Much.
Khoiri
Waktu maghrib sudah berlalu.
Hotel Sylvia, kota Kupang, tempat kami menginap selama pendampingan IHT termin
kedua (28-30 Oktober 2012), mulai bernafas lega, seharian sekujur tubuhnya
dijilati matahari dan dihembus hawa menyengat. Kami ingin bersikap adil
terhadap fisik ini: makan-minum malam!
Di seberang hotel ada warung
tenda asal Lamongan, seorang ibu beserta dua anak laki-lakinya dan seorang pemuda
Kupang. Teman-teman narasumber segera memesan ikan goreng penyet dan minum es
teh plus kopi; saya mencukupkan diri dengan soto ayam dan teh panas. Di ujung
sana ada dua gadis cantik—ternyata pramugari dari maskapai yang kami tumpangi—juga
menunggu order pecel lele. Ah, pramugari juga manusia!
Saya lebih suka makan soto
daripada ikan-ikan yang digoreng. Untuk tubuh saya, soto lebih aman dikonsumsi.
Jika ada makanan lain yang lebih aman lagi, pastilah saya akan memilihnya
dengan gembira. Sayang sekali, situasi sedang kurang bersahabat. Dalam kondisi
darurat, pilihlah sesuatu yang paling kecil mudharat-nya bagi diri, begitulah
kata si bijak.
Begitulah, setiap bepergian
(terlebih ke luar daerah), sudah ada “alarm” dalam pikiran saya tentang menu
makanan dan minuman. Ada pengingat (reminder)
yang otomatis menyetel saya untuk memilah-memilih—dan ini sudah melekati hidup
saya sejak sekitar setahun silam. Reminder
ini wajib diterapkan bagi siapapun yang disemayami asam urat—suatu penyakit
yang kontrolnya dari makanan.
[Haha, saya agaknya tidak
punya potongan jadi orang kaya ya?
Waktu muda pingin makan enak tapi tak mampu membeli, eh, sekarang bisa beli
tapi malah tak boleh makan enak. Atau, agar saya terjaga dari makanan yang
justru akan menjadi sampah dan penyakit baru bagi tubuh saya? Wallahu a’lam.].
Reminder itu saya akronimkan
menjadi “b-e-n-j-o-l-i”. Lebih mudah diingat daripada sederet daftar nama
pantangan makanan yang diberikan dokter yang terasa menyeramkan. Saat itu,
dokter mendeteksi ciri-ciri asam urat yang saya alami: nyeri sendi (kadang)
disertai bengkak, nyeri pinggang, dan nyeri otot dan kesemutan. Maka, selain
resep ini-itu, saya diberi daftar itu—dan akronimnya: b-e-n-j-o-l-i.
B
singkatan dari “bayam” dan kawan-kawan (termasuk juga sawi dan kobis)—maksudnya
adalah sayuran hijau yang banyak mengandung klorofil. E singkatan dari “emping” blinjo, mente, dan kacang-kacangan. N mewakili “nangka” dan kawan-kawan
(yakni sayur atau buah yang mengandung beton: kluwih, nangka, durian. Adapun J berarti “jerohan” (meliputi hati,
paru-paru, usus, dan sejenisnya).
Selanjutnya, O adalah “otak”—entah otak ikan, otak
sapi, apalagi otak paus. Lalu, ada L yang
merujuk ke “lemak” atau yang berminyak-minyak, termasuk gajih (kaldu), daging
kambing, bebek goreng. Dan.....ini yang cukup ganas: I yang berarti “ikan” tertentu, yakni udang, kerang, kepiting, ikan
tongkol, dan bandeng.
Nah, kan? Cukup banyak
makanan bergizi yang masuk kategori “benjoli”, yang “boleh” saya lahap ketika
saya masih muda dulu, mengingat masa muda itu masih “prei racun” alias tak
pilih-pilih makanan. Kini, tatkala usia kian arogan berkuasa dan berjaya atas
diri saya, “benjoli” seakan menjelma menjadi ayat-ayat yang harus saya hafal di
luar kepala.
Apakah saya tidak boleh
makan “benjoli” sama sekali? Alangkah tidak asyiknya hidup ini jika kita takut
dengan makanan. Memang, semua ini telah mengalami proses panjang sehingga kini,
di Kupang ini, saya lebih memilih soto daripada pecel lele goreng, dorang,
bawal, atau sate kambing. Yang terakhir ini musuh bebuyutan bagi saya.
Sejak awal saya tahu bahwa
asam urat saya akan kumat kalau saya mengonsumsi “benjoli”, karena semua itu
pantangan. Namun, sejak awal pula, saya suka menawar: “Dilarang sih silakan,
tapi itu kan bila monoton? Sekali tempo, boleh kan?” Nah, saya pun mencoba
sebagian besar makanan yang dipantangkan tersebut. Ukurannya hanya reaksi tubuh
saya. Jika ada reaksi, ada krenyeng-krenyeng
di tapak kaki dan persendian, maka jangan ulangi lagi.
Ketika kerja lembur untuk membantu
memperjuangkan soft-loan Islamic Bank
Development (IDB) di hotel Century Jakarta, selama beberapa kali termin,
saya masih dalam proses coba-coba ini. Teman satu tim, bu Sarmini dan b Erina,
selalu mengingatkan saya untuk berhati-hati memilih makanan. “Ye, tuh ada
kentang. Ambil saja. Jangan ambil macem-macem ya, nanti bisa krenyeng-krenyeng.” (Pekan-pekan
sebelumnya, saya selalu mendapat guyonan begini: “Ye, masak naik Garuda, lha
kok makanannya kelas Sumber Kencono (*kebetulan saya sering berbekal telor
rebus saat itu).”
Jadi, begitulah, trial and error itu saya tempuh sesuai
dengan kondisi fisik saya sendiri, meski mungkin tidak tepat untuk Anda.
Nyatanya, setelah sekian waktu, saya sudah tahu manakah pantangan tersebut yang
cukup aman bagi tubuh saya. Misalnya, saya emoh bayam, tapi masih mau kobis
atau kangkung. Namun, yang jelas saya tolak adalah emping melinjo, durian,
kambing, jerohan, otak, dan ikan-ikan ganas di atas. Intinya, masih cukup
banyak yang “boleh saya langgar”.
***
Dengan sikon demikian saya
bisa mengimbangi teman-teman di warung tenda itu. Mereka tampak cukup lekoh alias lahap menikmati pesanan
masing-masing, saya juga bisa mencicipi soto ayam yang aduhai (*maksud saya,
ini ungkapan untuk menyangatkan betapa soto itu “paling enak dan aman” untuk
saya konsumsi).
Suara desis kepedasan bersaing
dengan suara angkot Kupang yang berdentum-dentum, yang hampir setiap detik
melewati depan warung. Bahkan ada dahi yang sejak tadi berkeringat deras,
pertanda segar bugarnya yang bersangkutan. Teh panas, es teh, dan kopi hitam
melengkapi andokan kami.
Kegayengan kami di warung
tenda itu tak menunjukkan sama sekali adanya sekat-sekat sosial. Padahal di
depan saya adalah pejabat-pejabat dekanat, dan anggota-anggota tim adhoc di
kampus. Kami benar-benar cair dalam persaudaraan. Semua terjadi di warung
tenda, di pinggir jalan, yang larut dalam keramaian kendaraan.
Setelah membayar, kami pun
melangkah pulang menuju hotel. Setiba di dalam lobi, guyonan kami bersahutan.
Rasanya ada orang yang ketinggalan, yakni dua bidadari yang tadi juga makan
pecel lele. Siapakah gerangan mereka? Ah, itu jenis “benjoli” yang lain—karena
juga bisa menyebabkan fisik ini krenyeng-krenyeng.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar