It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

11 Agustus 2008

Miskin Tapi Sombong

Much. Khoiri
Baru-baru ini saya mendapat e-mail dari beberapa teman luar negeri antara lain Inggris, Amerika, Mesir, Swedia, dan Colombia. Selain berbagi kabar, termasuk proses kreatif, mereka umumnya menanyakan kondisi ekonomi dan politik Indonesia, bahkan ada yang menyinggung soal korupsi.
Atas pertanyaan mereka, saya malu berterus terang. Jika blak-blakan, pikir saya, negara dan bangsa ini akan dilabeli lebih buruk lagi, meski mereka toh mungkin tahu bahwa kita ini miskin dengan tingkat korupsi tinggi! Maka, dalam jawaban email saya, dengan rada nasionalis, saya terpaksa berdiplomasi, guna menutupi borok-borok yang ada.
Jawaban senada pernah saya berikan saat mengikuti International Writing Program di Amerika pada 1993 silam. Saat itu teman saya, dramawan Kenya, Okoiti Omtatah, bertanya berapa gaji saya sebagai dosen, secara diplomatis saya mengaku cukup guna menopang keluarga saya. Padahal, saya hanya malu jika nilai rupiah di-kurs-kan ke dolar (saat itu USD 1 = Rp 2.100).
Sejatinya dalam hati saya malu dan sedih luar biasa. Terlebih, kini kita ini benar-benar miskin, utang luar negeri kita tak kurang USD 160 miliar, dan tiap tahun kita sibuk membayar bunganya. Belum lagi utang dalam negeri, plus “heroiknya” pemerintah yang suka mensuplai bank-bank yang mau bangkrut. Kita terperosok entah sampai berapa turunan.
Mereka agaknya tidak sadar akan kesedihan saya, bahwa negeri kita yang besar ini hanya dianggap kecil dalam percaturan dunia, hampir di segala lini. Kalau kita melacak situs-situs di internet, misalnya, lalu kita harus log-in dengan menyertakan nama negara, eh, tak jarang nama Indonesia tak muncul sebagai pilihan.
Maka, dalam jawaban email itu, tentu saya tidak membeber tentang UMR buruh yang sepadan USD 90—yang bagi orang AS cuma cukup untuk makan dua hari. Atau tentang petaka krisis energi, hilangnya swasembada pangan, depresi sosial, serta berbagai nasib kelabu orang-orang terpinggirkan.
Saya juga tidak menyinggung dugaan korupsi oknum anggota Dewan, atau tentang tarung kuasa antar partai politik dan antar ormas yang makin heboh dan chauvinistik. Saya terpaksa menutupi primodialisme sempit ini. Kata saya, kita baik-baik saja, “We’re still learning democracy.”
Dalam hal ini saya mungkin hipokrit (munafik); itu lebih baik daripada membeber fakta bahwa banyak pemimpin negeri ini sombong meski miskin. Uang negara, termasuk dari utang luar negeri, untuk bancakan. Maunya tampil perlente, bergaya hidup wah, minta fasilitas ini-itu, meski kinerjanya tak memuaskan sama sekali.
Begitulah, selagi berposisi sebagai bagian bangsa ini, saya gemas dan ingin mengkritik habis-habisan terhadap berbagai kepincangan yang terjadi. Namun, saat diposisikan dalam perspektif yang melibatkan orang asing, saya tidak tega “menjual” kebobrokan bangsa ini hanya untuk membuat mereka menstigmakan kita.
Kita sadar bahwa kita telah jatuh miskin, dan tak tahu kapan bangkit kembali. Kita hanya tak habis pikir mengapa banyak pemimpin negeri ini yang tetap sombong dalam kemiskinan negeri. Amanah jabatan tak dihiraukan, yang penting memperkaya diri. Sungguh, inilah negeri aneh bin absurd.
Yang pasti, untuk sementara, saya lega, bisa menjawab pertanyaan berat teman-teman luar negeri saya meski dengan kamuflase. Hanya, saya tak tahu, jawaban apa lagi yang harus saya tulis kalau dalam waktu dekat mereka meng-email ulang dan meragukan jawaban diplomatis saya.
KBD, 9 August 2008

1 komentar:

Tips for Woman mengatakan...

Iya pak...benar sekali...saya jadi ingat pernah membaca sebuah artikel di surat kabar mengenai tingkah laku anggota dewan kita sewaktu mengikuti pertemuan di luar negeri(saya lupa tahun berapa)....disitu dikemukakan betapa ironi-nya keadaan kita...
Rombongan dari jepang yang notabene lebih kaya datang ke acara tersebut dengan menggunakan bis namun rombongan dari Indonesia, menggunakan limousine....Mungkin...negara kita memang kaya pak.....Kaya Gengsi.... :-)