Much. Khoiri
Menulis
(kreatif) itu menembus batas profesi, bukan semata dunia orang sastra (dan
bahasa). Dramawan Eugene O’Neill adalah seorang reporter London Telegraph;
sastrawan besar William Carlos Williams spesialis penyakit anak; dan Omar
Kayyam si penulis Rubaiyat seorang matematikawan. Itulah tesis yang saya
tegaskan dalam kata pengantar editor kumpulan cerpen Alumni Unesa yang bertajuk
“Ndoro, Saya Ingin Bicara” (2011).
Tesis
itu kian dikokohkan oleh sederet penulis, yang salah satunya adalah Cak
Djaelani—nama pendek dari M. Anwar Djaelani. Betapa tidak, Cak Djaelani telah
menambah nama-nama penghancur mitos bahwa penulis itu harus orang bahasa dan
sastra. Dia telah ikut membuktikan bahwa menulis (kreatif) itu menembus batas
profesi, bukan semata dunia orang sastra (dan bahasa).
Dengan
kata lain, dia membuktikan bahwa semua orang, termasuk orang MIPA pun, tak
peduli apapun profesinya, asalkan mau berusaha keras, akan mampu menggoreskan
tulisan cemerlang. Jika orang MIPA berhasil melumatkan mitos di atas, dia layak
dijuluki “sang pencipta tradisi”. Cak Djaelani termasuk salah seorang pencipta
tradisi (baru).
Siapakah
Cak Djaelani? Saya mungkin juga tak akan pernah mengenalnya seandainya saya
tidak membeli bukunya. Buku itu sendiri saya beli bersamaan buku lain, ketika
mahasiswa menggelar penjualan buku di samping pintu masuk gedung di kampus
Lidah Wetan. Begitu saya lihat, buku itu
tentang menulis, maka tanpa pikir panjang saya langsung mengambil dan
membayarnya.
Buku
bersampul dasar hijau gelap, berjudul “Warnai Dunia dengan Menulis” (InPas
Publishing, Surabaya, 2012), itu telah memperkenalkan saya dengannya. Sebuah
pertemuang yang absurd. Itu pun saya ketahui setelah melahap habis isi buku 222
halaman yang demikian menarik dan menggugah.
Ups,
saya tunda dulu membeberkan siapa Cak Djaelani. Biarkan saya berbagi sekilas
tentang buku yang diberi pengantar Dr. Adian Husaini dengan judul “Mengawal
Peradaban dengan Tulisan” ini. Lihat judulnya saja, saya sudah tergugah,
terlebih juga karena dilengkapi dengan pengantar yang di dalamnya mengingatkan
perjuangan tokoh-tokoh Islam lewat tulisan. Benar-benar mengajak berjuang lewat
tulisan!
Dengan
bahasa yang renyah, lincah, dan enak diikuti, buku ini juga menawarkan
penyadaran betapa pentingnya tulisan bagi kemajuan umat. Pokok pikiran yang hendak
disampaikan, terutama, sangat ingin mengembalikan tradisi baca-tulis umat yang
selama ini terkesan tidur. Umat haruslah dibangkitkan lewat tulisan, dan
mengajak membangkitkan sesama umat juga lewat tulisan.
Saya
sudah membaca cukup banyak buku tentang menulis, apalagi saya sendiri juga
dosen dengan spesialisasi matakuliah menulis (kreatif). Ada yang filosofis, ada
pula yang praktis. Akan tetapi, buku besutan Cak Djaelani tetap membuat saya
berdecak kagum, sehingga saya hampir tak mau berhenti membacanya, dan akhirnya
melahap seluruh isinya hanya dalam 24 jam.
Sekarang,
siapa bilang alumnus MIPA tidak bisa menulis buku yang hebat? Cak Djaelani
bisa! Dia bisa menuangkan pengetahuan, gagasan, pengalaman, dan perasaan
tentang menulis menjadi 6 (enam) bab—dan masing-masing bab disajikan dengan
menawan. Jika tidak hebat, dia pasti akan gagal meski hanya menulis satu
paragrap saja.
Siapa
bilang alumnus MIPA hanya bisa berwacana tentang zat-zat kimia, dan tak bisa
menulis? Cak Djaelani telah membuktikannya; bahkan dia menulis tentang
menulis—sesuatu yang tak selalu bisa dilakukan oleh alumnus bahasa dan sastra!
Ya, dia menulis bahwa membaca dan menulis itu merupakan tradisi umat terbaik.
Membaca pun diidentikkan menjelajahi alam. Bahkan, baginya, menulis itu
mewarnai dunia.
Yang
menarik, dia membeber 11 tokoh yang ‘kekal’ karena menulis, diantaranya Ibnu
Sina, Imam Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, Sayyid Qutub, dan
sebagainya. Tak lupa, dia mengajak kita untuk menulis; karena “menulis
itu—insyaallah—mudah.” Dengan semangatnya, dia berteriak lewat tulisannya di
bagian epilog: “Ayo, mulailah menulis, sekarang!”
Andaikan
dia tidak menulis pastilah dia tak bisa melampirkan contoh-contoh artikel dan
resensi. Itu semua adalah bukti bahwa dia tidak
asal ngomong. Dia mengajak orang lain menulis, karena dia sendiri juga
menulis. Dia mengajak dengan suri tauladan. Apa yang dia sampaikan menjadi
berwibawa dan menemukan tempatnya di hati saya—mungkin juga pembaca lain.
Nah,
siapa penulis yang telah mencuri perhatian saya itu? Dialah alumnus S1 FP-MIPA
IKIP Surabaya (Unesa) (1984). Ternyata, dia juga merampungkan kuliah S1
FH-Universitas Airlangga (1991), dan S2 Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Airlangga
(2003). Boleh dikata, dia telah mengalami studi lintas disiplin.
Mantan
aktivis HMI itu belum aktif menulis semasa menjadi mahasiswa S1, dan baru aktif
sejak 1996, baik buletin Jumatan maupun surat kabar, serta di website Pesantren
Hidayatullah Surabaya. Keajekan menulis untuk buletin dan website inilah yang mengasah
naluri jurnalistiknya.
Sebagai
simpatisan aktif di ponpes ini sejak 1980-an, kini dia menjadi dosen Sekolah
Tinggi Agama Islam Lukman Al-Hakim (STAIL)—juga peneliti di Institut Pemikiran
dan Peradaban Islam (InPas) Surabaya. Tahukah matakuliah apa yang dia tekuni
dan ampu sejak menjadi dosen? Wow, ternyata bukan matakuliah Kimia Organik atau
Teori Sosial Klasik, melainkan matakuliah Teknik Penulisan Karya Imliah dan
Jurnalistik.
Kini
kita patut berbangga atas kreativitas alumnus MIPA Unesa—dan FH Unair & S2
Ilmu Sosial Unair—ini dalam dunia tulis-menulis. Setelah menerbitkan buku
pertama “Gus Dur dan Kritik: Kontroversi Itu untuk Apa?” (2000) dan buku kedua
“Super Bahagia bersama Zakat, Infaq, dan Shadaqoh” (2010), buku apa lagi yang
akan diterbitkan olehnya dalam waktu terdekat?
Barangkali
Gus MI tahu jawabannya? Atau Gus IM sendiri yang akan segera menerbitkan buku “Berdakwah lewat Tulisan” ? Semoga...
Driyorejo,
Gresik, 3 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar