Much. Khoiri
Saya dan tim IDB Unesa sedang di
lobi Gumaya Tower Hotel, Jln. Gajah Mada
Semarang. Sebuah hotel berbintang yang jangkung—dan agak arogan di antara
bangunan di sekitarnya. Kami harus menginap di sini untuk mengikuti Forum PMU
IDB ke-7 tanggal 28-30 November 2012 yang dipanitiai Universitas Negeri
Semarang (Unnes).
Waktu sudah menunjuk 20.45.
Ternyata, perlu sekitar 30 menit naik mobil pribadi panitia seminar dari bandara Ahmad Yani menuju hotel. Tidak jauh memang, bahkan
sangat dekat. Dari rumah saya ke bandara Juanda saja perlu sekitar 65 menit
naik taksi.
Meski demikian, saya sangatlah
lelah. Bukan karena menempuh penerbangan dengan Wings Air yang sempat bergeronjal-geronjal
akibat cuaca yang kurang bersahabat, namun karena seharian saya—dan teman-teman
tim—sudah seharian menyentuh berbagai tugas di kampus. Energi dan pikiran kami seakan
sudah terkuras habis seharian.
Sebenarnya saya ingin langsung
masuk kamar 1007 dan memanjakan tubuh di ranjang. Namun, ternyata penyakit
bawaan saya kumat: Lapar! Ya, pagi tadi saya hanya sarapan ringan, siang makan
nasi sayur asam seperempat porsi, dan sore belum terisi apapun kecuali air
putih. (Belakangan ini I must drink fresh
water.) Maka, pantaslah perut saya
keroncongan.
***
Dari hotel kami hanya perlu
melangkah 25 meter ke utara, dan sesampai di perempatan kami berbelok ke kiri.
Di bahu kiri-kanan jalan sepanjang jalan ini berderet warung-warung tenda.
Bebagai menu makana tersedia, tinggal pilih saja. Meski tidak sama persis
dengan gang Solok di kota Kupang (NTT), jalan ini memang cukup mengasyikkan
bagi orang yang suka wisata kuliner.
Ketika masih muda dulu saya
sangat jago dalam urusan wisata kuliner, terlebih sepanjang tahun 1990— 1999
semasa saya menjadi pembina kemahasiswaan di fakultas saya. Suatu masa yang
hampir selalu terisi wisata kuliner setiap akhir pekan—karena kami selalu
rembukan tentang dunia mahasiswa.
Andaikata masih muda, sepanjang jalan di utara hotel Gumaya ini pasti
membangkitkan nafsu makan saya.
Kini, kendati jiwa tetap muda,
toh raga saya mulai menua, dan mulai memasang alarm pantangan “B-e-n-j-o-l-i”
(bayam, emping, nangka, jeroan, otak, lemak, ikan—dan kawan-kawan!) kalau harus
makan. Jadi, ketika memilih warung tenda, teman tim saya memberi kelonggaran
saya untuk memilih. (Kami hampir hapal selera makanan kami, berkat seringnya
makan bersama.)
Hanya dua jenis makanan yang
“menarik” perhatian saya: tahu pong dan gurami. Kalau tahu pong, kaya protein
nabati, cocok untuk saya; namun, yang tak menyamankan saya adalah lemak (minyak
goreng). Yang paling nyaman, tentu saja, jika tahu itu direbus, dibothok, atau
disayur. Ah, masak sih mau makan saja
begitu merepotkan penjualnya?
Kalau gurami, jelas
non-karbohidrat, protein hewani mantap, namun lazimnya saya tergoda untuk
melengkapinya dengan nasi. Padahal,
belakangan ini saya berusaha menghindari nasi untuk makan malam. Inilah program
diet mengurangi berat badan agar tidak tampak seperti gardu siskamling.
***
Hidup ini adalah pilihan.
Keinginan hanyalah langit saja pembatasnya. Untuk menentukan pilihan di antara
keinginan-keingingan pun harus memperhatikan tenggang-rasa dengan orang lain.
Sekarang pun, setelah berunding dengan teman-teman tim, saya mengajak mereka andok di warung tenda gurami.
Untuk bertiga, kami memesan tiga
porsi gurami bakar khas Semarang, satu porsi udang bakar, dua porsi cah
kangkung, sambal terasi, dan nasi satu setengah porsi. Khusus untuk nasi itu,
rencananya, satu porsi untuk teman laki saya, dan setengah porsi untuk saya. Teman
perempuan saya tidak pernah makan nasi di malam hari. Kolega terakhir ini
dieter yang sangat sukses!
Kenyataannya, saat menyantap
makanan, dibuai aroma masakan dari berbagai penjuru, ternyata kami hanya
melahap sebagian saja. Saya juga hanya makan dua sendok nasi, separuh gurami,
dua sendok cah kangkung, dan seujung sendok sambal terasi, plus teh panas.
Alangkah nikmatnya!
Dalam perjalanan kaki menuju
hotel kami sempat memberikan dua nasi-ikan bungkus kepada pak Becak, yang
kemudian diserahkan kepada isterinya—yang agaknya sedang menunggui kios kecil
miliknya. Di keremangan masih bisa terlihat bias pancaran kebahagiaan di
wajahnya.
Alhamdulillah, satu lagi
kenikmatan hikmah telah mewarnai hidup ini. Andaikata tadi saya tidak makan
malam—entah gurami atau tahu pong—pastilah saya tidak akan ditunjukkan dengan
hikmah yang mencerahkan ini.***
Semarang, 28 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar