Much. Khoiri
Siapakah
yang disebut sebagai teman dalam hidup kita?
Kebanyakan
kita memaknai teman sebagai orang lain yang mau merasakan apa yang kita
rasakan, memikirkan apa yang kita pikirkan, dan mengalami apa yang kita alami
Ada juga yang lebih ekstrem, teman itu hanya kita dapati di meja makan, lalu
pergi ketika kita sedang kelaparan. Namun, jika direnungkan lebih dalam,
hakikatnya “a friend in need is a friend indeed.”—teman yang sesungguhnya
adalah teman ketika saling membutuhkan.
Saya punya
teman dekat sewaktu bersekolah di tingkat SMP, kebetulan itu putra bu guru dari ibu saya. Pertemanan itu berlanjut
di SMA, bahkan sewaktu sama-sama kuliah tahun 1985-an. Waktu dekat, kami saling
membutuhkan, dan karena itu kami teman
yang dekat dan baik. Ketika sama-sama kuliah, ketika ada orang lain mengisi
hari-hari saya dan juga hari-hari dia, pertemanan kami tidak seakrab dulu.
Jarak Jember dan Surabaya telah memisahkan kami, seakan kami tidak saling
membutuhkan. Tentu saja posisi teman telah digeser oleh teman-teman kuliah
masing-masing.
Kali ini
saya juga menjalin pertemanan dengan orang-orang hebat, yakni para alumni
Unesa. Mereka berkomunikasi lewat milis, saling memberi respons terhadap
isu-isu yang di-posting, saling memberikan saran, dan saling melengkapi. Secara
hakikat, inilah teman-teman baru saya. Mereka-lah yang memberi saya warna
hidup, menghangatkan, menyejukkan, dan mensuasanakan saya dalam dunia nyata dan
dinamis.
Sementara itu,
saya terpaksa perlu “menyisihkan” teman-teman terdahulu yang saat ini tidak
memberikan manfaat tertentu untuk pengembangan diri saya—bukan berarti saya
melupakan mereka. Toh, kenyataannya, mustahil bagi saya untuk mengingat mereka
setiap saat, terkecuali ketika saya atau teman membutuhkan satu sama lain.
Terlebih lagi, teman-teman lama yang, ternyata, telah “berkhianat” dan
menelikung saya dari belakang. Yang terakhir ini, terpaksa, harus masuk kamar.
Kok bisa?
Orang yang paling dekat dengan kita, dia tahu paling banyak tentang kita, dan
berpotensi paling besar untuk berbuat baik atau buruk bagi kita. Untuk yang
baik-baik, jelaslah. Namun, hal buruk pun bisa terjadi. Raja Jayakatwang tewas
di tangan Ken Arok, seseorang yang sangat tahu tentang sang Raja. Konon,
wafatnya Soekarno juga berkaitan dengan penyusupan dokter CIA yang diskenario
oleh “orang dekat” presiden pertama RI itu.
Jangankan
orang lain, kekasih kita saja akan menjadi ancaman besar bagi kita selagi di
hatinya ada niat buruk. Bisa saja dia menikam suatu saat kelak, karena dia tahu
betul apa dan siapa diri kita. Itu berlaku bagi kekasih yang tidak punya cinta
tulus dan lapang hati—bisa jadi cintanya dilengketi kerakusan. Sebaliknya, jika
di hatinya ada niat baik, kekasih adalah bidadari yang bersemayam di taman
hati.
Begitulah, saya
tidak ragu lagi untuk “memeluk” pandangan filosofis di atas. Setidaknya dalam
konteks kekinian saya merasa nyaman dengan pandangan tersebut. Saya benar-benar
memerlukan orang-orang yang mendukung saya untuk mengembangkan House of
Creative Works (HCW)—yakni mereka yang beromitmen dan berintegritas militan. Impian membesarkan HCW benar-benar masih
membara, namun saya perlu manusia-manusia pilihan untuk “membakar” bara itu
agar semakin berkobar dan mengantarkan impian menjadi kenyataan.
Adalah dua
orang itu yang memenuh “kriteria” teman yang telah saya tetapkan. Ternyata,
saya tidak bertepuk sebelah tangan. Mereka juga memerlukan saya, karena impian
saya beririsan atau bersesuaian dengan impian mereka. Sungguh suatu keajaiban
yang tak terduga. Ini semakin terasa setelah soft-launching kumpulan cerpen (kumcer) “Ndoro, Saya Ingin Bicara”
di ruang baca Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris pada 5 Juni 2011 bersama rektor
dan para alumni.
Memang ada
teman yang belakangan selalu mengirimkan paket-aket aora negatif, yang menguras
pikiran, energi, dan perasaan—entah karena iri, dengki, atau terancam
posisinya. Namun, kini terpaksa saya kelompokkan dia sebagai bukan teman
sejati, karena dia telah menelikung dan berkhianat—meski secara perlahan saya
akan bertindak sebagai pemulih jiwa baginya. Karena itu, kehadiran teman-teman
baru saya adalah anugerah luar biasa, yang bakal selalu memberikan aora
positif, mencerahkan, dan mempelangikan hidup saya.
Saya ingin
menjadi manusia dengan jiwa yang sehat, yang tampak dari kebahagiaan hati,
mengingat bahwa hati adalah jendela jiwa. Dengan berteman dengan orang-orang positif,
dan bekerja bersama mereka, dengan lingkungan yang positif dan sehat, impian
kerja saya dan impian jiwa saya akan terwujud. Teman yang baik akan menjadi
pemulih jiwa yang kurang sehat.
Bagaimana
Anda?
Surabaya, Senin
6 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar