It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

16 September 2012

‘KECAP NO. 1’ dan KARITAS KAMPANYE PILKADA

Oleh Much. Khoiri

Suhu kampanye Pilkada (termasuk DKI Jakarta, putaran kedua) kian menghangat, mesin-mesin politik pasangan cagub-cawagub kian intensif melakukan manuver-manuver pilihan. Akrobat politik belum usai, malah makin seru dan mencoba memukau publik. 


Telah dan sedang kita saksikan setiap pasangan berkomunikasi politik lewat permainan bahasa yang berlabel ‘kecap nomor satu’. Mirip falsafah kecap, yang tak pernah dilabeli nomor dua, tiga, atau sebelas, mereka juga ‘ngecap nomor satu’. Bagai penjual kecap, mereka juga menomorsatukan visi-misi-programnya, kendati masyarakatlah yang akan menilainya nomor satu atau nomor butut.

Setiap pasangan mengklaim diri terhebat, tersegani, terjujur, terbanyak massanya, dan sederet predikat superlatif (tingkat paling) lainnya. Agaknya dilupakan yang terbaik itu hanya satu, selebihnya hanya terbaik kedua atau ketiga. Itu pun setelah orang membandingkannya.

Strategi “ngecap” (mengkultuskan diri) itu tak pelak berjargon-jargon atas nama rakyat. Terma-terma gagah semacam ‘atas nama rakyat’, ‘demokrasi rakyat’, ‘amanat rakyat’, ‘hati nurani rakyat’, ‘ekonomi rakyat’—termasuk ‘APBD untuk Rakyat’, ‘Pemimpin Jujur, Rakyate Makmur’, ‘Kemenangan Kami, Kemenangan Rakyat’ dan terma lain berbau ‘rakyat’ begitu laris manis.

Para cagub-cawagub pun rajin sowan ke kiai-kiai, berdialog dengan para santri—ah begitu akrabnya! Para sesepuh Daerah, yang dalam ‘kondisi normal’ jarang disowani, kini harus menerima kedatangan mereka. Anak-anak panti asuhan juga dielus, digendong, diberi hadiah ini-itu, yang dalam ‘kondisi normal’ jarang terjadi. Begitu melangkah pergi, aromanya sangat menyengat “Kami peduli rakyat, maka pilihlah kami.”

Alangkah merdu dan indahnya terma-terma ‘rakyat’ itu diucapkan, bahkan disolidkan atau dibaurkan dengan janji-janji menggiurkan. Tak tanggung-tanggung, seluruh dimensi kehidupan individu dan bermasyarakat dijanjikan untuk diperbaiki. Jangankan malaikat, setan pun mungkin ketawa mendengarnya. Semuanya, dikatakan, demi rakyat. Ruaaar biasa!

Begitulah, makna “rakyat” telah dan akan dimanipulasi secara politis dan bombastis sebegitu rupa untuk mengesankan keberpihakan total pada seluruh rakyat yang sangat bhinneka, dan akhirnya, guna menyedot atensi mereka agar memberikan suaranya. Padahal, tiada jaminan, cagub-cawagub terpilih bakal memenuhi janjinya.

Masyarakat kini sudah cerdas akibat begitu lama dibodohi dan dibodohkan, bahkan direndahkan dengan sebutan ‘rakyat’ atau ‘wong cilik’. Kemuakan masyarakat terhadap tokoh-tokoh politik, yang dulu juga mengumbar janji-janji, telah mengarus ke gejala sinisme dan indiferens (acuh tak acuh) publik. Inilah model masyarakat yang ambigu sikap politiknya.

Dalam kondisi masyarakat ambigu inilah para cagub-cawagub bermain. Agaknya masih ada harapan yang tersisa. Simpati mereka harus direbut dan diperjuangkan, tak peduli berapa pun ongkos materiil dan imateriil yang perlu dikeluarkan. Strategi-strategi pragmatis yang berbau kekinian pun dilancarkan.

Karitas Sosial
Salah satu fenomena mencolok akibat strategi pragmatis kekinian tersebut adalah tumbuhnya social charity (karitas, derma, amal sosial) cagub-cawagub. Mereka getol bagi-bagi rezeki. Saksikanlah, pakar politik direkrut jadi konsultan/mesin kampanye, analis politik kaya bahan untuk talk-show atau seminar, paranormal kebagian rezeki, wartawan kaya berita, peloper koran pun kelarisan. 

Juga banyak tukang gambar, pembuat baliho, pencetak spanduk dan foto, pembuat banner telah kebanjiran order pekerjaan, dan itu berarti uang. Bisa dibayangkan, berapa banyak orang yang ikut mengenyam rezeki nomplok itu, termasuk para pedagang bahan-bahan untuk melukis tokoh, membuat baliho, spanduk, atau banner itu.

Kini panti asuhan, panti jompo, keluarga miskin, mendapat santunan, entah berupa uang atau bahan makan. Para cagub-cawagub blusukan ke seluruh penjuru daerah guna memberikan ‘bantuan’ (baca: suap!) dengan segmentasi masing-masing. Kalau dikritik sebagai money politics, merek pasti berkilah, bahwa semua itu hanya santunan.

Lalu, kalau dialog dan orasi politik digelar, karitas sosial itu akan lebih kental. Masyarakat diberi uang saku, diberi kaos dan akomodasi lumayan. Banyak truk atau pick-up disewa untuk mengangkut massa, PKL mamin bisa berjualan, juru parkir ikut mendulang rezeki, bahkan pencopet pun berpeluang menilap uang hadirin. Alangkah besarnya sirkulasi rupiah di tempat kampanye.

Itu semua barulah pada tingkat individu. Padahal masyarakat secara kolektif juga kebagian karitas cagub-cawagub. Karitas itu menyentuh pembangunan infrastruktur. Tim-tim sukses cagub-cawagub kini mengakrabi tokoh-tokoh masyarakat, menjajaki apa yang perlu diperbaiki atau dibangun: proyek air-bersih, subway, jalan beraspal, masjid, jembatan, balai-balai pertemuan, atau pos-pos kamling.
 
Tak heran, ongkos karitas sosial itu tidaklah murah. Konon, ada pasangan cagub-cawagub yang mengalokasikan dana 750 milyar atau lebih hanya untuk mendekati calon pemilihnya. Sumbernya, selain dana pribadi, konon, sumbangan pihak-pihak tertentu dengan deal komitmen tertentu pula.

Kesadaran Palsu?
Apakah ada jaminan mereka bakal terpilih? Kalau pada Pilkades karitas cukup berpengaruh, pada Pilgub banyak yang meragukan. Akibat heterogenitas karakter masyarakat sulit diukur kemana sikap politiknya. Sekali lagi, masyarakat sudah cerdas namun sekaligus ambigu.

Justru karena kecerdasan merekalah, ambiguitas itu dimanfaatkan untuk meraup karitas cagub-cawagub. Si Badu mungkin bisa mendapat kaos dan uang saku ikut kampanye, dan mushallanya mendapat bantuan dari pasangan-pasangan cagub-cawagub sekaligus. Semua bantuan diterima, masalah memilih dipikir belakangan.
Dalam konteks ini, setiap pasangan cagub-cawagub perlu menyadari adanya kesadaran palsu (false consciousness) masyarakat. Tindak kamuflase, sebagai representasi kesadaran palsu, perlu diterima sebagai kenyataan riil yang perlu dilacak akar masalahnya. Yakni, bagaimana mengobati sinisme dan indiferensi publik yang selama ini telah membias menjadi ambiguitas sikap berpolitik, dan hal itu bersumber dari ‘diri’ (self) sejatinya.

Menyentuh hakikat ‘diri’ masyarakat secara lebih humanis, dengan menguatkan ikatan emosional dengan mereka, merupakan prasyarat penting untuk merebut simpati. Kredibiltas dan reputasi diri dan organisastoris dipertaruhkan. Maksudnya, karitas sosial silakan, namun ikatan emosional masyarakat dengan para cagub-cawagub yang kredibel dan punya reputasi wahid juga harus dieratkan.

Memperkokoh hubungan emosional, dengan program-program yang membumi, merupakan pintu masuk bagi tumbuhnya kesadaran sejati (true consciousness) masyarakat. Bagaimanapun, masyarakat butuh bukti konkret, bukan sekedar iming-iming promosi atau sampel program yang muluk-muluk. Cagub-cawagub harus membuktikan bahwa ‘kecap’-nya yang dijual bebas benar-benar nomor satu.

Ketika true consciousness tumbuh, rasionalitas komunikatif, baik dengan jualan ‘kecap nomor satu’ maupun karitas sosial, menemukan konteksnya. Lain kata, slogan ‘kecap nomor satu’ dan karitas sosial bisa menjadi sarana komunikasi politik guna mengarahkan masyarakat untuk menetapkan pilihannya. Dan semua itu perlu kecerdasan membaca peluang dan tantangan.**

Tidak ada komentar: