Much. Khoiri
Jika
Anda ingin melihat angkot (angkutan kota) yang cukup unik, kunjungilah kota
Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Akan Anda saksikan angkot yang artistik dan
gaduh melintasi jalan-jalan di kota Kupang.
Artistiknya:
angkot-angkot yang ada, terutama bercat hijau gelap atau putih, didekorasi
dengan berbagai tulisan dan asesoris. Lihatlah, hampir seluruh tubuh angkot
tampak penuh “tatoo” dengan aneka tulisan: hard rock, super top, Halloween, express,
pirates, scudo, devila, clara, jehiro, sifna, davino, cerizim, nonna, hambur
love, chanvis, grissandi, expander, exploid, protektor, osella, malindo, grup-grup
band (domestik dan asing), nama grup sepakbola, dan sebagainya.
Sepertinya
tidak ada angkot yang mulus tanpa hiasan apa pun. Semuanya “ramai” dengan
hiasan. Dengan duduk di pinggir jalan, orang bisa mengamati betapa angkot yang
berseliweran itu ramai dengan tulisan-tulisan. Yang mulus hanyalah mobil
pribadi (yang baru relatif baru).
Selain
itu, angkot Kupang juga tampak ramai. Di bodi atas angkot Anda bisa saksikan
antene-antene radio dan miniaturnya yang jumlahnya bisa belasan, tampak bak
gedung pemancar radio atau televisi. Di ujung-ujung bodi angkot juga dipasang
lampu-lampu aneka warna, yang akan tampak bekerlap-kerlip di petang dan malam
hari—tak ubahnya pusat diskotik yang berjalan menyusuri rute-rute rutinnya.
Ternyata,
di dalamnya bisa Anda temukan perangkat audio visual (TV flat seukuran buku) dan
audio (DVD/Flash player) terbaru yang cukup mahal. Sebuah harga yang mewah
untuk transportasi umum yang tarifnya hanya Rp 2.000,- untuk umum dan Rp 1.000
untuk pelajar.
Dengan
uang pecahan Rp 1.000-2.000 itu Anda masih bisa mengikuti acara TV (semisal
“Inbox” atau OVJ) dan diiringi musik (cadas) yang berdetum-dentum—dentuman yang
terdengar dari puluhan meter jaraknya. Dan klaksonnya, jika dibunyikan, wow,
bisa membangunkan orang yang terlelap tidurnya.
***
Akibat
topografi tanah Kupang yang berbukit-bukit—yang tak memungkinkan tumbuhnya
komunitas becak, peluang bagi berkembangnya angkot begitu besar. Terlebih,
komunitas penarik becak atau ojek pun masih sangat kecil. Bagi masyarakat
dengan status ekonomi kurang baik, angkot menjadi moda transportasi yang paling
memungkinkan.
Para
pelajar pun (tingkat SD, SMP atau SMA) banyak yang memanfaatkan angkot untuk
membawanya ke dan dari sekolah mereka. Selain murah, angkot dirasakan nyaman
dan memberikan kepuasan tertentu—yakni kepuasan untuk menikmati musik dan
dekorasi yang beraneka-ragam.
Nah,
apakah hubungan antara pelajar dan angkot berhiasan dan bermusik? Dari
penelusuran ini, merekalah yang memesan kepada sopir untuk mendekorasi mobil,
dengan berbagai tulisan atau coretan yang diinginkan, juga menyetel musik
tertentu. Tak jarang hal ini menimbulkan fanatisme tertentu.
Kalangan
pelajar (kaum muda) tertentu sangat fanatik dengan angkot tertentu, suatu
fanatisme yang harganya mahal. Mereka rela menunggu lama hanya untuk menanti angkot yang di-fanatik-kan.
Meski, misalnya, ada angkot lain, mereka lebih suka menunggu lewatnya angkot
yang dicintainya.
Justru
karena fanatisme membuta-tuli ini, kasus pelajar terlambat di sekolah sering
terjadi. Terlambat datang, bagi pelajar tertentu, bukan berarti kiamat. Jika
terlambat, angkot bisa jadi alasan yang kuat untuk terlambat; dan guru tidak
bisa berbuat apa-apa. Jika guru melaporkan kasus itu ke orangtua mereka pun,
hal itu dirasakan kurang efektif.
Demikian
pula saat mereka pulang. Tak sedikit pelajar yang terlambat pulang sekolah,
hanya gara-gara fanatik pada angkot tertentu. Bahkan, pelajar yang naik
kendaraan pribadi pun, tak jarang menunjukkan solidaritasnya kepada teman:
dengan menunggui mereka hingga mendapatkan angkot favoritnya. Akhirnya orangtua
(wali) pelajar menjadi maklum atas keterlambatan pulangnya sang buah hati.
****
Bagaimana
sikap masyarakat terhadap kehadiran angkot artistik yang gaduh itu?
Berkembanglah pro dan kontra. Ada yang setuju dan mendukung, namun ada pula
yang kontra terhadapnya. Yang kontra terdiri atas warga Kupang dalam usia
dewasa ke atas, termasuk ibu-ibu, yang terbiasa menggunakan jasa angkot, untuk
pergi ke tempat kerja atau belanja.
Selain
meminta para sopir untuk mengecilkan volume suara audio, tak sedikit ibu-ibu
mengadukan hal itu kepada polisi untuk menindaknya. Ibu-ibu ini tak mau
kehilangan kenyamanan naik angkot akibat suara musik yang gaduh yang lama-lama
bisa membuat telinga tuli.
Operasi
kendaraan bermotor, termasuk angkot, pun digelar. Namun, begitulah, para
pengusaha angkot toh mencium gelagat
yang kurang menguntungkan itu. Maka, sebelum ada operasi, alat-alat audio di
dalam angkot itu mereka lepas dan simpan, sehingga aman dari razia polisi.
Namun, saat operasi berlalu, pada besok atau lusanya mereka memasang kembali
set audio yang dimaksud. Kembalilah mereka berartistik-ria dan bergaduh-ria.
Di
pihak lain, para pelajar justru “mendorong” para sopir untuk melakukan aksi
nekadnya. Para sopir jadi bersemangat jika penumpangnya adalah pelajar. Meski
pelajar hanya membayar Rp 1.000 (*penumpang umum: Rp 2.000), mereka bisa me-request sopir bukan hanya untuk menyetel
lagu tertentu, melainkan juga menyetel (volume) suaranya.
Dorongan
pelajar ini dianggap para sopir sebagai peluang untuk memuaskan jiwa muda
mereka. Dengan “pembenar” semacam ini, mereka akan memasang kembali set audio
mereka meski mereka beberapa kali terkena isu razia. Para pelajar, karena itu,
adalah sahabat para sopir, dan sebaliknya: sopir sahabat pelajar!
Sementara
itu, para pemilik moda transportasi umum itu sudah memutuskan untuk memilih pelajar dan anak muda sebagai segmen
pasar. Dalam perhitungan mereka, jumlah pelajar dan anak muda (yang pro musik
gaduh) lebih besar daripada jumlah ibu-ibu atau penumpang dewasa lain. Meski
mereka harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli peralatan yang ada, toh mereka tetap mengambil langkah
tersebut. Itu maknanya mereka tidak merugi.
***
Melihat
fenomena kultural di atas, tampak konstruksi budaya yang kurang pas, terlebih
menyangkut dunia pendidikan dan masa depan anak-anak bangsa. Perlu sebuah
proses sosial yang dikawal dengan seksama untuk mengembalikan ke rel
sebenarnya—mumpung belum akut dan bebal.
Tak
dimungkiri, budaya perlu dibangun, dikonstruksi—menuju kondisi yang lebih baik
dan berterima menurut pranata umum masyarakat. Dalam mengkonstruksi sosial-budaya
tidak harus dimulai dengan orang banyak; cukup beberapa orang saja. Siapakah
itu? Mari kita mulai dari diri sendiri.
SMPN
7 Kupang,
29 Oktober
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar