Much. Khoiri
Hidup ini hakikatnya menanm amal
perbuatan, dan di dunia ini sebuah ladang atau kebun persemaian yang amat
subur. Hasil panen akan bergantung pada apa yang ditanam, dan bagaimana cara
merawatnya, sehingga tanaman itu layak panen.
Berbuat amal ibarat menanam padi.
Manusia menanam benih terbaik, menyiangi, memupuk, dan merawatnya akan menuai
padi berkualitas. Jika salah langkah sedikit saja, si penanam mungkin hanya
menuai padi kopong (alias gagal panen) atau bahkan rumput
ilalang.
Ada manusia yang sukses lahir-batin,
setelah menempuh sekian tempaan hidup, tapi tetap menaburkan benih – benih
kebajikan. Ia menjadi bahagia, damai dan dinamis berkat pemikiran jernih,
ucapan lembut, menyejukkan, sikap santun-beradab, dan tindakan berakhlak mulia.
Pun kita lihat betapa manusia yang
semula tampak sukses ternyata akhirnya terpuruk dan tersuruk-suruk karena ia
tak mau “merawat” benih-benih kebajikannya, atau “salah tanam” benih kezaliman
yang mungkin cuma satu-dua butir. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Dulu Diego Maradona disanjung hampr
setiap orang, tapi akibat terlibat bisnis narkoba (narkotika dan obat
terlarang), ia seakan lenyap ditelan bumi. Mike Tyson akhirnya juga terpuruk
oleh serangkaian kasus karena ulahnya yang ugal-ugalan dan dumeh jagoan.
Michael Gorbachyov amat populer di
sekitar 1990-an dengan Glasnost dan Perestroika-nya. Gebrakan konsep politiknya diharapkan membuahkan supremasi
demokrasi dan kebebasan. Tapi ternyata namanya terkubur bersama puing – puing
eks-Uni Soviet.
Maradona, Tyson, dan Gorby mungkin
hanya telah “salah langkah” dan karenanya ngundhuh
sebagian wohing pakarti mereka.
Sukses yang telah susah payah dirintis, dipupuk, dan dikembangkan sejak dari nol ternyata bisa
rontok akibat satu-dua tindakan out of
control. Mereka telah di-KO telak oleh pakarti-nya
sendiri.
Ngundhuh
wohing pakarti
akan meminta ruang dan waktu lebih banyak lagi. Ia juga menyusup ke dalam
setiap jiwa yang, langsung atau tidak, terlibat dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat. Bias-biasnya akan menebar.
Menjelang pilkada di berbagai daerag ada partai atau perorangan yang
dijadikan sasaran kritikan, hujatan, cacimakian, kekerasan, dan amuk massa.
Konon itu merupakan pakarti arogansi
dan kesewenangan yang pernah dilakukannya di masa silam.
Bila kita adaptasi sajak penyair AS,
Henry W. Longfellow, “Anah Panah dan Lagu”, amal perbuatan kita ibarat anak
panah dan lagu. Kita lepaskan anak panah (kezaliman menyakitkan), kita
nyanyikan lagu (kebajikan menyejukkan). Begitu terlepas, keduanya mustahil kita
tarik kembali. Kendati sama – sama jatuh ke bumi, dampaknya berbeda. Anak panah
tertancap utuh di pohon oak, sedang lagu itu (juga masih utuh) mengendon di
hati seorang kawan.
Mungkin kita (mulai elite politik
hingga kaum akar rumput) sadar tidak sadar pernah melepas anak – aak panah
intimidasi, hujatan, tudingan, pelecehan, dan perbuatan tak simpatik lain
kepada orang lain. Kita mungkin pernah mengeksploitasi rakyat atau masyarahakat (orang lain secara kelompok) demi kepentingan
sendiri.
Betapa nyeri dan sakitnya hati mereka
yang tertancapi anak – anak panah intimidasi, hujatan, tudingan, atau pelecehan
itu. Bayangkan apa yang terjadi bila mereka mengekalkan buncah luka di dada,
dan suatu saat melepas balik anak – anak panah tersebut.
Atau sebaliknya, mungkin kita
senantiasa telah bersikap beradab dan terhormat dalam “menjual impian”, dengn
visi, misi, dan program yang rasional, realistis, konkret, dan prospektif.
Betapa merdunya lagu – lagu perdamaian,
demokrasi, dan kebebasan itu bila dlantunkan kembali oleh mereka yang pernah
tersentuh, tercerahkan, dan terterangi dengan pakarti tokoh, jurkam, dan massa. Apapun pakarti kita itu, baik positif maupn negatif, pasti akan kita undhuh atau petik di kemudian hari.
Hasil suatu pilkada yang telah berlangsung selama ini mungkin juga bisa
dijadikan cermin dan parameter bagi buah pakarti
elite politik dan massa parpol. Suara rakyat pemilih itu laksana anak panah dan
lagu yang muncul kembali.
Momentum pascapilkada juga bukannya
steril dari bias – bias ngundhuh wohing
pakarti. Buncah –buncah luka mungkin masih akan mewarnai sidang – sidang
penting di ruang Dewan dan bahkan menjadi ajang perebutan kepentingan.
Yang jelas siapapun pemimpin (daerah)-nya, janji
– janji kampanye, dengan embel – embel jargon rakyat, akan dituntut
pemenuhannya. Ada konsewensi yang harus dipertanggungjawabkan.
Bila harapan masyarakat dan/atau bangsa atas janji – janji
itu tak terpenuhi, terlebih bila hanya dieksploitasi guna meraup rezeki dan
fasilitas empuk, sang pemimpin harus siap menuai pakarti-nya,
seperti nasib Orde Baru yang telah keserimpet getah
– getah politiknya.
Agaknya harus diingat, pakarti penuh arogansi dan kesewenangan hanya ngundhuh abu kesia-siaan.**
1 komentar:
Dari berbagai tulisan Bapak di blog, baru ini lo Pak yang paragrafnya pendek - pendek :) tapi "masuk" untuk introspeksi diri . Mantap :D ijin share Pak
Posting Komentar