah tulisan juga merupakan sumbangsih untuk menggugah dan memicu berkembangnya pemikiran dan pendidikan karakter?  Oleh karena itu, diharapkan bahwa kehadiran kumcer ini (yang ingin bicara) disimak dengan bahasa nurani dan kelembutan hati.
            Terkait dengan pengucapan (ars poetica) penulis, editor tidak melakukan perubahan substansial, namun sekedar “menyesuaikan” bentuk pemagrafan, semata untuk menyedapkan atau menyamankan mata pembaca. Sementara itu, ungkapan bahasa asing dan Jawa dibiarkan apa adanya—dengan tambahan catatan akhir secukupnya. Riwayat cerpen dan biodata singkat penulis dilampirkan untuk, jika perlu, membangun komunikasi lanjut.
Yang jelas, kumcer ini hadir bukan yang terakhir; bahkan baru permulaan.  Inilah potensi yang luar biasa. “Sekali sebuah buku ditulis, (seakan) seorang bayi dilahirkan, ” kata James Charlton dan Lisbeth Mark. Implikasinya, selain perawatan dan pembesaran kreativitas, juga perlu dilahirkan “bayi-bayi” alias buku-buku baru yang mencerahkan secara berantai. Anggaplah ini semacam investasi yang mencerdaskan dan mencerahkan.
Mengapa prospek ini layak dicanangkan? Masih banyak alumni Unesa yang menekuni dunia tulis-menulis, di samping profesi utamanya. Hanya saja, pada momentum ini kumcer hanya sempat memuat beberapa alumni saja. Diharapkan, ke depan akan terbit kumpulan tulisan alumni  berikutnya—di samping karya mereka selama ini telah mengendon dalam bentuk buku atau berkembang di blog atau website pribadi.
            Kehadiran kumcer ini dimungkinkan karena dukungan berbagai pihak. Karena itu,  terima kasih dipersembahkan kepada Prof. Dr. Setya Yuwana Sudikan MA yang menulis pengantar yang mencerahkan untuk kumcer ini; mas Ahmad Wahyu, juga mas Satria Darma, atas dukungan dana; kepada Sdr. Rukin atas masukannya dalam mengurutkan cerpen; kepada Sdr. Abd. Rohman atas kerja kerasnya dalam mengemas lay-out dan ilustrasi gambar; kepada Sdr. Suhartoko atas peran proaktifnya sebagai “humas” kumcer ini; dan kepada seluruh anggota milis atas gagasan dan dukungan yang teramat berharga.
            Akhir kata, mudah-mudahan kumcer ini layak dinikmati dan dikritisi oleh para peminat sastra, dosen, guru, mahasiswa, dan pembaca umum.  Lebih penting lagi, mudah-mudahan kumcer ini juga menjadi pemantik (trigger) inspirasi bagi tumbuh-berkembangnya karya-karya kreatif  berantai berikutnya.***


Surabaya,  13 Mei 2011/Modif. 30 Mei 2011

3 komentar:

Gustaf Wijaya mengatakan...

Pak, suatu pagi saya sedang iseng membuka situs antaranews.com, lalu membaca sebuah tulisan tentang nazaruddin, kebetulan judulnya membuat saya penasaran untuk membaca lebih lanjut, terhanyut dengan tulisannya yang sangan "masuk" dan mengalir,saya sangat terkesan ketika nama "Sirikit Syah" adalah penulisnya.

ternyata Ibu dosen kami sendiri, lalu saya buka - buka Blog ibu Sirikit, sangat inspiring, tulisan beliau seperti halnya tulisan Bapak, sangat masuk dan mantap

semoga senantiasa menginspirasi kami Pak
amin

my creative forum mengatakan...

Gustaf, bu Sirikit itu senior saya dalam kuliah dulu, juga penulis yang andal. Jadi engkau dapat belajar banyak juga dari beliau. Belajar bisa kepada siapapun juga, bukan?

Suatu saat engkau akan memiliki style tulisan-mu sendiri.

sukses selalu

salam

mila mengatakan...

Assalamu'alaikum... Salam hormat, Pak Khoiri. Selamat gih untuk penerbitan kumcernya. Saya punya sebuah cerpen orosinil, sayangnya sudah telat ya kalau mau kirim sekarang?