Bekerja dan mengabdi di dunia pendidikan itu tak jarang
menjadi repot dan dilematis—itulah yang mungkin dirasakan oleh para guru. Sementara,
orangtua menuntut sesuatu yang terbaik. Tak jarang muncul ketidaksesuaian
antara harapan guru dan harapan orangtua.
Salah satunya adalah kedisiplinan siswa. Kedisiplinan
siswa benar-benar sarat teka-teki dalam implementasinya. Bolehkah memberikan
hukuman fisik (wajar) untuk membangun dan menegakkan disiplin di sekolah? Lebih
ekstremnya, perlukah sejatinya mendisiplinkan siswa?
Dalam hal ini ada pelajaran
menarik dari kasus seorang kepala
sekolah menjewer siswanya beberapa waktu
lalu, yakni betapa dilematisnya menegakkan disiplin! Di satu sisi disiplin penting
agar tercipta ketertiban, kelancaran, dan keberhasilan pendidikan. Di sisi
lain, orangtua kadang tak terima kalau anaknya diberi sanksi fisik meski anak tersebut nyata-nyata melanggar
disiplin.
Rasionalnya begini: Tidak
ber-hasduk, bagi pihak sekolah, melanggar disiplin, dan diberi sanksi “jeweran
sayang”. Itu pun setelah ada peringatan sebelumnya. Tujuannya, bukan menyiksa,
justru agar ada efek jera. Menurut
pihak sekolah, disiplin bersama harus dimulai
dari hal-hal kecil semacam itu.
Memang orangtua yang telah pasrah ke sekolah agar anaknya
dididik utuh, bukan hanya memahami buku tapi juga menempa kepribadian (termasuk
disiplin), memahami langkah sekolah. Mendidik anak perlu ada reward dan punishment. Sekolah bahkan bertekad menyempurnakan proses
pendidikan di rumah.
Namun, ada orangtua
overprotektif terhadap anaknya. Terlalu sayang! Belajar mata pelajaran yes,
disiplin oke, tapi jika melanggar, sanksi nanti dulu lah: mbok ya jangan disanksi fisik! Kilahnya, wong seumur-umur mereka tak pernah mencubit anaknya, kok guru seenaknya menjewer kuping. Yang dilihat orang kelompok ini hanya tindakan guru
menjewer siswa, bukan jenis dan tingkat pelanggarannya.
Orangtua kelompok kedua ini merasa, bahwa sanksi fisik itu
melanggar HAM. Namun, mereka lupa, berlakunya hak siswa di sekolah dibatasi kewajibannya
menaati hak sekolah dalam menegakkan
peraturan. Agaknya mereka hanya mengharapkan sanksi yang lunak-lunak saja
terhadap anaknya.
Saya jadi teringat semasa bersekolah SMP di sebuah daerah di kabupaten Madiun pada tahun 1980-an.
Kalau ada siswa salah dihukum atau dijejer (dihukum
berdiri) di
depan kelas, tidak ikut upacara dijemur
di lapangan, tidak berseragam harus pulang ambil seragam, atau membolos harus menulis pernyataan yang
diteken orangtua. Di sini ada kontrol proporsional, dan roh pendidikan menemukan
konteksnya.
Memang siswa tahun 1980-an disanksi fisik untuk tujuan mendidik disiplin,
diterima sebagai kelumrahan dan tiada protes atas nama HAM. Saat itu orangtua sangat menghormati kondisi dan kewenangan sekolah untuk
mendidik siswa, termasuk mendisiplinkan siswa. Sementara itu,
orangtua sekarang banyak yang sewot ketika anaknya disanksi
fisik meski nyata-nyata telah melanggar disiplin. Isu-isu HAM
sering dijadikan bemper atau tameng pelindung.
Nah, sekarang marilah direnungkan. Jika ada
pelanggaran disiplin, tidak berhakkah pihak sekolah memberi sanksi? Apakah
pelanggaran itu cukup diperingatkan berulang, dipersuasi terus-menerus, ataukah
diberi sanksi “lunak” semisal menulis surat pernyataan bermaterei Rp 6000,- misalnya?
Bagaimana kalau pelanggarannya berupa
meledek guru sampai menangis, menjahili teman, menyontek, atau tawuran?
Agaknya rasionalnya tidak selaras. Mana
mungkin masalah non-akademik didekati dengan terapi akademik? Hal itu ibarat
mengobati kanker dengan obat penyakit kulit. Efek kuratifnya bisa jadi meragukan. Siswa akan
meremehkan aturan, dan mengira pelanggaran disiplin bisa “ditebus” dengan tugas.
Andaikata pun tanggungjawab
mendisiplinkan siswa dikembalikan ke orangtua (overprotektif) tersebut,
pastilah mereka tak mau. Mereka akan bersikap lepas tangan, dan mengklaim telah
mendidik anak mereka di rumah, meski anaknya mungkin “lepas
kontrol” sesaat keluar rumah. Lagi-lagi, sekolah dikambinghitamkan atau disalahkan.
Oleh karena itu, bisa dikatakan, alangkah repotnya
membina disiplin di sekolah. Padahal, jika pelanggaran disiplin dibiarkan alias tidak ditangani ,
sekolah hanya identik tempat mengajar, bukan tempat mendidik disiplin, budi
pekerti, sopan santun, dan sebagainya. Orangtua secara tak sadar telah
mereduksi atau mengerdilkan tugas
mendidik guru, dan menilai guru hanya sebagai “pekerja” yang “mengajarkan” sesuatu.
Dampaknya, selain kehilangan otonomi mendidik, sekolah dan/atau guru akan
superhati-hati menentukan sanksi atas pelanggaran. Padahal jika tanpa sanksi,
apakah guna sebuah peraturan (dibuat
atau dirumuskan)? Sepak bola saja, di balik
kekerasannya, menjunjung tinggi sportivitas berkaitan dengan disiplin.
Dan, sampai kini, belum ada ceritanya
pemain mempraperadilkan wasit atas nama HAM kalau dia diganjar kartu merah.
Oleh karena itu, seyogianya
jangan sedikit-sedikit HAM, yang ironisnya justru memanjakan siswa (karena
merasa terlindungi). Malah perlu direnungkan, bukankah membiarkan siswa
melanggar disiplin berulang-kali hingga lepas kendali dan menjadi anak yang liar
dan lembek kepribadiannya adalah pelanggaran HAM yang nyata (meski prosesnya dalam jangka panjang)?
Orangtua seyogianya justru harus lebih arif
memaknai HAM dalam konteks disiplin siswa di sekolah. Ada “kewajiban asasi” yang
harus dihormati bersama, dan digunakan sebagai pembatas dan penegas tafsir HAM
dalam konteks penegakan disiplin di sekolah.
Bagaimana pun, sekolah
bukanlah pasar krempyeng atau pasar
malam. Ada sistem yang harus dijalankan dan dikembangkan.
Siapapun seharusnya beradaptasi
diri dengan aturan main sistem itu. Bukankah kancil pun mesti belajar mengembik
dikala berada di kandang
kambing? Dalam hal ini,
dalam momentum ini, marilah
bertanya pada hati nurani.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar