Sebagaimana diberitakan Surya (28/6/2008), aktivis GAYa Nusantara me-launching sekolah khusus kaum lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks, dan queer (LGBTIQ) di Surabaya Plaza Hotel. Tak pelak, pembukaan sekolah ‘khusus’ pertama di Indonesia ini mengundang kontroversi.
Fenomena ini menarik dicermati, setidaknya karena dua hal. Pertama, apakah pembukaan sekolah khusus LGBTIQ merupakan wujud perlawanan atas stigma buruk masyarakat terhadap kaum LGBTIQ? Kedua, apakah hal itu berdampak semakin diterimanya kaum LGBTIQ oleh masyarakat luas yang telah menstigmakan mereka?
Melawan Stigma?
Selama ini masyarakat melabeli kaum LGBTIQ dengan stigma buruk, abnormal, ternoda dan sederet atribut—pinjam istilah Erving Goffman—deeply stigmatizing attibrute (atribut yang menstigmakan secara mendalam). Mereka dicap devian dari norma sosial, membahayakan, dan eksistensinya ditolak dengan segala bentuk ignorance.
Stigma yang dirasakan (felt stigma) dan stigma yang dialami (enacted stigma) menyebabkan kaum LGBTIQ kehilangan status sosial dan harus menghadapi diskriminasi multiaspek dan multidimensional. Mereka pun mengalami marginalisasi (pengucilan). Ekstremnya, tumbuh oposisi biner ‘kami’ (us) dan ‘mereka’ (them).
Tak heran, banyak kaum LGBTIQ semula sembunyi-sembunyi agar tak terdeteksi masyarakat luas, hingga lahirnya GAYa Nusantara. Dengan wadah ini, komunitas LGBTIQ mulai dipahami eksistensinya, namun toh sepak-terjangnya masih tetap dipandang miring. Oleh masyarakat luas kaum LGBTIQ masih dilabeli sebagai ‘mereka’ (them), dikucilkan, dan layak didiskriminasikan.
Salah satu bidang kehidupan dirasakan diskriminatif adalah pendidikan. Miliu sekolah umum tak kondusif bagi kaum LGBTIQ. Mereka diejek, dicemooh, dan direndahkan; seakan tiada ruang gerak bebas untuk ekspresi diri dan sosialnya. Mereka ditolak teman, masyarakat, bahkan keluarga sekalipun.
Stigmatisasi dan marginalisasi yang akut, termasuk dalam miliu pendidikan, inilah agaknya titik tolak mengapa pendidikan khusus LGBTIQ dibuka. GN merasa harus peduli, membela dan mewadahi mereka dalam sekolah khusus dengan lingkungan yang ‘nyaman’ bagi mereka sendiri.
Dengan sekolah khusus itu, GN ingin mewujudkan visinya: tatanan sosial yang menerima dan menghargai hak asasi manusia, keragaman seks, gender, seksualitas dan kesejahteraan seksual, atas dasar kerelawanan, demokrasi, anti-kekerasan, independensi serta keterbukaan.
Maka, pembukaan sekolah khusus merupakan momentum tepat bagi GN untuk memperjuangkan kaum LGBTIQ yang tertindas, mengingat setidaknya empat hal: pertama, angin segar gerakan multikulturalisme dunia semakin kencang mewacana dan menuntut masyarakat dunia melek kultural untuk belajar menerima pluralitas dan multikulturalitas.
Kedua, masyarakat yang telah membangun stigma sosial buruk, baik dengan discredit stigma maupun discreditable stigma, dinilai gagal menemukan solusi atas kekhususan (peculiarities) kaum LGBTIQ dan menafikan eksistensinya. Masyarakat hanya asal bunyi (asbun) dan no action talk only (NATO).
Ketiga, GN telah menjadi wadah dan solusi konkret bagi kaum LGBTIQ yang telah dimarginalkan atau “dibuang” oleh keluarga, sanak-saudara, teman, dan masyarakat. Lewat sekolah khusus, kaum LGBTIQ merasa mendapat hak mengenyam pendidikan dengan nyaman.
Keempat, GN merasa memperoleh support yang kokoh. Berkiblat pada Piagam HAM, konon GN di-back-up lembaga internasional semacam Family Health International (FHI), Ford Foundation, dan UNAIDS. Selain, ia juga punya puluhan jejaring komunitas dan lembaga yang peduli gerakan GN, yang tersebar luas seantero negeri ini.
Boleh jadi sekolah khusus itu akan ramai peminat, karena kaum LGBTIQ akan terang-terangan menunjukkan dirinya. Mereka melawan discreditable stigma (yang lebih ‘halus’ daripada discredit stigma) dengan studi di sekolah khusus itu. Inilah sisi penyadaran publik, salah satu misi GN, agar diterima masyarakat luas.
Kontraproduktif
Meski demikian, GN agaknya juga perlu mempertimbangkan bahwa masyarakat kita belum sepenuhnya lepas dari nilai-nilai tradisional, masih menyandarkan justifikasi sosialnya berdasar standar-standar normatif. Menerima sesuatu yang baru harus berproses secara evolutif, bukan radikal dan revolutif.
Dalam masyarakat demikian, kehadiran sekolah khusus itu, yang misinya untuk pendidikan dan penyadaran publik, justru merupakan sebuah ironi situasi. Mereka tidak mendekati dan membaur dengan masyarakat secara alamiah dan evolutif, malah menarik diri dalam ruang yang eksklusif.
Eksklusivitas inilah yang dikhawatirkan tidak menghilangkan stigma (destigmatisasi). Attempts to reduce stigma may reinforce it. Menurut Merlyn Sophian, aktivis waria asal Malang yang juga mantan Miss Waria 2006, “…sayangnya itu justru mementahkan perjuangan mereka. Kalau ingin diterima dalam masyarakat, nggak perlu lah bikin sekolah eksklusif kayak gitu.”
Ungkapan Merlyn Sophian yang ‘orang dalam’ (insider) ini ada benarnya. Perjuangan GN selama ini, baik lewat sosialisasi, pendidikan sosial, maupun kerja sosial, telah cukup sukses membangun imej positif. Pelan tapi pasti eksistensi kaum LGBTIQ mulai ‘dimaklumi, meski belum sepenuhnya diterima.
Maka, kehadiran sekolah eksklusif itu justru merupakan gerakan revolutif dan frontal, dan itu menjadi justifikasi bahwa kaum LGBTIQ memang ‘berbeda’ dari yang lain. Padahal, kecuali perbedaan orientasi seksual, mereka sama dengan orang lain dalam berbagai kemampuan.
Dengan eksklusivitas itu pula, sekolah khusus lebih merupakan wujud perlawanan kontraproduktif, dan karenanya suatu langkah mundur (set back). Salah satu misi GN, yakni pendidikan dan penyadaran publik, malah akan menemui jalan buntu dan bumerang.
Dengan kata lain, sekolah khusus itu bukan destigmatisasi, melainkan malah restigmatisasi kaum LGBTIQ di dalam masyarakat. Maksudnya, sekolah khusus itu hadir justru sebagai pembatas dan penegas atas eksklusivitas mereka yang mencerminkan bahwa mereka memang beda.
Restigmatisasi itu akan memperlebar dan memperdalam jarak sosial antara kaum LGBTIQ dan masyarakat. Ada semacam stigmatisasi jilid kedua, yang efek sosial-psikologisnya lebih serius. Sekolah khusus, yang akan meluluskan ‘kaum intelektual khusus’, akan dianggap sebagai gerakan terangan-terangan melawan masyarakat. Bahkan, pemerintah pun punya power (kuasa), baik sosial, ekonomi maupun politik, untuk memihak masyarakat luas.
Ingat, mayoritas masyarakat masih primordial dengan isme-isme yang bersumber dari nilai-nilai agama dan etika ketimuran. Angin multikulturalisme belum merasuk ke dalam bilik nurani. Jika dilawan frontal, masyarakat akan lebih frontal menghadapinya, dengan class action atau penyerangan fisik yang anarkhis.
Di sinilah peringatan Mendiknas menemukan konteksnya. Maksudnya, GN perlu menimbang ulang apakah tetap menjalankan sekolah khusus itu ataukah menunda dulu hingga “infrastruktur sosio-kultural” masyarakat kian kondusif.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar