It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

01 November 2012

Catatan Budaya dari Kupang: ANGKOT ARTISTIK YANG GADUH


Much. Khoiri

Jika Anda ingin melihat angkot (angkutan kota) yang cukup unik, kunjungilah kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Akan Anda saksikan angkot yang artistik dan gaduh melintasi jalan-jalan di kota Kupang.


Artistiknya: angkot-angkot yang ada, terutama bercat hijau gelap atau putih, didekorasi dengan berbagai tulisan dan asesoris. Lihatlah, hampir seluruh tubuh angkot tampak penuh “tatoo” dengan aneka tulisan: hard rock, super top, Halloween, express, pirates, scudo, devila, clara, jehiro, sifna, davino, cerizim, nonna, hambur love, chanvis, grissandi, expander, exploid, protektor, osella, malindo, grup-grup band (domestik dan asing), nama grup sepakbola, dan sebagainya.

Sepertinya tidak ada angkot yang mulus tanpa hiasan apa pun. Semuanya “ramai” dengan hiasan. Dengan duduk di pinggir jalan, orang bisa mengamati betapa angkot yang berseliweran itu ramai dengan tulisan-tulisan. Yang mulus hanyalah mobil pribadi (yang baru relatif baru).

Selain itu, angkot Kupang juga tampak ramai. Di bodi atas angkot Anda bisa saksikan antene-antene radio dan miniaturnya yang jumlahnya bisa belasan, tampak bak gedung pemancar radio atau televisi. Di ujung-ujung bodi angkot juga dipasang lampu-lampu aneka warna, yang akan tampak bekerlap-kerlip di petang dan malam hari—tak ubahnya pusat diskotik yang berjalan menyusuri rute-rute rutinnya.

Ternyata, di dalamnya bisa Anda temukan perangkat audio visual (TV flat seukuran buku) dan audio (DVD/Flash player) terbaru yang cukup mahal. Sebuah harga yang mewah untuk transportasi umum yang tarifnya hanya Rp 2.000,- untuk umum dan Rp 1.000 untuk pelajar.

Dengan uang pecahan Rp 1.000-2.000 itu Anda masih bisa mengikuti acara TV (semisal “Inbox” atau OVJ) dan diiringi musik (cadas) yang berdetum-dentum—dentuman yang terdengar dari puluhan meter jaraknya. Dan klaksonnya, jika dibunyikan, wow, bisa membangunkan orang yang terlelap tidurnya.

***
Akibat topografi tanah Kupang yang berbukit-bukit—yang tak memungkinkan tumbuhnya komunitas becak, peluang bagi berkembangnya angkot begitu besar. Terlebih, komunitas penarik becak atau ojek pun masih sangat kecil. Bagi masyarakat dengan status ekonomi kurang baik, angkot menjadi moda transportasi yang paling memungkinkan.

Para pelajar pun (tingkat SD, SMP atau SMA) banyak yang memanfaatkan angkot untuk membawanya ke dan dari sekolah mereka. Selain murah, angkot dirasakan nyaman dan memberikan kepuasan tertentu—yakni kepuasan untuk menikmati musik dan dekorasi yang beraneka-ragam.

Nah, apakah hubungan antara pelajar dan angkot berhiasan dan bermusik? Dari penelusuran ini, merekalah yang memesan kepada sopir untuk mendekorasi mobil, dengan berbagai tulisan atau coretan yang diinginkan, juga menyetel musik tertentu. Tak jarang hal ini menimbulkan fanatisme tertentu.

Kalangan pelajar (kaum muda) tertentu sangat fanatik dengan angkot tertentu, suatu fanatisme yang harganya mahal. Mereka rela menunggu lama hanya  untuk menanti angkot yang di-fanatik-kan. Meski, misalnya, ada angkot lain, mereka lebih suka menunggu lewatnya angkot yang dicintainya.

Justru karena fanatisme membuta-tuli ini, kasus pelajar terlambat di sekolah sering terjadi. Terlambat datang, bagi pelajar tertentu, bukan berarti kiamat. Jika terlambat, angkot bisa jadi alasan yang kuat untuk terlambat; dan guru tidak bisa berbuat apa-apa. Jika guru melaporkan kasus itu ke orangtua mereka pun, hal itu dirasakan kurang efektif.

Demikian pula saat mereka pulang. Tak sedikit pelajar yang terlambat pulang sekolah, hanya gara-gara fanatik pada angkot tertentu. Bahkan, pelajar yang naik kendaraan pribadi pun, tak jarang menunjukkan solidaritasnya kepada teman: dengan menunggui mereka hingga mendapatkan angkot favoritnya. Akhirnya orangtua (wali) pelajar menjadi maklum atas keterlambatan pulangnya sang buah hati.

****
Bagaimana sikap masyarakat terhadap kehadiran angkot artistik yang gaduh itu? Berkembanglah pro dan kontra. Ada yang setuju dan mendukung, namun ada pula yang kontra terhadapnya. Yang kontra terdiri atas warga Kupang dalam usia dewasa ke atas, termasuk ibu-ibu, yang terbiasa menggunakan jasa angkot, untuk pergi ke tempat kerja atau belanja.    

Selain meminta para sopir untuk mengecilkan volume suara audio, tak sedikit ibu-ibu mengadukan hal itu kepada polisi untuk menindaknya. Ibu-ibu ini tak mau kehilangan kenyamanan naik angkot akibat suara musik yang gaduh yang lama-lama bisa membuat telinga tuli.

Operasi kendaraan bermotor, termasuk angkot, pun digelar. Namun, begitulah, para pengusaha angkot toh mencium gelagat yang kurang menguntungkan itu. Maka, sebelum ada operasi, alat-alat audio di dalam angkot itu mereka lepas dan simpan, sehingga aman dari razia polisi. Namun, saat operasi berlalu, pada besok atau lusanya mereka memasang kembali set audio yang dimaksud. Kembalilah mereka berartistik-ria dan bergaduh-ria.

Di pihak lain, para pelajar justru “mendorong” para sopir untuk melakukan aksi nekadnya. Para sopir jadi bersemangat jika penumpangnya adalah pelajar. Meski pelajar hanya membayar Rp 1.000 (*penumpang umum: Rp 2.000), mereka bisa me-request sopir bukan hanya untuk menyetel lagu tertentu, melainkan juga menyetel (volume) suaranya.

Dorongan pelajar ini dianggap para sopir sebagai peluang untuk memuaskan jiwa muda mereka. Dengan “pembenar” semacam ini, mereka akan memasang kembali set audio mereka meski mereka beberapa kali terkena isu razia. Para pelajar, karena itu, adalah sahabat para sopir, dan sebaliknya: sopir sahabat pelajar!

Sementara itu, para pemilik moda transportasi umum itu sudah memutuskan untuk  memilih pelajar dan anak muda sebagai segmen pasar. Dalam perhitungan mereka, jumlah pelajar dan anak muda (yang pro musik gaduh) lebih besar daripada jumlah ibu-ibu atau penumpang dewasa lain. Meski mereka harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli peralatan yang ada, toh mereka tetap mengambil langkah tersebut. Itu maknanya mereka tidak merugi.

***
Melihat fenomena kultural di atas, tampak konstruksi budaya yang kurang pas, terlebih menyangkut dunia pendidikan dan masa depan anak-anak bangsa. Perlu sebuah proses sosial yang dikawal dengan seksama untuk mengembalikan ke rel sebenarnya—mumpung belum akut dan bebal.

Tak dimungkiri, budaya perlu dibangun, dikonstruksi—menuju kondisi yang lebih baik dan berterima menurut pranata umum masyarakat. Dalam mengkonstruksi sosial-budaya tidak harus dimulai dengan orang banyak; cukup beberapa orang saja. Siapakah itu? Mari kita mulai dari diri sendiri.


SMPN 7 Kupang,
29 Oktober 2012

Tidak ada komentar: