It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

03 September 2012

NGUNDHUH WOHING PAKARTI


Much. Khoiri
 
Hidup ini hakikatnya menanm amal perbuatan, dan di dunia ini sebuah ladang atau kebun persemaian yang amat subur. Hasil panen akan bergantung pada apa yang ditanam, dan bagaimana cara merawatnya, sehingga tanaman itu layak panen.


Berbuat amal ibarat menanam padi. Manusia menanam benih terbaik, menyiangi, memupuk, dan merawatnya akan menuai padi berkualitas. Jika salah langkah sedikit saja, si penanam mungkin hanya menuai padi kopong (alias gagal panen) atau bahkan rumput ilalang.

Ada manusia yang sukses lahir-batin, setelah menempuh sekian tempaan hidup, tapi tetap menaburkan benih – benih kebajikan. Ia menjadi bahagia, damai dan dinamis berkat pemikiran jernih, ucapan lembut, menyejukkan, sikap santun-beradab, dan tindakan berakhlak mulia.

Pun kita lihat betapa manusia yang semula tampak sukses ternyata akhirnya terpuruk dan tersuruk-suruk karena ia tak mau “merawat” benih-benih kebajikannya, atau “salah tanam” benih kezaliman yang mungkin cuma satu-dua butir. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

Dulu Diego Maradona disanjung hampr setiap orang, tapi akibat terlibat bisnis narkoba (narkotika dan obat terlarang), ia seakan lenyap ditelan bumi. Mike Tyson akhirnya juga terpuruk oleh serangkaian kasus karena ulahnya yang ugal-ugalan dan dumeh jagoan.

Michael Gorbachyov amat populer di sekitar 1990-an dengan Glasnost dan Perestroika-nya. Gebrakan konsep  politiknya diharapkan membuahkan supremasi demokrasi dan kebebasan. Tapi ternyata namanya terkubur bersama puing – puing eks-Uni Soviet.

Maradona, Tyson, dan Gorby mungkin hanya telah “salah langkah” dan karenanya ngundhuh sebagian wohing pakarti mereka. Sukses yang telah susah payah dirintis, dipupuk, dan dikembangkan sejak dari nol ternyata bisa rontok akibat satu-dua tindakan out of control. Mereka telah di-KO telak oleh pakarti-nya sendiri.

Ngundhuh wohing pakarti akan meminta ruang dan waktu lebih banyak lagi. Ia juga menyusup ke dalam setiap jiwa yang, langsung atau tidak, terlibat dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Bias-biasnya akan menebar.

Menjelang pilkada di berbagai daerag ada partai atau perorangan yang dijadikan sasaran kritikan, hujatan, cacimakian, kekerasan, dan amuk massa. Konon itu merupakan pakarti arogansi dan kesewenangan yang pernah dilakukannya di masa silam.

Bila kita adaptasi sajak penyair AS, Henry W. Longfellow, “Anah Panah dan Lagu”, amal perbuatan kita ibarat anak panah dan lagu. Kita lepaskan anak panah (kezaliman menyakitkan), kita nyanyikan lagu (kebajikan menyejukkan). Begitu terlepas, keduanya mustahil kita tarik kembali. Kendati sama – sama jatuh ke bumi, dampaknya berbeda. Anak panah tertancap utuh di pohon oak, sedang lagu itu (juga masih utuh) mengendon di hati seorang kawan.

Mungkin kita (mulai elite politik hingga kaum akar rumput) sadar tidak sadar pernah melepas anak – aak panah intimidasi, hujatan, tudingan, pelecehan, dan perbuatan tak simpatik lain kepada orang lain. Kita mungkin pernah mengeksploitasi rakyat atau masyarahakat (orang lain secara kelompok) demi kepentingan sendiri.

Betapa nyeri dan sakitnya hati mereka yang tertancapi anak – anak panah intimidasi, hujatan, tudingan, atau pelecehan itu. Bayangkan apa yang terjadi bila mereka mengekalkan buncah luka di dada, dan suatu saat melepas balik anak – anak panah tersebut.

Atau sebaliknya, mungkin kita senantiasa telah bersikap beradab dan terhormat dalam “menjual impian”, dengn visi, misi, dan program yang rasional, realistis, konkret, dan prospektif.

Betapa merdunya lagu – lagu perdamaian, demokrasi, dan kebebasan itu bila dlantunkan kembali oleh mereka yang pernah tersentuh, tercerahkan, dan terterangi dengan pakarti tokoh, jurkam, dan massa. Apapun pakarti kita itu, baik positif maupn negatif, pasti akan kita undhuh atau petik di kemudian hari.

Hasil suatu pilkada yang telah berlangsung selama ini mungkin juga bisa dijadikan cermin dan parameter bagi buah pakarti elite politik dan massa parpol. Suara rakyat pemilih itu laksana anak panah dan lagu yang muncul kembali.

Momentum pascapilkada juga bukannya steril dari bias – bias ngundhuh wohing pakarti. Buncah –buncah luka mungkin masih akan mewarnai sidang – sidang penting di ruang Dewan dan bahkan menjadi ajang perebutan kepentingan.

Yang jelas siapapun pemimpin (daerah)-nya, janji – janji kampanye, dengan embel – embel jargon rakyat, akan dituntut pemenuhannya. Ada konsewensi yang harus dipertanggungjawabkan.

Bila harapan masyarakat dan/atau bangsa atas janji – janji itu tak terpenuhi, terlebih bila hanya dieksploitasi guna meraup rezeki dan fasilitas empuk, sang pemimpin harus siap menuai pakarti-nya, seperti nasib Orde Baru yang telah keserimpet getah – getah politiknya.

Agaknya harus diingat, pakarti penuh arogansi dan kesewenangan hanya ngundhuh abu kesia-siaan.**

1 komentar:

Gustaf Wijaya mengatakan...

Dari berbagai tulisan Bapak di blog, baru ini lo Pak yang paragrafnya pendek - pendek :) tapi "masuk" untuk introspeksi diri . Mantap :D ijin share Pak