Much. Khoiri
Kepergian humas BPLS Lapindo (alm.) Ahmad Khusairi atau yang kerap
disapa Arik—saya selalu memanggilnya ‘mas Arik’—telah membuat saya termangu
begitu lama. Sama dengan perasaan banyak orang, saya juga tidak percaya: bahwa
orang yang dalam hari-hari terakhir masih mengirimkan SMS konyol, bercanda,
berdiskusi, berbagi cerita, dan sebagainya ternyata berpulang dengan tenang. Alumnus
Unesa itu telah berpamitan kepada orang lain dengan caranya sendiri.
Dalam ungkapan yang puitik Abdur Rohman
(2012) menulis begini:
Serasa
baru kemarin, kau unggah kelakar-kelakar konyolmu
Serasa baru kemarin, kau suguhkan derai tawa lepasmu
Serasa baru kemarin, acara buka puasa di Nur Pacific itu
Benar-benar serasa baru kemarin kau dan aku bersua
Tapi, kini kau telah mendahului
Pulang ke haribaan ilahi rabbi
Senyummu masih membekas di benakku
Seakan candamu meleleh di antara senyum indah para bidadari.
Serasa baru kemarin, kau suguhkan derai tawa lepasmu
Serasa baru kemarin, acara buka puasa di Nur Pacific itu
Benar-benar serasa baru kemarin kau dan aku bersua
Tapi, kini kau telah mendahului
Pulang ke haribaan ilahi rabbi
Senyummu masih membekas di benakku
Seakan candamu meleleh di antara senyum indah para bidadari.
Sambil menemani isteri yang sedang sakit, saya memantau milis Ganesa,
grup fesbuk, dan siaran (lirih) radio SS (Suara Surabaya) yang mengabarkan
kepergiannya. Satu persatu kesan-kesan dan persepsi orang muncul di berbagai
fora itu, seraya mendoakan mas Arik agar diterima di sisi-Nya. Terpendamlah
kekhilafan atau kesalahan, dan muncullah tunas-tunas kebajikan yang telah
ditaburkannya.
Banyak orang berduka atas kepergiannya; begitu pula banyak orang yang mendoakannya
setelah kepergiannya. Suasana berkabung terkesan begitu kental, tidak hanya di
milis Ganesa, melainkan juga di berbagai milis lain, grup fesbuk, atau
twitter—juga rasan-rasan dari orang
satu ke orang lain, juga dari komunitas satu ke komunitas lain.
Ternyata, mas Arik bukanlah satu-satunya yang meninggalkan kita. Berita
duka muncul di grup e-learning Unesa pada 11 Septembet 2012: bahwa pemain
basket Unesa, Dionisius Eko Pritanto B. (mahasiswa S1-Pend.
Kepelatihan Olahraga/2006), telah meninggal dunia akibat kecelakaan pada Senin
(10/9) pukul 21.30 di daerah Kedurus. Sungguh sebuah berita duka yang tak
pernah disangka sebelumnya, namun telah membuat dosen dan mahasiswa memberikan
simpati dan doa yang dalam untuk mas Dion.
Saya sendiri tidak mengenal baik mas Dion. Akan tetapi, saya memahami
betapa banyak ungkapan bela sungkawa dan panjatan doa para dosen dan
teman-temannya, dan semua itu cukup bagi saya untuk ikut merasakan atmosfir
kehilangan pemuda asal Ambon itu. Tentu saja doa-doa juga mengalir untuknya.
Kepergian dua anggota keluarga Unesa, yang begitu mendadak dan tak pernah
disangka itu, spontan menyedot ingatan saya akan kepergian kolega saya
(seangkatan pra-jabatan), yakni (alm.) Adi Sampurno, dosen jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia FBS Unesa. Sore masih bertugas di kampus Lidah, subuh esok
harinya beliau sudah pergi setelah menunaikan shalat subuh.
Jika dibeber satu persatu, kenangan bersama pak Adi begitu banyak—termasuk
persuaan kami tiga hari sebelumnya dan permintaan maaf beliau karena belum
sempat mampir ke rumah saya. Akan tetapi, sejak kepergian beliau, niat
pembeberan itu tidak saya lakukan, karena hal itu hanya akan “menghadirkan”
(kembali) beliau dalam hidup saya—sesuatu yang justru akan membuat saya sedih.
Biarlah keindahan persahabatan kami tumbuh di dalam hati.
Begitulah. Eksistensi manusia menemukan hakikatnya ketika manusia lain
ada atau hadir; jika tidak ada manusia lain, bagaimana seseorang disebut eksis
(ada)? Kalau pun semula sudah ada dan kemudian pergi, hakikatnya dia akan ingin
menghadirkannya. Bahkan, jika pun saat orang lain ada namun tidak dirasakan
ada, dia akan berharap agar orang lain
itu memuhi harapan kehadirannya. Dengan begitu, dia sendiri juga akan menjadi
eksis.
***
Meski demikian, kehilangan itu sebuah keniscayaan bagi kita yang pernah
mendapatkan (sesuatu). Itu sunnatullah.
Kita pernah bertemu dan berteman dengan mas Arik, mas Dion, atau pak Adi; dan
akhirnya kita kehilangan karena kepergian mereka. Itu keniscayaan yang tak bisa
ditawar-tawar lagi.
Ada orang bilang, dunia ini panggung sandiwara, dengan cerita yang kita
mainkan. Kita dapatkan teman dan/atau lawan main dalam peran yang kita lakukan.
Namun, toh cerita harus berakhir, dan itu berarti relasi antar pemain harus
dihentikan—dan terjadilah keniscayaan itu: kehilangan teman/lawan main!
Habisnya cerita dalam hidup seseorang, yang menyebabkan orang lain
kehilangan, tidak lain dan tidak bukan adalah kematian (maut). Kehadirannya tak
disangka-sangka, tak bisa dimajukan, tak bisa pula dimundurkan. Kehadirannya on time, tepat waktu.
Barangkali inilah hikmahnya: bagaimana memposisikan diri sebagai insan
yang selalu siap menjalani maut. Maut itu pantas untuk siapa pun; tak peduli
usia—semua pantas menjalaninya.
Ada orang-orang yang awet umurnya semisal Kamato Hongo, Carrie C. White, Elizabeth
Bolden, Tane Ikai, Maria
Esther Heredia de Capovilla (masing-masing 116 tahun); Marie-Louise Meilleur
dan Lucy Hannah (masing-masing 117 tahun);
Sarah Knauss (119 tahun); Shigechiyo Izumi
(120 tahun); dan Jeanne Calment (122
years 164).(http://www.uniknih.com/2012/05/ini-dia-10-manusia-tertua-di-dunia.html#ixzz26ZqrxfTs).
Bahkan ada yang lebih panjang umurnya
daripada mereka. Mbah-De Buyut saya dulu seda
(wafat) dalam usia 128 tahun. Kemudian, yang mencengangkan, Mbah Canggah dari
isteri adik saya mencapai usia 197 tahun (yang seda ketika tak satu pun anak-anaknya masih hidup).
Ayahanda Yu Shi Gan xian shen (Pak Dahlan
Iskan), seperti dituturkan dalam buku Ganti
Hati, juga mencapai 93 tahun. Itu salah satu penyemangat bagi pak DI untuk
menjalani serangkaian proses operasi transplantasi hati dengan pikiran dan
perasaan tenang dan pasrah.
Sebaliknya, yang lebih muda pun juga
pantas meninggal. Pak Adi, mas Arik, atau mas Dion telah menunjukkan kepada
kita akan kepantasan itu. Bukan itu saja. Balita, bayi, atau calon bayi pun
juga pantas saja. Sekali lagi, maut itu pantes untuk sebarang usia.
Masalahnya, seberapa siap kita
menghadapinya? Dalam sebuah puisi “Senandung Kematian” (New York, 1993), saya
pernah mengajak (diri sendiri, setidaknya) untuk tak usah menjeratkan simpul ajal di ujung belati atau bersloki-sloki
racun, sebab tanpa kita panggil dan tanpa kita sadari pun kematian pasti akan
rela-sabar menghampiri kita, untuk menutup buku tua
dan membuka buku baru.
Mengapa demikian? Kematian bukanlah terminal paling purna kita dari mata rantai petualangan panjang berpeluh,
melainkan pintu gerbang ke galaksi akhirat kita, menuju jembatan berteka-teki untuk kita tempuh: satu sambungan abadi siklus Realitas kita yang
utuh.
Lebih jauh, tak usah pula kita hindari ajal
kita dengan berjuta laku dan cara; sebab kematian akan menemukan dan menggamit
kita meski kita bersembunyi diri di bilik baja sekalian; sebab kematian nyata—senyata
kehidupan fana yang merentang setia bersama desah-desuh napas.
Kematian bukanlah lorong bagi pelarian diri
dari rel Realitas yang sebagian telah kita telusuri—melainkan “hadiah sempurna”
dari kayuhan-roda kita yang menggelinding pasti dalam kesaksian sang waktu. Pun
kematian bukanlah penolakan dari realitas kita, melainkan kewajiban ruh kita
berpetualang selalu.
Lalu, mitraku, hanya
pendamlah jauh di lubuk kalbu:
Kematian berdiri
tegar dan sabar dekat dengan akhirmu
dan dekat
awal-barumu—entah putih entah kelabu,
tapi tak tahu-menahu
tentang panenan “tanaman”-mu.
Mudah-mudahan kita memperoleh kesempatan untuk mengumpulkan bekal
akhirat yang memadai. Jika waktunya memang sudah tiba, mudah-mudahan kita
dimatikan Allah dalam keadaan akhir yang baik (khusnul khotimah).***
Driyorejo, 17 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar