It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

04 Desember 2012

CAK DJAELANI, PENULIS LINTAS DISIPLIN


Much. Khoiri

Menulis (kreatif) itu menembus batas profesi, bukan semata dunia orang sastra (dan bahasa). Dramawan Eugene O’Neill adalah seorang reporter London Telegraph; sastrawan besar William Carlos Williams spesialis penyakit anak; dan Omar Kayyam si penulis Rubaiyat seorang matematikawan. Itulah tesis yang saya tegaskan dalam kata pengantar editor kumpulan cerpen Alumni Unesa yang bertajuk “Ndoro, Saya Ingin Bicara” (2011).


Tesis itu kian dikokohkan oleh sederet penulis, yang salah satunya adalah Cak Djaelani—nama pendek dari M. Anwar Djaelani. Betapa tidak, Cak Djaelani telah menambah nama-nama penghancur mitos bahwa penulis itu harus orang bahasa dan sastra. Dia telah ikut membuktikan bahwa menulis (kreatif) itu menembus batas profesi, bukan semata dunia orang sastra (dan bahasa).

Dengan kata lain, dia membuktikan bahwa semua orang, termasuk orang MIPA pun, tak peduli apapun profesinya, asalkan mau berusaha keras, akan mampu menggoreskan tulisan cemerlang. Jika orang MIPA berhasil melumatkan mitos di atas, dia layak dijuluki “sang pencipta tradisi”. Cak Djaelani termasuk salah seorang pencipta tradisi (baru).

Siapakah Cak Djaelani? Saya mungkin juga tak akan pernah mengenalnya seandainya saya tidak membeli bukunya. Buku itu sendiri saya beli bersamaan buku lain, ketika mahasiswa menggelar penjualan buku di samping pintu masuk gedung di kampus Lidah Wetan.  Begitu saya lihat, buku itu tentang menulis, maka tanpa pikir panjang saya langsung mengambil dan membayarnya.

Buku bersampul dasar hijau gelap, berjudul “Warnai Dunia dengan Menulis” (InPas Publishing, Surabaya, 2012), itu telah memperkenalkan saya dengannya. Sebuah pertemuang yang absurd. Itu pun saya ketahui setelah melahap habis isi buku 222 halaman yang demikian menarik dan menggugah.

Ups, saya tunda dulu membeberkan siapa Cak Djaelani. Biarkan saya berbagi sekilas tentang buku yang diberi pengantar Dr. Adian Husaini dengan judul “Mengawal Peradaban dengan Tulisan” ini. Lihat judulnya saja, saya sudah tergugah, terlebih juga karena dilengkapi dengan pengantar yang di dalamnya mengingatkan perjuangan tokoh-tokoh Islam lewat tulisan. Benar-benar mengajak berjuang lewat tulisan!

Dengan bahasa yang renyah, lincah, dan enak diikuti, buku ini juga menawarkan penyadaran betapa pentingnya tulisan bagi kemajuan umat. Pokok pikiran yang hendak disampaikan, terutama, sangat ingin mengembalikan tradisi baca-tulis umat yang selama ini terkesan tidur. Umat haruslah dibangkitkan lewat tulisan, dan mengajak membangkitkan sesama umat juga lewat tulisan.

Saya sudah membaca cukup banyak buku tentang menulis, apalagi saya sendiri juga dosen dengan spesialisasi matakuliah menulis (kreatif). Ada yang filosofis, ada pula yang praktis. Akan tetapi, buku besutan Cak Djaelani tetap membuat saya berdecak kagum, sehingga saya hampir tak mau berhenti membacanya, dan akhirnya melahap seluruh isinya hanya dalam 24 jam.

Sekarang, siapa bilang alumnus MIPA tidak bisa menulis buku yang hebat? Cak Djaelani bisa! Dia bisa menuangkan pengetahuan, gagasan, pengalaman, dan perasaan tentang menulis menjadi 6 (enam) bab—dan masing-masing bab disajikan dengan menawan. Jika tidak hebat, dia pasti akan gagal meski hanya menulis satu paragrap saja.

Siapa bilang alumnus MIPA hanya bisa berwacana tentang zat-zat kimia, dan tak bisa menulis? Cak Djaelani telah membuktikannya; bahkan dia menulis tentang menulis—sesuatu yang tak selalu bisa dilakukan oleh alumnus bahasa dan sastra! Ya, dia menulis bahwa membaca dan menulis itu merupakan tradisi umat terbaik. Membaca pun diidentikkan menjelajahi alam. Bahkan, baginya, menulis itu mewarnai dunia.

Yang menarik, dia membeber 11 tokoh yang ‘kekal’ karena menulis, diantaranya Ibnu Sina, Imam Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, Sayyid Qutub, dan sebagainya. Tak lupa, dia mengajak kita untuk menulis; karena “menulis itu—insyaallah—mudah.” Dengan semangatnya, dia berteriak lewat tulisannya di bagian epilog: “Ayo, mulailah menulis, sekarang!”

Andaikan dia tidak menulis pastilah dia tak bisa melampirkan contoh-contoh artikel dan resensi. Itu semua adalah bukti bahwa dia tidak asal ngomong. Dia mengajak orang lain menulis, karena dia sendiri juga menulis. Dia mengajak dengan suri tauladan. Apa yang dia sampaikan menjadi berwibawa dan menemukan tempatnya di hati saya—mungkin juga pembaca lain.

Nah, siapa penulis yang telah mencuri perhatian saya itu? Dialah alumnus S1 FP-MIPA IKIP Surabaya (Unesa) (1984). Ternyata, dia juga merampungkan kuliah S1 FH-Universitas Airlangga (1991), dan S2 Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Airlangga (2003). Boleh dikata, dia telah mengalami studi lintas disiplin.

Mantan aktivis HMI itu belum aktif menulis semasa menjadi mahasiswa S1, dan baru aktif sejak 1996, baik buletin Jumatan maupun surat kabar, serta di website Pesantren Hidayatullah Surabaya. Keajekan menulis untuk buletin dan website inilah yang mengasah naluri jurnalistiknya.

Sebagai simpatisan aktif di ponpes ini sejak 1980-an, kini dia menjadi dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Lukman Al-Hakim (STAIL)—juga peneliti di Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPas) Surabaya. Tahukah matakuliah apa yang dia tekuni dan ampu sejak menjadi dosen? Wow, ternyata bukan matakuliah Kimia Organik atau Teori Sosial Klasik, melainkan matakuliah Teknik Penulisan Karya Imliah dan Jurnalistik.

Kini kita patut berbangga atas kreativitas alumnus MIPA Unesa—dan FH Unair & S2 Ilmu Sosial Unair—ini dalam dunia tulis-menulis. Setelah menerbitkan buku pertama “Gus Dur dan Kritik: Kontroversi Itu untuk Apa?” (2000) dan buku kedua “Super Bahagia bersama Zakat, Infaq, dan Shadaqoh” (2010), buku apa lagi yang akan diterbitkan olehnya dalam waktu terdekat?

Barangkali Gus MI tahu jawabannya? Atau Gus IM sendiri yang akan segera menerbitkan  buku “Berdakwah lewat Tulisan” ? Semoga...


Driyorejo, Gresik, 3 Desember 2012

Tidak ada komentar: