Much. Khoiri
Alangkah tak terhingganya rahasia atau misteri yang terhampar
di muka bumi ini, dan alangkah dhaif
(lemah)-nya saya dalam memahami (meski) hanya sebagian kecil darinya. Salah
satu bagian kecil itu adalah suatu hikmah dari suatu kejadian.
Ketika kita mendapati suatu musibah—entah ketinggalan
kereta, kecopetan, ditinggal kekasih, sakit, hingga kematian—sahabat yang baik
lazimnya datang menghibur, dan menutup kata-katanya dengan ungkapan, “Semua itu
pasti ada hikmahnya.” Sebelum kalimat terakhir, sahabat akan mengelus hati kita
agar bersabar, tabah, dan tawakkal.
Jarang sekali ada sahabat yang datang kepada kita ketika
kita mengenyam kebahagiaan—entah dapat door-prize
kulkas, komisi dari bos, atau kunci mobil (kantor)—dan mengucapkan kata-kata
yang sama. Padahal, dalam istilah
ustadz(ah), kebahagiaan itu—identik dengan musibah—hakikatnya hanyalah ujian
bagi manusia...(*Wuik, cik ngelipe..).
Kali ini saya termasuk ke dalam golongan kedua ini. Ya, saya
tidak sedang terkena musibah, kesusahan, ditinggal kekasih, atau kematian. Naudzubillahi mindzaalik. Saya justru
sedang merasakan kebahagiaan luar biasa. Nah, dalam kondisi inilah saya begitu bebal dan buramnya cermin hati untuk menangkap suatu hikmah di balik
kebahagiaan!
***
Kebahagiaan menyimpan makna teramat luas, bergantung siapa
yang memaknainya. Ia ada pada manusia lapar yang diberi makanan, pada manusia
telanjang yang diberi pakaian, pada manusia buta yang diberi tongkat, pada
mausia sakit parah yang dianugerahi kesmebuhan. Khusus untuk saya, kali ini,
suatu kebahagiaan ketika saya mengantuk dan capek, saya diberi kesempatan untuk
tidur pulas.
Mengapa tidur saja saya maknai suatu kebagiaan? Ya, obat dan
terapi bagi rasa kantuk dan capek memanglah tidur, dan itu suatu kebahagiaan.
Di samping itu, saya baru saja sembuh dari sakit dan masih harus menjaga
kesehatan dengan seksama, sehingga tidur merupakan kebahagiaan tak terukur.
Seharian saya sudah menumpuk rasa capek, plus “simpanan”
rasa capek yang saya karungi semalam akibat telat tidur karena harus
menghaluskan data perencanaan dan pengembangan. Meski tekun mengikuti setiap
sesi sharing dari beberapa perguruan
tinggi yang telah dan sedang menerima IDB Funds—USU Medan, UIN Ar-Raniry, UNJ
Jakarta—dan para pejabat-pejabat DIKTI, Bappenas, dan perwakilan IDB; tak urung
fisik dan mental saya pun kejet-kejet
(tepar) juga.
Itulah mengapa niat saya sudahlah bulat untuk tidak hadir
dalam gala dinner di “Kampung Laut”
yang dipersembahkan oleh panitia PMU IDB Forum ke-7, yakni Universitas Negeri
Semarang (Unnes). Dugaan saya, jika saya ikut hadir, pesta ikan itu akan
menyita waktu hingga larut malam—dan itu berarti saya tidak bisa segera tidur.
Selepas maghrib saya segera merebahkan diri di ranjang kamar
1007, sekamar dengan sahabat baru saya, pak M. Sirozi dari IAIN Palembang. Baru beberapa saat saya memanjakan diri,
hujan deras pun mengguyur Semarang. I
love rain so much. Saya pun beranjak
ke jendela, dan menikmati pemandangan bagaimana hujan membasuh seluruh kota
Semarang.
Dari jendela ini saya lihat kendaraan jemputan menuju
“kampung laut” sedang merambat; itu artinya saya pastilah tertinggal.
Alhamdulillah, saya justru bahagia kalau tertinggal, karena saya ingin dan
harus segera tidur. Dengan tidur secepatnya, kantuk dan capek saya akan segera
hilang, nanti malam akan bisa bangun malam, dan akan bisa membaca atau
menulis—serta bahagia!
***
Sejurus kemudian, di luar masih hujan deras, saya mendapat
pesan BB bahwa kolega tim IDB saya sakit kepala tak tertahankan. Badannya juga greges tak karuan. Maka, saya tawarkan diri untuk membelikan
obat, nanti setelah hujan reda.
Ternyata, hujan malam ini mungkin sengaja dikirimkan Tuhan
untuk memberikan ilmu sabar kepada saya (*soktau.com). Sementara itu, saya harus segera mendapatkan
obat-obatan yang dipesan kolega saya. Saya tahu di mana apotek terdekat yang
menyediakan obat tersebut, namun hujan malam masih menertawakan otak saya yang mulai mengeluh....
Maka, sedikit saja ada peluang reda hujannya, saya cepat
melesat ke apotek. Dalam waktu singkat, pegawai apotek—gadis Semarang yang manis—telah
menyiapkan pesanan saya. Setelah itu, tanpa buang waktu, saya segera melesat ke
lobi, naik lift, dan berhenti di lantai 13 untuk menyerahkan obat itu. Di
sebuah kamar di lantai inilah saya mendapati kolega saya yang pasti—lalu
tersenyum.
***
Malam sudah cukup larut, pukul 22.15, namun para sahabat
baru yang menghadiri pesta ikan “kampung laut” belumlah kembali. (Perkiraan
saya mereka akan pulang setelah pesta ikan dan berkaraokean—dan itu artinya
tengah malam.)
Saya benar-benar harus beristirahat. Tiada alasan yang lebih
baik kecuali harus tidur. Karena itulah, saya mulai memejamkan mata. Terasa
nikmat mata ini, setelah seharian memelototi berjibun data di laptop, sambil
mengikuti presentasi sharing.
Semarang mulai bergeser ke peraduan malam jua.
Namun, saya akhirnya tidak jadi tidur terlebih dahulu. Field representative IDB, Dr. Makhlani
menghubungi saya dan pak Suprapto (ketua TPP Unesa) untuk bertemu di lobi
hotel. (Ternyata, beliau juga tidak bisa hadir dalam pesta ikan.) Sudah lama
saya ingin bertemu beliau, dan malam inilah saatnya untuk menambah kebahagiaan
itu.
Di lobi saya dan pak Suprapto bertemu dengan pak Makhlani.
Justru malam inilah kami memperoleh (bocoran) informasi terkait dengan
persiapan appraisal IDB di tujuh
universitas di tanah air (Unesa, UNY, Untan, Unlam, Unsrat, UNG, Unsyiah). Kami
juga diminta untuk membuat draf jadwal appraisal
yang akan dikomunikasikan ke berbagai pihak terkait.
Senyum yang teduh dan kata-kata yang santun pak Makhlani
merupakan suatu kebahagiaan tersendiri. Termasuk tatkala kami menjabat tangan
beliau untuk menuju kamar masing-masing. Diskusi singkat dengan beliau
memberikan kekuatan dan optimisme berlipat, dalam menyambut appraisal.
Barangkali inilah hikmah di balik kebahagiaan. Andaikata
saya jadi ikut pesta ikan, mungkin tidak ada suatu peluang untuk meringankan
sakit kolega tim saya dan untuk berdiskusi penting dengan wakil IDB di
Indonesia ini. Sungguh, alangkah dhaifnya saya memahami “hanya” rahasia sekecil
ini di antara rahasia yang tak terhingga.***
Gumaya Tower Hotel
Semarang, 30 November 2012 (03:00)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar