Catatan Much.
Khoiri
Kemarin malam saya dihubungi oleh Prof. Mochtar, begawan
analis politik terkemuka yang sastrawan ini, setelah beberapa kali
berkomunikasi lewat email. Kami berbincang tentang persiapan acara Bincang
Sastra yang akan dihelat di Auditorium Prof. Dr. Leo Idra Ardiana FBS Kampus
Lidah Wetan Unesa pada 22 Mei 2013 pukul 14.00-16.00.
Saya belum pernah bertemu beliau, kecuali lewat
karya-karyanya. Namun, dari setiap tuturan lisan dan tertulis, saya menangkap
kematangan intelektualitas dan kedalaman penghayatan sastranya. Ini menambah
kesan saya untuk beliau setelah menyimak biografi dan membaca buku terbarunya Burung-Burung Cakrawala (2013) yang
diberikan mas Satria Dharma dua pekan silam.
Eureka Academia mensponsori acara literasi yang
ditunggu-tunggu ini, yang didukung oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris dan
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Panpelnya kolaborasi HMJ kedua jurusan,
yang harus secara maraton menyiapkan segala sesuatunya. Saya sudah mengecek persiapan
teknis dan rundown acaranya.
Dalam acara yang insyaallah bakal meriah ini saya
didapuk menjadi moderator. Karena itu, ada baiknya saya mamperkenalkan
nara-sumber yang gentleman ini—penulis intelektual publik terkemuka di negeri
ini menawarkan kritisisme dan sekaligus optimismenya pada ketercerahan
cakrawala Indonesia, beserta secuplik sinopnis dari
buku terbarunya.
LEBIH DEKAT DENGAN PROF. MOCHTAR
Menurut berbagai sumber, Mochtar
Pabottingi, (lahir
di Bulukumba, Sulawesi
Selatan, 1945), adalah seorang penulis Indonesia,
baik non-fiksi mapun fiksi. Namun banyak orang mengenalnya sebagai seorang
Peneliti Utama bidang
perkembangan politik nasional di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) daripada sastrawan.
Penghayatan sastranya membuat analisis
politiknya holistik dan bernas.
Tahun 1973 ia menamatkan kuliahnya di Jurusan Sastra Ingggris Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Tahun 1984 lulus
M.A. dari Universitas Massachusets (USA),
dan tahun 1989 lulus Ph.D. dari Universitas Hawaii, Honolulu
(USA).
Ia pernah menjadi redaktur Mercu
Suar dan Harian Kami (keduanya edisi Sulawesi
Selatan), Ketua Seni Budaya Muslim Indonesia di Ujungpandang,
penggiat Teater Gadjah Mada, redaktur majalah Titian, dan sekarang sebagai
peneliti LIPI di Jakarta.
Ia menulis puisi, esai, cerita pendek,
dan artikel. Tulisannya kerap dimuat
di majalah dan
surat kabar Pelopor Yogya, Basis, Horison, Budaya
Jaya, Prisma dan Tempo. Puisinya juga
dimuat dalam antologi puisi Linus Suryadi AG Tonggak 3 (1987) , dan diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris dalam antologi puisi On Foreign Shores: American
Images in Indonesian Poetry (1990).
Ia menjadi redaktur buku berjudul: Islam:
Antara Visi, Tradisi dan Hegemoni Bukan Muslim, kumpulan esai terbit 1986.
Buku kumpulan puisinya berjudul Dalam Rimba Bayang-bayang terbit
2003. Buku terbarunya, yang dinilai Seno Gumira Ajidarma sebagai novel
otobiografi, berjudul Burung-Burung
Cakrawala (2013).
Ia mengakui rumah dan buku ikut membentuk
kepribaiannya. Rumah telah membentuk karakternya seperti sekarang. Sementara
buku membukanya pada keluasan cakrawala.
Kecintaannya pada buku bermula dari rumah
orangtuanya yang terletak tiga kilometer dari Bulukumba. Ayahnya adalah
gerilyawan penentang Belanda. Sebelum bergerilya, ayahnya membelikan buku
pelajaran membaca berjudul Si Didi dan Si
Minah ketika usianya genap lima tahun. Buku itu dilahap habis.
Kegemaran membaca karya sastra berlanjut.
Mochtar yang ketika remaja tergolong nakal, jatuh hati pada puisi Soekarno
berjudul "Berdiri Aku" yang bercerita tentang kecintaan kepada Tanah
Air. Konon, ia hafal luar kepala puisi itu dan ia kerap diminta tetangganya
untuk membacakannya keras-keras di beranda.
Di tengah kesibukannya sebagai Kepala Pusat
Penelitian Politik dan Kewilayahan LIPI, kegemaran masa kecilnya membaca karya
sastra tetap berlanjut. Intensitas bacaannya pada karya Milan Kundera mengarah
pada keterpesonaan. Pesan Kundera yang kental ditangkapnya adalah munculnya
kecenderungan masyarakat untuk mencari kembali identitas yang telah terkubur
oleh ambisi materi atau kekuasaan.
Kecintaan pada karya sastra itulah yang
membuat analisis politiknya lebih holistik. Semasa menjadi mahasiswa, ia aktif
berpolitik bersama teman- temanya di Yogyakarta dengan kelompok studi politik
"Juli 73". Ia tak pernah meninggalkan puisi, sastra, dan politik. Ia
mengakui adanya lingkaran unik keterkaitan sastra dan politik saat menemukan,
menyukai dan hafal puisi Soekarno berjudul "Berdiri Aku".
BURUNG-BURUNG CAKRAWALA
Dirangkum dari
berbagai sumber, buku Burung-burung
Cakrawala (BBC) ini masih cukup
segar karena baru saja terbit pada tanggal 17 Januari 2013 lalu. Beberapa hari
setelah terbit, buku ini banyak direkomendasikan sebagai bacaan segar oleh
tokoh-tokoh yang populer.
Buku setebal 386
halaman ini
berisi kisah sejati ini merupakan kesaksian yang kaya, hidup, dan
orisinal tentang apa arti dan fungsi Tanah Air serta kemerdekaan bagi seorang
anak desa. Seperti sejumlah anak serupa, ia kemudian bertumbuh menjadi manusia
yang jiwa dan badannya terbangun mengikuti citra diri dan impian Para Pendiri
Bangsa-deretan eksemplar burung–burung pelintas benua, penjelajah cakrawala.
Sebagai narasi diri, ini adalah rekaman tangan pertama si anak desa tentang bagaimana ia menjadi sembari sekaligus memotret masyarakat bangsanya dan masyarakat mancanegara lewat kota-kota di mana ia berkiprah selama tiga zaman.
Sebagai narasi diri, ini adalah rekaman tangan pertama si anak desa tentang bagaimana ia menjadi sembari sekaligus memotret masyarakat bangsanya dan masyarakat mancanegara lewat kota-kota di mana ia berkiprah selama tiga zaman.
Di saat terbang lintas benua menjelajah lapis-lapis
cakrawala, ia pun bercinta serta bersaksi cerdas tentang masa dan dunianya,
tentang impian-impian pribadi dan ideal-ideal berbangsa yang terus
dijunjungnya. “Indonesia tak pernah bisa dipisahkan dari ketercerahan
cakrawala.” Hakikatnya, ini adalah suatu kesaksian yang merayakan Indonesia.
Nah, masih ingin tahu lebih banyak tentang Mochtar dan
proses kreatifnya? Ingin tahu bagaimana
begawan politik yang sastrawan ini membaca puisi dan nukilan BBC-nya? Saya tunggu pada Bincang Sastra yang akan
dihelat di kampus Lidah Wetan ini. Sampai jumpa dengan jiwa-jiwa kreatif. *
Surabaya, 20 Mei 2013
Much. Khoiri
Meretas
Mimpi Lintas Generasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar