oleh Much. Khoiri
Dalam rangka Hari Olahraga Nasional (Haornas, 9 September), saya mengajak untuk mengkritisi
(dan mendekonstruksi) konsep ‘olahraga’—suatu konsep yang kini terlalu
sempit dan kadaluwarsa guna mewadahi kegiatan-kegiatan sports; ibaratnya kebanyakan isi kurang
wadah.
Sudah sekian lama terma (istilah) ‘olahraga’ kita samakan
dengan sports. Kita telah “salah
kaprah” memakai paradigma yang kurang tepat. Dengan gegabah kita terjemahkan sports menjadi ‘olahraga’, tanpa
mengatisipasi dan menimbang latar budaya dan pemekaran atau penyempitan makna.
Padahal, konsep kedua terma itu jauh
berbeda. Sports itu berarti segala
kegiatan (fisik dan/atau mental) yang lazim dilakukan di tempat terbuka guna
memperoleh kesenangan (amusement,
fun). Ia bisa berupa kegiatan ringan, bisa berat, tapi tetap bersifat
permainan (playful).
Dalam sports terkandung unsur physical
exercise (latihan/gerak fisik) dan/atau mental
exercise (latihan mental). Mana yang mengedepan, tak jadi soal. Intinya,
untuk “menafkahi” kebutuhan amusement
atau fun tersebut. Sebab itu, dikenal
terma sportive, juga sportsman.
Sementara itu, berakar kata ‘olah’
dan ‘raga’, terma ‘olahraga’ mestinya berarti kegiatan yang berkaitan dengan
kinesik dan dinamika raga, aktivitas tubuh atau gerak badan agar menjadi sehat.
Ini analog terma ‘olah rasa’ guna mengacu kegiatan menempa rasa, ‘olah pikir’
untuk mengasah pikiran, ‘olah batin’ untuk mempertajam batin.
Lain kata, terma ‘olahraga’ hanya
berkonotasi makna physical exercise
itu, dan tak otomatis mencakupi kegiatan mental. Dus, ‘olahraga’ hanya sebagian dari sports. Konyolnya, frame makna sports
di negara Barat kita pakai begitu dengan ‘olahraga’, meski konteksnya berbeda
sama sekali.
Dulu pemakaian terma ‘olahraga’
memang tepat, karena kegiatan-kegiatan yang diwadahinya layak dikelompokkan
dalam gerak raga, badan/tubuh. Cabang-cabang ‘olahraga’ semisal permainan (bola
besar, bola kecil), atletik, renang, atau senam memang mengandalkan gerak raga.
Tapi kini terma ‘olahraga’, terlalu
sempit guna mewakili jenis kegiatan yang “aneh-aneh”. Catur atau biliar,
misalnya. Di mana letak unsur ‘olah raga’-nya dari dua kegiatan ini bila sambil
berlomba atau bermain malah asyik merokok atau minum bir? Apa bedanya dengan
mengetik, menulis, memasak, atau memijat kaki keseleo?
Balap mobil, gokar, atau grasstrack termasuk sports. Kendati pengemudinya tak banyak bergerak, dia memperoleh amusement, bakatnya terwadahi. Itu pas
termanya. Tapi, termasukkah tiga jenis kegiatan dalam ‘olahraga’? Nah, siapa
yang bergerak raga, pengemudinya ataukah kendaraannya?
Sepak bola, lari, gulat, dan renang memang
termasuk dalam ‘olahraga’. Tapi balap mobil tentu tidak tepat. Apa bedanya balap
mobil dengan sopir bus jarak jauh, tukang pos yang naik motor tiap hari, atau
penggembala yang menunggang kerbaunya? Bukankah sopir bus, tukang pos, dan
penggembala tak pernah disebut olahragawan?
Berkali kita ikut turnamen ke
tingkat regional atau internasional. Cabang-cabang yang dilombakan memang sports, sekali lagi, catur misalnya.
Kita anggap catur ‘olahraga’, dan orangnya disebut ‘olahragawan’ catur.
Padahal, catur lebih berupa olah pikir, ya mirip ikut kuis, mengisi TTS
(teka-teki silang), atau main kartu.
Di negara maju seperti AS, yang
termasuk sports bukan hanya
sepakbola, lari, gulat, tinju atau atletik, tapi juga meliputi berburu,
memancing, balap kuda, gokar, catur dan semacamnya. Kegiatan-kegiatan ini
memang untuk amusement atau fun, maka masuklah dalam bidang sports.
Ambigu
Dengan demikian, pemakaian terma
‘olahraga’ untuk mewakili sports adalah
ambiguitas (kerancuan) makna. Jika ditanya apakah suatu kegiatan dikategorikan
‘olahraga’ atau bukan, kita pasti bingung. Mengapa? Konsep ‘olahraga’ itu
sendiri kabur, ambigu, rancu.
Kerancuan konsep ‘olahraga’ ini membuat
kita ragu, dan takluk pada selera kapitalisme. Kegiatan minim gerak, asalkan
dilombakan dengan dana besar, langsung jadi cabang ‘olahraga’. Semenetara itu, ‘olahraga’
rakyat (seperti kasti, gobaksodor) satu persatu didepak dari bumi pertiwi.
Begitulah, keraguan kita memilih terma
‘olahraga’ berimplikasi luas, tak hanya pada jenis kagiatannya, tapi juga
faktor-faktor di luar kegiatan itu sendiri. Kerinduan pada ‘olahraga’ rakyat
tak mudah kita obati akibat hegemoni dan kekuasaan kapitalisme (baca: uang).
Memang, untuk menutupi “kekurangan”
konsep terma ‘olahraga’, kita memakai tameng motto mens sana in corpore sano (dalam tubuh sehat ada jiwa kuat). Dan,
dalam praktiknya, terma ‘olahraga’ dipakai gegabah dan salah kaprah untuk
mencakup nuansa “jiwa kuat” ini.
Olah Jiwa
Raga?
Dengan paparan di atas, saya melihat bahwa konsep ‘olahraga’
urgen didekonstruksi. Dekonstruksi, menurut Derrida, merupakan pembongkaran
dengan tujuan konstruksi baru, menyusun kembali ke tatanan dan tataran lebih
signifikan.
Konsep olahraga dianggap sebagai
teks, yang dapat dibaca seperti buku. Karena ada ketidaktepatan dalam
penerjemahan sports ke dalam
‘olahraga’, sedang cakupannya berangsur sama, maka dekonstruksi ‘olahraga’
sangatlah urgen, bahkan sebuah keniscayaan.
Kita pasti punya terma yang lebih
representatif. Terma baru ini perlu
mencerminkan kegiatan fisik dan mental (jiwa), bersifat permainan (playful), dan memberikan kesenangan (amusement, fun). Misalnya, terma itu
‘olah jiwa raga’ atau ‘olah mental raga’.
Namun, memang, dekonstruksi ini akan berimplikasi luas semisal perubahan nama
dan stempel KONI. Namun, hal ini akan memberi batasan jelas. Muaranya, jika
sewaktu-waktu muncul kegiatan baru, termasuk yang terimpor dari negara mana,
kita tak akan repot mengkategorikannya.
Maksudnya, pemerintah perlu
memperhatikan lebih proporsional kegiatan-kegiatan sports yang belum lazim diperlombakan. Perhatian proporsional,
misalnya, harus tercurah pada panco (wrestling)
atau bola sodok—sama pentingnya dengan tinju atau bulu tangkis.
Kini adalah tugas KONI, pakar ‘olahraga’,
pakar bahasa untuk menentukan nama yang paling representatif bagi
kegiatan-kegiatan fisik-mental yang selama ini diklaim sebagai ‘olahraga’. Jika
tidak, kita termasuk sampel kecil orang Indonesia yang tak mampu berbahasa
Indonesia dengan baik dan benar.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar