Oleh Much. Khoiri
Suhu kampanye Pilkada (termasuk DKI Jakarta, putaran kedua) kian
menghangat, mesin-mesin politik pasangan cagub-cawagub kian intensif
melakukan manuver-manuver pilihan. Akrobat politik belum usai, malah
makin seru dan mencoba memukau publik.
Telah dan sedang kita saksikan setiap pasangan berkomunikasi politik lewat permainan bahasa yang berlabel ‘kecap nomor satu’. Mirip
falsafah kecap, yang tak pernah dilabeli nomor dua, tiga, atau sebelas,
mereka juga ‘ngecap nomor satu’. Bagai penjual kecap, mereka juga
menomorsatukan visi-misi-programnya, kendati masyarakatlah yang akan
menilainya nomor satu atau nomor butut.
Setiap pasangan mengklaim diri terhebat, tersegani, terjujur, terbanyak
massanya, dan sederet predikat superlatif (tingkat paling) lainnya.
Agaknya dilupakan yang terbaik itu hanya satu, selebihnya hanya terbaik
kedua atau ketiga. Itu pun setelah orang membandingkannya.
Strategi “ngecap” (mengkultuskan diri) itu tak pelak berjargon-jargon
atas nama rakyat. Terma-terma gagah semacam ‘atas nama rakyat’,
‘demokrasi rakyat’, ‘amanat rakyat’, ‘hati nurani rakyat’, ‘ekonomi
rakyat’—termasuk ‘APBD untuk Rakyat’, ‘Pemimpin Jujur, Rakyate Makmur’, ‘Kemenangan Kami, Kemenangan Rakyat’ dan terma lain berbau ‘rakyat’ begitu laris manis.
Para cagub-cawagub pun rajin sowan ke kiai-kiai, berdialog dengan para santri—ah begitu akrabnya! Para sesepuh Daerah,
yang dalam ‘kondisi normal’ jarang disowani, kini harus menerima
kedatangan mereka. Anak-anak panti asuhan juga dielus, digendong, diberi
hadiah ini-itu, yang dalam ‘kondisi normal’ jarang terjadi. Begitu
melangkah pergi, aromanya sangat menyengat “Kami peduli rakyat, maka
pilihlah kami.”
Alangkah
merdu dan indahnya terma-terma ‘rakyat’ itu diucapkan, bahkan
disolidkan atau dibaurkan dengan janji-janji menggiurkan. Tak
tanggung-tanggung, seluruh dimensi kehidupan individu dan bermasyarakat
dijanjikan untuk diperbaiki. Jangankan malaikat, setan pun mungkin
ketawa mendengarnya. Semuanya, dikatakan, demi rakyat. Ruaaar biasa!
Begitulah,
makna “rakyat” telah dan akan dimanipulasi secara politis dan bombastis
sebegitu rupa untuk mengesankan keberpihakan total pada seluruh rakyat
yang sangat bhinneka, dan akhirnya, guna menyedot atensi mereka agar
memberikan suaranya. Padahal, tiada jaminan, cagub-cawagub terpilih
bakal memenuhi janjinya.
Masyarakat
kini sudah cerdas akibat begitu lama dibodohi dan dibodohkan, bahkan
direndahkan dengan sebutan ‘rakyat’ atau ‘wong cilik’. Kemuakan
masyarakat terhadap tokoh-tokoh politik, yang dulu juga mengumbar
janji-janji, telah mengarus ke gejala sinisme dan indiferens (acuh tak
acuh) publik. Inilah model masyarakat yang ambigu sikap politiknya.
Dalam
kondisi masyarakat ambigu inilah para cagub-cawagub bermain. Agaknya
masih ada harapan yang tersisa. Simpati mereka harus direbut dan
diperjuangkan, tak peduli berapa pun ongkos materiil dan imateriil yang perlu dikeluarkan. Strategi-strategi pragmatis yang berbau kekinian pun dilancarkan.
Karitas Sosial
Salah satu fenomena mencolok akibat strategi pragmatis kekinian tersebut adalah tumbuhnya social charity
(karitas, derma, amal sosial) cagub-cawagub. Mereka getol bagi-bagi
rezeki. Saksikanlah, pakar politik direkrut jadi konsultan/mesin
kampanye, analis politik kaya bahan untuk talk-show atau seminar, paranormal kebagian rezeki, wartawan kaya berita, peloper koran pun kelarisan.
Juga
banyak tukang gambar, pembuat baliho, pencetak spanduk dan foto,
pembuat banner telah kebanjiran order pekerjaan, dan itu berarti uang.
Bisa dibayangkan, berapa banyak orang yang ikut mengenyam rezeki nomplok
itu, termasuk para pedagang bahan-bahan untuk melukis tokoh, membuat
baliho, spanduk, atau banner itu.
Kini panti asuhan, panti jompo, keluarga miskin, mendapat santunan, entah berupa uang atau bahan makan. Para cagub-cawagub blusukan ke seluruh penjuru daerah guna memberikan ‘bantuan’ (baca: suap!) dengan segmentasi masing-masing. Kalau dikritik sebagai money politics, merek pasti berkilah, bahwa semua itu hanya santunan.
Lalu, kalau dialog dan orasi
politik digelar, karitas sosial itu akan lebih kental. Masyarakat
diberi uang saku, diberi kaos dan akomodasi lumayan. Banyak truk atau
pick-up disewa untuk mengangkut massa, PKL mamin bisa berjualan, juru
parkir ikut mendulang rezeki, bahkan pencopet pun berpeluang menilap
uang hadirin. Alangkah besarnya sirkulasi rupiah di tempat kampanye.
Itu
semua barulah pada tingkat individu. Padahal masyarakat secara kolektif
juga kebagian karitas cagub-cawagub. Karitas itu menyentuh pembangunan
infrastruktur. Tim-tim sukses cagub-cawagub kini mengakrabi tokoh-tokoh
masyarakat, menjajaki apa yang perlu diperbaiki atau dibangun: proyek
air-bersih, subway, jalan beraspal, masjid, jembatan, balai-balai pertemuan, atau pos-pos kamling.
Tak heran, ongkos karitas sosial itu tidaklah murah. Konon, ada pasangan cagub-cawagub yang mengalokasikan dana 750 milyar atau lebih hanya
untuk mendekati calon pemilihnya. Sumbernya, selain dana pribadi,
konon, sumbangan pihak-pihak tertentu dengan deal komitmen tertentu
pula.
Kesadaran Palsu?
Apakah
ada jaminan mereka bakal terpilih? Kalau pada Pilkades karitas cukup
berpengaruh, pada Pilgub banyak yang meragukan. Akibat heterogenitas
karakter masyarakat sulit diukur kemana sikap politiknya. Sekali lagi, masyarakat sudah cerdas namun sekaligus ambigu.
Justru
karena kecerdasan merekalah, ambiguitas itu dimanfaatkan untuk meraup
karitas cagub-cawagub. Si Badu mungkin bisa mendapat kaos dan uang saku
ikut kampanye, dan mushallanya mendapat bantuan dari pasangan-pasangan cagub-cawagub sekaligus. Semua bantuan diterima, masalah memilih dipikir belakangan.
Dalam konteks ini, setiap pasangan cagub-cawagub perlu menyadari adanya kesadaran palsu (false consciousness)
masyarakat. Tindak kamuflase, sebagai representasi kesadaran palsu,
perlu diterima sebagai kenyataan riil yang perlu dilacak akar
masalahnya. Yakni, bagaimana mengobati sinisme dan indiferensi publik
yang selama ini telah membias menjadi ambiguitas sikap berpolitik, dan
hal itu bersumber dari ‘diri’ (self) sejatinya.
Menyentuh
hakikat ‘diri’ masyarakat secara lebih humanis, dengan menguatkan
ikatan emosional dengan mereka, merupakan prasyarat penting untuk
merebut simpati. Kredibiltas dan reputasi diri dan organisastoris
dipertaruhkan. Maksudnya, karitas sosial silakan, namun ikatan emosional
masyarakat dengan para cagub-cawagub yang kredibel dan punya reputasi
wahid juga harus dieratkan.
Memperkokoh hubungan emosional, dengan program-program yang membumi, merupakan pintu masuk bagi tumbuhnya kesadaran sejati (true consciousness)
masyarakat. Bagaimanapun, masyarakat butuh bukti konkret, bukan sekedar
iming-iming promosi atau sampel program yang muluk-muluk. Cagub-cawagub
harus membuktikan bahwa ‘kecap’-nya yang dijual bebas benar-benar nomor
satu.
Ketika true consciousness
tumbuh, rasionalitas komunikatif, baik dengan jualan ‘kecap nomor satu’
maupun karitas sosial, menemukan konteksnya. Lain kata, slogan ‘kecap
nomor satu’ dan karitas sosial bisa menjadi sarana komunikasi politik
guna mengarahkan masyarakat untuk menetapkan pilihannya. Dan semua itu
perlu kecerdasan membaca peluang dan tantangan.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar