It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

19 September 2012

HABIS DUKA TERBITLAH HIKMAH


Much. Khoiri

Kepergian humas BPLS Lapindo (alm.) Ahmad Khusairi atau yang kerap disapa Arik—saya selalu memanggilnya ‘mas Arik’—telah membuat saya termangu begitu lama. Sama dengan perasaan banyak orang, saya juga tidak percaya: bahwa orang yang dalam hari-hari terakhir masih mengirimkan SMS konyol, bercanda, berdiskusi, berbagi cerita, dan sebagainya ternyata berpulang dengan tenang. Alumnus Unesa itu telah berpamitan kepada orang lain dengan caranya sendiri.


Dalam ungkapan yang puitik Abdur Rohman (2012) menulis begini:

Serasa baru kemarin, kau unggah kelakar-kelakar konyolmu
Serasa baru kemarin, kau suguhkan derai tawa lepasmu
Serasa baru kemarin, acara buka puasa di Nur Pacific itu
Benar-benar serasa baru kemarin kau dan aku bersua
Tapi, kini kau telah mendahului
Pulang ke haribaan ilahi rabbi
Senyummu masih membekas di benakku
Seakan candamu meleleh di antara senyum indah para bidadari.

Sambil menemani isteri yang sedang sakit, saya memantau milis Ganesa, grup fesbuk, dan siaran (lirih) radio SS (Suara Surabaya) yang mengabarkan kepergiannya. Satu persatu kesan-kesan dan persepsi orang muncul di berbagai fora itu, seraya mendoakan mas Arik agar diterima di sisi-Nya. Terpendamlah kekhilafan atau kesalahan, dan muncullah tunas-tunas kebajikan yang telah ditaburkannya.

Banyak orang berduka atas kepergiannya; begitu pula banyak orang yang mendoakannya setelah kepergiannya. Suasana berkabung terkesan begitu kental, tidak hanya di milis Ganesa, melainkan juga di berbagai milis lain, grup fesbuk, atau twitter—juga rasan-rasan dari orang satu ke orang lain, juga dari komunitas satu ke komunitas lain.

Ternyata, mas Arik bukanlah satu-satunya yang meninggalkan kita. Berita duka muncul di grup e-learning Unesa pada 11 Septembet 2012: bahwa pemain basket Unesa, Dionisius Eko Pritanto B. (mahasiswa S1-Pend. Kepelatihan Olahraga/2006), telah meninggal dunia akibat kecelakaan pada Senin (10/9) pukul 21.30 di daerah Kedurus. Sungguh sebuah berita duka yang tak pernah disangka sebelumnya, namun telah membuat dosen dan mahasiswa memberikan simpati dan doa yang dalam untuk mas Dion.

Saya sendiri tidak mengenal baik mas Dion. Akan tetapi, saya memahami betapa banyak ungkapan bela sungkawa dan panjatan doa para dosen dan teman-temannya, dan semua itu cukup bagi saya untuk ikut merasakan atmosfir kehilangan pemuda asal Ambon itu. Tentu saja doa-doa juga mengalir untuknya.

Kepergian dua anggota keluarga Unesa, yang begitu mendadak dan tak pernah disangka itu, spontan menyedot ingatan saya akan kepergian kolega saya (seangkatan pra-jabatan), yakni (alm.) Adi Sampurno, dosen jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unesa. Sore masih bertugas di kampus Lidah, subuh esok harinya beliau sudah pergi setelah menunaikan shalat subuh.

Jika dibeber satu persatu, kenangan bersama pak Adi begitu banyak—termasuk persuaan kami tiga hari sebelumnya dan permintaan maaf beliau karena belum sempat mampir ke rumah saya. Akan tetapi, sejak kepergian beliau, niat pembeberan itu tidak saya lakukan, karena hal itu hanya akan “menghadirkan” (kembali) beliau dalam hidup saya—sesuatu yang justru akan membuat saya sedih. Biarlah keindahan persahabatan kami tumbuh di dalam hati.

Begitulah. Eksistensi manusia menemukan hakikatnya ketika manusia lain ada atau hadir; jika tidak ada manusia lain, bagaimana seseorang disebut eksis (ada)? Kalau pun semula sudah ada dan kemudian pergi, hakikatnya dia akan ingin menghadirkannya. Bahkan, jika pun saat orang lain ada namun tidak dirasakan ada,  dia akan berharap agar orang lain itu memuhi harapan kehadirannya. Dengan begitu, dia sendiri juga akan menjadi eksis.

***
Meski demikian, kehilangan itu sebuah keniscayaan bagi kita yang pernah mendapatkan (sesuatu). Itu sunnatullah. Kita pernah bertemu dan berteman dengan mas Arik, mas Dion, atau pak Adi; dan akhirnya kita kehilangan karena kepergian mereka. Itu keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Ada orang bilang, dunia ini panggung sandiwara, dengan cerita yang kita mainkan. Kita dapatkan teman dan/atau lawan main dalam peran yang kita lakukan. Namun, toh cerita harus berakhir, dan itu berarti relasi antar pemain harus dihentikan—dan terjadilah keniscayaan itu: kehilangan teman/lawan main!

Habisnya cerita dalam hidup seseorang, yang menyebabkan orang lain kehilangan, tidak lain dan tidak bukan adalah kematian (maut). Kehadirannya tak disangka-sangka, tak bisa dimajukan, tak bisa pula dimundurkan. Kehadirannya on time, tepat waktu.

Barangkali inilah hikmahnya: bagaimana memposisikan diri sebagai insan yang selalu siap menjalani maut. Maut itu pantas untuk siapa pun; tak peduli usia—semua pantas menjalaninya.

Ada orang-orang yang awet umurnya semisal  Kamato Hongo, Carrie C. White, Elizabeth Bolden, Tane Ikai, Maria Esther Heredia de Capovilla (masing-masing 116 tahun); Marie-Louise Meilleur dan Lucy Hannah (masing-masing 117 tahun); Sarah Knauss (119 tahun); Shigechiyo Izumi (120 tahun); dan Jeanne Calment (122 years 164).(http://www.uniknih.com/2012/05/ini-dia-10-manusia-tertua-di-dunia.html#ixzz26ZqrxfTs).

Bahkan ada yang lebih panjang umurnya daripada mereka. Mbah-De Buyut saya dulu seda (wafat) dalam usia 128 tahun. Kemudian, yang mencengangkan, Mbah Canggah dari isteri adik saya mencapai usia 197 tahun (yang seda ketika tak satu pun anak-anaknya masih hidup).

Ayahanda Yu Shi Gan xian shen (Pak Dahlan Iskan), seperti dituturkan dalam buku Ganti Hati, juga mencapai 93 tahun. Itu salah satu penyemangat bagi pak DI untuk menjalani serangkaian proses operasi transplantasi hati dengan pikiran dan perasaan tenang dan pasrah.

Sebaliknya, yang lebih muda pun juga pantas meninggal. Pak Adi, mas Arik, atau mas Dion telah menunjukkan kepada kita akan kepantasan itu. Bukan itu saja. Balita, bayi, atau calon bayi pun juga pantas saja. Sekali lagi, maut itu pantes untuk sebarang usia.

Masalahnya, seberapa siap kita menghadapinya? Dalam sebuah puisi “Senandung Kematian” (New York, 1993), saya pernah mengajak (diri sendiri, setidaknya) untuk tak usah menjeratkan simpul ajal di ujung belati atau bersloki-sloki racun, sebab tanpa kita panggil dan tanpa kita sadari  pun kematian pasti akan rela-sabar menghampiri kita, untuk menutup buku tua dan membuka buku baru.

Mengapa demikian? Kematian bukanlah terminal paling purna kita dari mata rantai petualangan panjang berpeluh, melainkan pintu gerbang ke galaksi akhirat kita, menuju jembatan berteka-teki untuk kita tempuh: satu sambungan abadi siklus Realitas kita yang utuh.

Lebih jauh, tak usah pula kita hindari ajal kita dengan berjuta laku dan cara; sebab kematian akan menemukan dan menggamit kita meski kita bersembunyi diri di bilik baja sekalian; sebab kematian nyata—senyata kehidupan fana yang merentang setia bersama desah-desuh napas.

Kematian bukanlah lorong bagi pelarian diri dari rel Realitas yang sebagian telah kita telusuri—melainkan “hadiah sempurna” dari kayuhan-roda kita yang menggelinding pasti dalam kesaksian sang waktu. Pun kematian bukanlah penolakan dari realitas kita, melainkan kewajiban ruh kita berpetualang selalu.

Lalu, mitraku, hanya pendamlah jauh di lubuk kalbu:
Kematian berdiri tegar dan sabar dekat dengan akhirmu
dan dekat awal-barumu—entah putih entah kelabu,
tapi tak tahu-menahu tentang panenan “tanaman”-mu.

Mudah-mudahan kita memperoleh kesempatan untuk mengumpulkan bekal akhirat yang memadai. Jika waktunya memang sudah tiba, mudah-mudahan kita dimatikan Allah dalam keadaan akhir yang baik (khusnul khotimah).***

Driyorejo, 17 September 2012

Tidak ada komentar: