It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

29 Oktober 2012

ZIARAH: "MENGUNJUNGI" ANAK


Much. Khoiri

Selepas shalat shubuh pagi ini (27/10), dadaku berdegup kencang dan secepat kilat wajah anakku melintas dalam pikiran dan hati. Kerinduan! Ya, dia telah "mengirimkan" pertanda kerinduan, atau mungkin Allah telah mengirimkan pertanda itu lewat getaran dan degupan jantung-hati. Ini pertanda kesekian kali yang telah kurasakan selama ini: undangan untuk menziarahi anakku.


Bukan aku saja yang pernah mengalami "isyarat" semacam itu. Isteriku alias bunda dia, juga Anis dan Najib (kakak-kakaknya), pernah menerima isyarat-isyarat tertentu, hanya untuk membuat kami mengunjungi dan menziarahi pusaranya.

Memang sudah lebih dari lima tahun kami berpisah dgn dia: alm. Tegar Aji Pamungkas. Tapi kami dan dia dianugerahi suatu hubungan emosional yg begitu dekat meski absurd. Dia seperti msh bersama kami selama ini. Dalam ungkapan Gus Dur, dia seakan telah bilang: "Saya hanya pulang, bukan pergi." Itulah mengapa selama ini kami kerap menemuinya di "rumah"-nya: sebuah pusara di Makam Gading, Pasuruan. 

Pagi ini isyarat itu menyapaku. Mengapa insyarat itu datang padaku dan bukan pada isteriku atau anakku, aku tidak tahu. Maka, kusampaikan niatku kepada isteri. Matanya langsung berbinar-binar, dan malah mengajak segera berangkat, selagi matahari belum menampakkan diri. Dalam waktu singkat isteriku sudah memegang buku Yasin dan Tahlil di tangan, dan segera menyelipkannya ke dalam tas.

Kami bersepeda motor dari rumah kakak ipar, melewati daerah Petamanan (kampung halaman Ami Haris), taman kota, pasar besar, menuju Makam Gading, arah barat laut Kota Pasuruan. Hanya perlu 25 menit untuk mencapai makam tempat anakku bersemayam.

***
Pagi ini sisa-sisa embun masih terasa, makam masih tampak lengang, ketika kami berucap salam dan memasukinya. Andaikan kami datang kemarin, saat Idul Adha, apalagi jelang Idul Fitri, pasti amat susah hanya utk berjalan saja, akibat banyaknya peziarah yang berdesakan di sepanjang jalan. (Maklum, makam ini makam Islam utk warga se-Kecamatan Gading.)

Dari pintu makam, dalam keheningan pagi, kami menyusuri jalan setapak berpaving sekitar 500 meter (yg belum ada pada saat kunjungan kami sebulan silam). Lalu, kami menuju ke "rumah" anak kami dengan penuh hati-hati, agar tidak melangkahi rumah-rumah para pendahulu yang jumlahnya ratusan atau bahkan ribuan. Begitulah etika atau tatakrama berziarah kubur.

Setiba di area "rumah" Tegar, kami berucap salam, dan segera membersihkannya, meski sejatinya tidak kotor (karena memang senantiasa terawat). Di sampingnya adalah "rumah" kakaknya (anak ketiga kami, yang berpulang saat masih dalam kandungan) dan "rumah" umi-nya (ibu isteriku). (Kakeknya tidak dimakamkan di sini, melainkan di area makam Masjid Agung Al-Anwar Pasuruan, sehingga terpisah dari makam umi-nya—untungnya, dekat dengan cucu-cucunya.)

Seperti biasa, kami membaca surat Yasin, Tahlil, dan memanjatkan doa secukupnya. Namun, suasananya tidak biasa pagi ini. Begitu istimewa! Di keheningan pagi ini setiap kalimat dzikir dan doa terasa sangat meresap dalam-dalam, serta menggetarkan. Tak terasa air mata meleleh di pipi. Terlintas dalam pikiranku, Tegar sedang menyunggingkan senyum. Subhanallah.

Isteriku juga tampak baru saja mengelap air mata harunya. Kini dia masih mengelus-elus nisan orang-orang tercinta kami. Agaknya dia juga mengalami hal (lebih-kurang) sama dengan yang baru saja kualami. Pengalaman absurd yang nikmat. 

Memang Tegar hanya telah pulang, bukan pergi. Dan kami tahu kemana harus menziarahinya atau menemuinya. Baik dengan hadir di pusaranya, maupun hadir dalam intensitas jamaah doa keluarga(setiap shalat lima waktu, termasuk setiap malam Jumat).

Namun, ziarah dengan hadir di pusaranya, telah memberikan makna lebih. Di sana bisa dilihat ribuan pusara lain, baik yg sudah lama maupun yang masih baru. Makna esktra itu adalah teringatnya kematian! Setiap yang bernyawa niscaya akan mengalami mati, dan akhirnya menghuni "rumah" 60cmx2m yang ditandai dua nisan bertuliskan nama, tanggal lahir, dan tanggal wafat.

Di saat seperti itu manusia hakikatnya tidaklah pergi, melainkan hanya pulang menuju rumah yang dibangunnya sepanjang hidupnya. Rumah itulah persinggahan awal untuk suatu saat meneruskan perjalanan yang jauh dan lebih jauh.

Setelah cukup lama berdiam di beranda rumah Tegar, kami pun beranjak. Duduk sejenak di mushala di utara pintu masuk makam, sehabis membasuh tangan-kaki, kami tak henti2nya bersyukur: Pagi ini kami diberi kesempatan menjenguk anak kami yang telah berpulang, dan mendalami (lagi) makna ziarah.

Pasuruan, 27 Oktober 2012

Tidak ada komentar: