It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

17 Juli 2008

"Mutiara" di Balik Sampah Lapindo


Much. Khoiri
Pada 29 September 1998 silam, saat krisis moneter mendahsyat di negeri ini, saya temukan di sebuah harian kota ini sebuah sajak Yunita Indriyani, seorang anak SDN Ploso Krembung, Sidoarjo, berjudul “Sajak Anak Pemulung” berikut ini:
Makanku sampah
Rumahku sampah
Hidupku sampah
Sampah siapa?
Aku tak pernah membuatnya
Mereka yang menumpuknya
Mereka yang menggembar-gemborkan
Mereka yang mendiskusikannya
Semua sampah
Aku ingin jadi mutiara.
Alangkah transendental sajak itu. Nyaris sepuluh tahun berlalu, realitas batin Yunita klop dengan kondisi Sidoarjo dewasa ini. Korban lumpur Lapindo diombang-ambingkan nasib. Harta benda, bahkan jiwa pun telah terampas nyaris tanpa sisa. Mereka tergiring lesu ke dalam ketidakpastian.
Di pengungsian siapapun harus siap mengelus dada. Mendung derita pekat, udara yang terhirup seakan penuh jelaga. Makan mereka ‘sampah’, seadanya, itu pun tidak selalu ajek. Mereka bernaung di tenda-tenda ‘sampah’, membuatnya kian menderita saat hujan turun. Singkatnya, hidup mereka berkualitas ‘sampah’.
Tak kurang-kurang mereka memperjuangkan nasib, lewat berbagai lini, birokratis dan informal, bahkan sampai nglurug ke Jakarta. Hasilnya sama sekali tak signifikan. Meski jadi kasus nasional (bahkan nyaring juga dari luar negeri), mereka hanya mendapati ketidakpastian atau, paling banter, janji-janji kosong.
Kepedihan setahun lebih itu kini semakin menyayat. Pasalnya, lumpur Lapindo diarahkan menjadi bencana alam. Drama tragis lumpur lapindo disuarakan oleh editorial Jawa Pos (21/1) dengan amat tepat, bahwa membencana-alamkan Lapindo sangatlah menderitakan. Tak pelak, kepedihan korban Lapindo pun kian menceruk dan menjurang.
Dalam hal ini oposisi biner, antara “aku” (korban Lapindo) dan “mereka” (pihak Lapindo), semakin kentara. “Aku” yang tertibun sampah kian terpinggirkan, sedang “mereka” yang menumpuknya, menggembar-gemborkan, dan mendiskusikannya tengah menjalankan grand-scenario-nya: bahwa Lapindo itu bencana alam nasional.
Jika demikian, siapapun yang berempati pada “aku” akan mempertanyakan kuasa apakah di balik pembencana-alaman Lapindo? Pihak “mereka” memainkan ekonomi politik, merebut kuasa berbagai pihak secara politis, guna menghegemoni “aku”, dan agar berkekuatan untuk berkelit dari kewajibannya mengganti-rugi korban.
Kartun Clekit harian ini (21/2) mengilustrasikan satu dialog antara “aku” dan wakil rakyat yang tambun. Si aku bertanya,”Sebenarnya lumpur Lapindo itu bencana alam atau bukan sih pak?” Dengan kelakar si wakil rakyat pun menyahut cuek,”Jawabannya tergantung, tergantung pesanan!”
Frasa “tergantung pesanan” sangat berbau permainan politis. Barangsiapa memesan lebih dulu, dan tawaran pesanannya lebih menggiurkan, akan menggoda si wakil rakyat. Tanpa disadari, “mereka” (pihak Lapindo) meluaskan jejaring kuasanya, sedang “aku” (korban Lapindo) nyaris mustahil menyalip di tikungan.
Terbukti, virus-virus jejaring kuasa yang “mereka” tebarkan telah menjangkiti sebagian anggota DPR, meski sebagian lain tetap imun. Anggota Dewan jadi rebutan, agar menerima pesanan, agar memberikan pembelaan sebagai imbalan. Pro-kontra di rapat paripurna kemarin merepresentasikan kekuatan pembela “aku” dan pembela “mereka”.
Siapakah yang memenangi tender “pesanan” itu? “Aku” pastilah ngos-ngosan membayar ongkos maha-mahal; toh selama ini sudah terlalu besar pengorbanan yang dibayar, dengan hasil (nyaris) nol. Maka, peluang tender itu hanya terbuka bagi “mereka” berkat kuasa uang dan kuasa politik yang dimilikinya. Itulah pemenangnya.
Padahal, tendensi mematok semburan panas Lapindo sebagai bencana alam sejatinya sudah bisa dibaca jauh-jauh hari. Kamuflase pemberian ganti-rugi, yang ditunda sekian kali, plus ketaktegasan pemerintah untuk menekan Lapindo, merupakan bagian perangkap grand-scenario Lapindo guna “berbagi” dengan pemerintah atau malah mau lepas dari segala tanggungjawab.
Namun, tarung kuasa di balik kasus Lapindo menyebabkan berbagai kamuflase tersebut. Kemudian, berbagai kunjungan dan penelitian lapangan, menjadi pengalih perhatian, sehingga penanganan pun seakan diambangkan. Nah, saat sederet bencana alam melanda Tanah Air, itu ikut jadi pembenar bahwa Lapindo termasuk bencana alam murni.
Kini dengan status bencana alam, pananganan lumpur panas itu dioper pemerintah, meski harus menguras anggaran negara untuk pemulihan infrastruktur, bantuan ganti-rugi, dan hal-hal lain terkait dampak semburan lumpur panas itu. Tanpa mengurangi peran Lapindo selama ini, suatu saat Lapindo paling banter hanya menanggung beban moral.
Maka pupuslah harapan “aku” alias korban lumpur Lapindo. “Aku” dan hidup yang dijalani menjadi sampah, teronggok dalam ketidakpastian, menanti dalam kehampaan. Masa depan suram dan mengerikan, terlebih semua akan bergantung kemampuan keuangan negara—yang kini tengah dibayangi krisis pangan dan inflasi tak terkendali. Mau tak mau bangsa ini ikut membayar ongkos social-ekonominya.
Dalam keputusasaan yang mendera, rakyat kecil korban Lapindo mustahil mengharap keajaiban dari mereka yang menggembar-gemborkan dan mendiskusikannya. Korban Lapindo sudah lelah dan amat lelah. Bahkan apatisme dan sinisme meraung-raung di dalam benak. Luka menganga itu sangat mendalam.
Satu-satunya yang barangkali masih tersisa hanya sikap tawakkal, bersandar kepada Tuhan. Meski “semua (telah menjadi) sampah,” begitu tulis Yunita Indriyani, ”Aku ingin jadi mutiara.” Entah seusia berapa Yunita itu kini, entah kuliah, bekerja, atau juga bagian dari keluarga korban Lapindo, namun impiannya sangat menakjubkan.
Sajak di atas mencerminkan betapa percuma mendambakan uluran tangan siapapun, termasuk mereka yang menggembar-gemborkan dan mendiskusikannya. Percuma menghujat, memaki, berdemo, apalagi bertindak anarkis, meski atmosfir kanibalistik telah mendzaliminya. Sebaliknya, percuma pula kalau hanya duduk merenungi nasib yang kelabu.
Dengan bersandar pada Tuhan, lebih dekat lagi daripada biasanya, mempertebal keyakinan bahwa di balik segala musibah pastilah tersimpan hikmah tak ternilai harganya. Setidaknya “aku” masih bisa bersyukur, karena bukanlah nyawa yang hilang sebagaimana yang dialami masyarakat lain di berbagai daerah yang dilibas banjir, badai tsunami, dan sederet bencana alam di Tanah Air.
Alangkah bergetarnya hati kita tatkala mendapati bangkitnya rakyat korban Lapindo dengan mempedomani penggalan sajak Yunita: “Aku ingin jadi mutiara.” Dan alangkah tadzimnya kita tatkala mendapati impian besar itu menjadi kenyataan, memberikan pencerahan bagi mereka yang telah mendzaliminya.
Karena itu, bangkitnya Yunita-Yunita baru, dengan impian untuk menjadi mutiara yang kemilauan, sangat didambakan. Seandainya korban Lapindo nanti ditempatkan ke pemukiman baru, mutiara itu akan digosok-gosok dengan kerja keras dan doa tak bertepian. Waktu akan mengkilaukan mutiara yang telah kusam di dalam sampah.
Hanya dengan impian besar yang dilandasi tawakkal pada Tuhan, korban Lapindo akan lebih bersemangat, kreatif, tangguh berjuang, mengukir legenda nasib lebih baik. Dan jika suatu saat impian itu terwujud, di sinilah terletak makna hakiki menjadi pemenang sejati. Mudah-mudahan.***

Tidak ada komentar: