It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

30 Januari 2013

DILEMA "MENDISIPLINKAN" SISWA


Bekerja dan mengabdi di dunia pendidikan itu tak jarang menjadi repot dan dilematis—itulah yang mungkin dirasakan oleh para guru. Sementara, orangtua menuntut sesuatu yang terbaik. Tak jarang muncul ketidaksesuaian antara harapan guru dan harapan orangtua.


Salah satunya adalah kedisiplinan siswa. Kedisiplinan siswa benar-benar sarat teka-teki dalam implementasinya. Bolehkah memberikan hukuman fisik (wajar) untuk membangun dan menegakkan disiplin di sekolah? Lebih ekstremnya, perlukah sejatinya mendisiplinkan siswa?

Dalam hal ini ada pelajaran menarik dari kasus seorang kepala sekolah menjewer siswanya beberapa waktu lalu, yakni betapa dilematisnya menegakkan disiplin! Di satu sisi disiplin penting agar tercipta ketertiban, kelancaran, dan keberhasilan pendidikan. Di sisi lain, orangtua kadang tak terima kalau anaknya diberi sanksi fisik meski anak tersebut nyata-nyata melanggar disiplin.

Rasionalnya begini: Tidak ber-hasduk, bagi pihak sekolah, melanggar  disiplin, dan diberi sanksi “jeweran sayang”.  Itu pun setelah ada  peringatan sebelumnya. Tujuannya, bukan menyiksa, justru agar ada efek jera. Menurut pihak sekolah, disiplin bersama harus dimulai dari hal-hal kecil semacam itu.

Memang orangtua yang telah pasrah ke sekolah agar anaknya dididik utuh, bukan hanya memahami buku tapi juga menempa kepribadian (termasuk disiplin), memahami langkah sekolah. Mendidik anak perlu ada reward dan punishment.  Sekolah bahkan bertekad menyempurnakan proses pendidikan di rumah.

Namun, ada orangtua overprotektif terhadap anaknya. Terlalu sayang! Belajar mata pelajaran yes, disiplin oke, tapi jika melanggar, sanksi nanti dulu lah: mbok ya jangan disanksi fisik! Kilahnya, wong seumur-umur mereka tak pernah mencubit anaknya, kok guru seenaknya menjewer kuping.  Yang dilihat orang kelompok ini hanya tindakan guru menjewer siswa, bukan  jenis dan tingkat pelanggarannya.

Orangtua kelompok kedua ini merasa, bahwa sanksi fisik itu melanggar HAM. Namun, mereka lupa, berlakunya hak siswa di sekolah dibatasi kewajibannya menaati hak sekolah dalam menegakkan peraturan. Agaknya mereka hanya mengharapkan sanksi yang lunak-lunak saja terhadap anaknya.

Saya jadi teringat semasa bersekolah SMP di sebuah daerah di kabupaten Madiun pada tahun 1980-an.  Kalau ada siswa salah dihukum atau dijejer (dihukum berdiri) di depan kelas, tidak  ikut upacara dijemur di lapangan, tidak berseragam harus pulang ambil seragam, atau  membolos harus menulis pernyataan yang diteken orangtua. Di sini ada kontrol proporsional, dan roh pendidikan menemukan konteksnya.

Memang siswa tahun 1980-an disanksi fisik untuk tujuan mendidik disiplin, diterima sebagai kelumrahan dan tiada protes atas nama HAM. Saat itu orangtua sangat menghormati kondisi dan kewenangan sekolah untuk mendidik siswa, termasuk mendisiplinkan siswa. Sementara itu, orangtua sekarang banyak yang sewot ketika anaknya disanksi fisik meski nyata-nyata telah melanggar disiplin. Isu-isu HAM sering dijadikan bemper atau tameng pelindung.

Nah, sekarang marilah direnungkan. Jika ada pelanggaran disiplin, tidak berhakkah pihak sekolah memberi sanksi? Apakah pelanggaran itu cukup diperingatkan berulang, dipersuasi terus-menerus, ataukah diberi sanksi “lunak” semisal menulis surat pernyataan bermaterei Rp 6000,- misalnya? Bagaimana kalau pelanggarannya berupa meledek guru sampai menangis, menjahili teman, menyontek, atau tawuran?  

Agaknya rasionalnya tidak selaras. Mana mungkin masalah non-akademik didekati dengan terapi akademik? Hal itu ibarat mengobati kanker dengan obat penyakit kulit. Efek kuratifnya bisa jadi meragukan. Siswa akan meremehkan aturan, dan mengira pelanggaran disiplin bisa “ditebus” dengan tugas.

Andaikata pun tanggungjawab mendisiplinkan siswa dikembalikan ke orangtua (overprotektif) tersebut, pastilah mereka tak mau. Mereka akan bersikap lepas tangan, dan mengklaim telah mendidik  anak  mereka di rumah, meski anaknya mungkin “lepas kontrol” sesaat keluar rumah. Lagi-lagi, sekolah dikambinghitamkan atau disalahkan.

Oleh karena itu, bisa dikatakan, alangkah repotnya membina disiplin di sekolah. Padahal, jika pelanggaran disiplin dibiarkan alias tidak ditangani , sekolah hanya identik tempat mengajar, bukan tempat mendidik disiplin, budi pekerti, sopan santun, dan sebagainya. Orangtua secara tak sadar telah mereduksi atau mengerdilkan tugas mendidik guru, dan menilai guru hanya sebagai “pekerja” yang mengajarkan sesuatu.

Dampaknya,  selain kehilangan otonomi mendidik, sekolah dan/atau guru akan superhati-hati menentukan sanksi atas pelanggaran. Padahal jika tanpa sanksi, apakah guna sebuah peraturan (dibuat atau dirumuskan)? Sepak bola saja, di balik kekerasannya, menjunjung tinggi sportivitas berkaitan dengan disiplin. Dan,  sampai kini, belum ada ceritanya pemain mempraperadilkan wasit atas nama HAM kalau dia diganjar kartu merah.

Oleh karena itu, seyogianya jangan sedikit-sedikit HAM, yang ironisnya justru memanjakan siswa (karena merasa terlindungi). Malah perlu direnungkan, bukankah membiarkan siswa melanggar disiplin berulang-kali hingga lepas kendali dan menjadi anak yang liar dan lembek kepribadiannya adalah pelanggaran HAM yang nyata (meski prosesnya dalam jangka panjang)?

Orangtua seyogianya justru harus lebih arif memaknai HAM dalam konteks disiplin siswa di sekolah. Ada “kewajiban asasi” yang harus dihormati bersama, dan digunakan sebagai pembatas dan penegas tafsir HAM dalam konteks penegakan disiplin di sekolah.

Bagaimana pun, sekolah bukanlah pasar krempyeng atau pasar malam.  Ada sistem yang harus dijalankan dan dikembangkan. Siapapun seharusnya beradaptasi diri dengan aturan main sistem itu. Bukankah kancil pun mesti belajar mengembik dikala berada di kandang kambing? Dalam hal ini, dalam momentum ini, marilah bertanya pada hati nurani.***

Tidak ada komentar: