It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

24 Januari 2012

BELAJAR MEMAHAMI TEMAN (1)


Much. Khoiri
Siapakah yang disebut sebagai teman dalam hidup kita?
Kebanyakan kita memaknai teman sebagai orang lain yang mau merasakan apa yang kita rasakan, memikirkan apa yang kita pikirkan, dan mengalami apa yang kita alami Ada juga yang lebih ekstrem, teman itu hanya kita dapati di meja makan, lalu pergi ketika kita sedang kelaparan. Namun, jika direnungkan lebih dalam, hakikatnya “a friend in need is a friend indeed.”—teman yang sesungguhnya adalah teman ketika saling membutuhkan.
Saya punya teman dekat sewaktu bersekolah di tingkat SMP, kebetulan itu putra bu  guru dari ibu saya. Pertemanan itu berlanjut di SMA, bahkan sewaktu sama-sama kuliah tahun 1985-an. Waktu dekat, kami saling membutuhkan, dan  karena itu kami teman yang dekat dan baik. Ketika sama-sama kuliah, ketika ada orang lain mengisi hari-hari saya dan juga hari-hari dia, pertemanan kami tidak seakrab dulu. Jarak Jember dan Surabaya telah memisahkan kami, seakan kami tidak saling membutuhkan. Tentu saja posisi teman telah digeser oleh teman-teman kuliah masing-masing.
Kali ini saya juga menjalin pertemanan dengan orang-orang hebat, yakni para alumni Unesa. Mereka berkomunikasi lewat milis, saling memberi respons terhadap isu-isu yang di-posting, saling memberikan saran, dan saling melengkapi. Secara hakikat, inilah teman-teman baru saya. Mereka-lah yang memberi saya warna hidup, menghangatkan, menyejukkan, dan mensuasanakan saya dalam dunia nyata dan dinamis.
Sementara itu, saya terpaksa perlu “menyisihkan” teman-teman terdahulu yang saat ini tidak memberikan manfaat tertentu untuk pengembangan diri saya—bukan berarti saya melupakan mereka. Toh, kenyataannya, mustahil bagi saya untuk mengingat mereka setiap saat, terkecuali ketika saya atau teman membutuhkan satu sama lain. Terlebih lagi, teman-teman lama yang, ternyata, telah “berkhianat” dan menelikung saya dari belakang. Yang terakhir ini, terpaksa, harus masuk kamar.
Kok bisa? Orang yang paling dekat dengan kita, dia tahu paling banyak tentang kita, dan berpotensi paling besar untuk berbuat baik atau buruk bagi kita. Untuk yang baik-baik, jelaslah. Namun, hal buruk pun bisa terjadi. Raja Jayakatwang tewas di tangan Ken Arok, seseorang yang sangat tahu tentang sang Raja. Konon, wafatnya Soekarno juga berkaitan dengan penyusupan dokter CIA yang diskenario oleh “orang dekat” presiden pertama RI itu.
Jangankan orang lain, kekasih kita saja akan menjadi ancaman besar bagi kita selagi di hatinya ada niat buruk. Bisa saja dia menikam suatu saat kelak, karena dia tahu betul apa dan siapa diri kita. Itu berlaku bagi kekasih yang tidak punya cinta tulus dan lapang hati—bisa jadi cintanya dilengketi kerakusan. Sebaliknya, jika di hatinya ada niat baik, kekasih adalah bidadari yang bersemayam di taman hati.
Begitulah, saya tidak ragu lagi untuk “memeluk” pandangan filosofis di atas. Setidaknya dalam konteks kekinian saya merasa nyaman dengan pandangan tersebut. Saya benar-benar memerlukan orang-orang yang mendukung saya untuk mengembangkan House of Creative Works (HCW)—yakni mereka yang beromitmen dan berintegritas militan.  Impian membesarkan HCW benar-benar masih membara, namun saya perlu manusia-manusia pilihan untuk “membakar” bara itu agar semakin berkobar dan mengantarkan impian menjadi kenyataan.
Adalah dua orang itu yang memenuh “kriteria” teman yang telah saya tetapkan. Ternyata, saya tidak bertepuk sebelah tangan. Mereka juga memerlukan saya, karena impian saya beririsan atau bersesuaian dengan impian mereka. Sungguh suatu keajaiban yang tak terduga. Ini semakin terasa setelah soft-launching kumpulan cerpen (kumcer) “Ndoro, Saya Ingin Bicara” di ruang baca Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris pada 5 Juni 2011 bersama rektor dan para alumni.
Memang ada teman yang belakangan selalu mengirimkan paket-aket aora negatif, yang menguras pikiran, energi, dan perasaan—entah karena iri, dengki, atau terancam posisinya. Namun, kini terpaksa saya kelompokkan dia sebagai bukan teman sejati, karena dia telah menelikung dan berkhianat—meski secara perlahan saya akan bertindak sebagai pemulih jiwa baginya. Karena itu, kehadiran teman-teman baru saya adalah anugerah luar biasa, yang bakal selalu memberikan aora positif, mencerahkan, dan mempelangikan hidup saya.
Saya ingin menjadi manusia dengan jiwa yang sehat, yang tampak dari kebahagiaan hati, mengingat bahwa hati adalah jendela jiwa. Dengan berteman dengan orang-orang positif, dan bekerja bersama mereka, dengan lingkungan yang positif dan sehat, impian kerja saya dan impian jiwa saya akan terwujud. Teman yang baik akan menjadi pemulih jiwa yang kurang sehat.
Bagaimana Anda?

Surabaya, Senin 6 Juni 2011

Tidak ada komentar: