It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

14 November 2012

REMINDER ITU "BENJOLI"

Much. Khoiri

Waktu maghrib sudah berlalu. Hotel Sylvia, kota Kupang, tempat kami menginap selama pendampingan IHT termin kedua (28-30 Oktober 2012), mulai bernafas lega, seharian sekujur tubuhnya dijilati matahari dan dihembus hawa menyengat. Kami ingin bersikap adil terhadap fisik ini: makan-minum malam!


Di seberang hotel ada warung tenda asal Lamongan, seorang ibu beserta dua anak laki-lakinya dan seorang pemuda Kupang. Teman-teman narasumber segera memesan ikan goreng penyet dan minum es teh plus kopi; saya mencukupkan diri dengan soto ayam dan teh panas. Di ujung sana ada dua gadis cantik—ternyata pramugari dari maskapai yang kami tumpangi—juga menunggu order pecel lele. Ah, pramugari juga manusia!

Saya lebih suka makan soto daripada ikan-ikan yang digoreng. Untuk tubuh saya, soto lebih aman dikonsumsi. Jika ada makanan lain yang lebih aman lagi, pastilah saya akan memilihnya dengan gembira. Sayang sekali, situasi sedang kurang bersahabat. Dalam kondisi darurat, pilihlah sesuatu yang paling kecil mudharat-nya bagi diri, begitulah kata si bijak.

Begitulah, setiap bepergian (terlebih ke luar daerah), sudah ada “alarm” dalam pikiran saya tentang menu makanan dan minuman. Ada pengingat (reminder) yang otomatis menyetel saya untuk memilah-memilih—dan ini sudah melekati hidup saya sejak sekitar setahun silam. Reminder ini wajib diterapkan bagi siapapun yang disemayami asam urat—suatu penyakit yang kontrolnya dari makanan.

[Haha, saya agaknya tidak punya potongan jadi orang kaya ya? Waktu muda pingin makan enak tapi tak mampu membeli, eh, sekarang bisa beli tapi malah tak boleh makan enak. Atau, agar saya terjaga dari makanan yang justru akan menjadi sampah dan penyakit baru bagi tubuh saya? Wallahu a’lam.].

Reminder itu saya akronimkan menjadi “b-e-n-j-o-l-i”. Lebih mudah diingat daripada sederet daftar nama pantangan makanan yang diberikan dokter yang terasa menyeramkan. Saat itu, dokter mendeteksi ciri-ciri asam urat yang saya alami: nyeri sendi (kadang) disertai bengkak, nyeri pinggang, dan nyeri otot dan kesemutan. Maka, selain resep ini-itu, saya diberi daftar itu—dan akronimnya: b-e-n-j-o-l-i.

B singkatan dari “bayam” dan kawan-kawan (termasuk juga sawi dan kobis)—maksudnya adalah sayuran hijau yang banyak mengandung klorofil. E singkatan dari “emping” blinjo, mente, dan kacang-kacangan. N mewakili “nangka” dan kawan-kawan (yakni sayur atau buah yang mengandung beton: kluwih, nangka, durian. Adapun J berarti “jerohan” (meliputi hati, paru-paru, usus, dan sejenisnya).

Selanjutnya, O adalah “otak”—entah otak ikan, otak sapi, apalagi otak paus. Lalu, ada L yang merujuk ke “lemak” atau yang berminyak-minyak, termasuk gajih (kaldu), daging kambing, bebek goreng. Dan.....ini yang cukup ganas: I yang berarti “ikan” tertentu, yakni udang, kerang, kepiting, ikan tongkol, dan bandeng.

Nah, kan? Cukup banyak makanan bergizi yang masuk kategori “benjoli”, yang “boleh” saya lahap ketika saya masih muda dulu, mengingat masa muda itu masih “prei racun” alias tak pilih-pilih makanan. Kini, tatkala usia kian arogan berkuasa dan berjaya atas diri saya, “benjoli” seakan menjelma menjadi ayat-ayat yang harus saya hafal di luar kepala.

Apakah saya tidak boleh makan “benjoli” sama sekali? Alangkah tidak asyiknya hidup ini jika kita takut dengan makanan. Memang, semua ini telah mengalami proses panjang sehingga kini, di Kupang ini, saya lebih memilih soto daripada pecel lele goreng, dorang, bawal, atau sate kambing. Yang terakhir ini musuh bebuyutan bagi saya.

Sejak awal saya tahu bahwa asam urat saya akan kumat kalau saya mengonsumsi “benjoli”, karena semua itu pantangan. Namun, sejak awal pula, saya suka menawar: “Dilarang sih silakan, tapi itu kan bila monoton? Sekali tempo, boleh kan?” Nah, saya pun mencoba sebagian besar makanan yang dipantangkan tersebut. Ukurannya hanya reaksi tubuh saya. Jika ada reaksi, ada krenyeng-krenyeng di tapak kaki dan persendian, maka jangan ulangi lagi.

Ketika kerja lembur untuk membantu memperjuangkan soft-loan Islamic Bank Development (IDB) di hotel Century Jakarta, selama beberapa kali termin, saya masih dalam proses coba-coba ini. Teman satu tim, bu Sarmini dan b Erina, selalu mengingatkan saya untuk berhati-hati memilih makanan. “Ye, tuh ada kentang. Ambil saja. Jangan ambil macem-macem ya, nanti bisa krenyeng-krenyeng.” (Pekan-pekan sebelumnya, saya selalu mendapat guyonan begini: “Ye, masak naik Garuda, lha kok makanannya kelas Sumber Kencono (*kebetulan saya sering berbekal telor rebus saat itu).”

Jadi, begitulah, trial and error itu saya tempuh sesuai dengan kondisi fisik saya sendiri, meski mungkin tidak tepat untuk Anda. Nyatanya, setelah sekian waktu, saya sudah tahu manakah pantangan tersebut yang cukup aman bagi tubuh saya. Misalnya, saya emoh bayam, tapi masih mau kobis atau kangkung. Namun, yang jelas saya tolak adalah emping melinjo, durian, kambing, jerohan, otak, dan ikan-ikan ganas di atas. Intinya, masih cukup banyak yang “boleh saya langgar”.

***
Dengan sikon demikian saya bisa mengimbangi teman-teman di warung tenda itu. Mereka tampak cukup lekoh alias lahap menikmati pesanan masing-masing, saya juga bisa mencicipi soto ayam yang aduhai (*maksud saya, ini ungkapan untuk menyangatkan betapa soto itu “paling enak dan aman” untuk saya konsumsi).

Suara desis kepedasan bersaing dengan suara angkot Kupang yang berdentum-dentum, yang hampir setiap detik melewati depan warung. Bahkan ada dahi yang sejak tadi berkeringat deras, pertanda segar bugarnya yang bersangkutan. Teh panas, es teh, dan kopi hitam melengkapi andokan kami.

Kegayengan kami di warung tenda itu tak menunjukkan sama sekali adanya sekat-sekat sosial. Padahal di depan saya adalah pejabat-pejabat dekanat, dan anggota-anggota tim adhoc di kampus. Kami benar-benar cair dalam persaudaraan. Semua terjadi di warung tenda, di pinggir jalan, yang larut dalam keramaian kendaraan.  

Setelah membayar, kami pun melangkah pulang menuju hotel. Setiba di dalam lobi, guyonan kami bersahutan. Rasanya ada orang yang ketinggalan, yakni dua bidadari yang tadi juga makan pecel lele. Siapakah gerangan mereka? Ah, itu jenis “benjoli” yang lain—karena juga bisa menyebabkan fisik ini krenyeng-krenyeng.***

Tidak ada komentar: