Much. Khoiri
Kami tiba di
makam Gading, Pasuruan, pukul 08.00-an. Seharusnya mentari mulai meninggi,
namun pagi ini tidak. Embun belum beranjak dari hijau dedaunan dan rerumputan. Kemarin
sore tampaknya gerimis manis menyapa daerah ini.
Setelah
memarkir mobil di halaman mushala, saya, isteri, dan Anis—sementara Najib,
karena kuliah di Jakarta, tidak ikut serta—menyusuri jalan setapak berpaving,
lalu berjingkat sekitar 100 meter; kami tiba di rumah Tegar Aji Pamungkas—yang
pulang 16 Maret 2007 kemarin. Ya,
rasanya baru kemarin.
Rumah Tegar
berdempetan dengan rumah Sulastri kakaknya dan Hj. Fatechah neneknya. (Dua
meter ke timur ada sejejer rumah para pendahulu kami dari pihak ibu mertua.)
Rumput mulai tebal, menutup atap rumahnya, dan melilit-lilit dua tiangnya.
Namun, dalam sekejap dua anak pembersih rumput telah membabatnya bersih.
Kali ini
rumput. Ya, rumput yang mulai menebal itulah yang memanggil kami untuk mengunjungi
rumah Tegar. Dua hari sebelumnya dia sering berkelebat dalam bathin saya; juga
bathin bundanya, juga kakaknya. Pikiran kami hampir sama: mungkin rumputnya
sudah waktunya disabit bersih.
Rumput tebal
saja melintas dalam bathin kami. Apalagi yang lebih “serius”. Saat muncul
lubang akibat banjir, 1 meter dari salah satu nisannya, dia juga masuk ke mimpi
bundanya. Tak jarang dia juga berkelebat dalam mimpi, bathin, atau bayangan
kakak-kakaknya. Dengan saya, jangan ditanya.
Enam tahun
telah berlalu, namun kami masih terasa teramat dekat. Selama itu pula kami
insyaallah rutin membaca Yasin, tahlil, dan doa untuknya setiap malam Jumat.
Kami kapok, sekali kami tidak berdoa untuknya (karena saya menjemput Anis dari
pondok ramadhan di SMAN 15 Surabaya tahun 2007), Tegar muncul dengan kondisi
sedih dalam bayangan mata bundanya.
***
Kami membaca
paket doa ini dengan takdzim. Seperti biasa, ada semacam keajaiban kami alami.
Hampir selalu sama: kalau kami mengunjungi rumah Tegar, hari menjadi (cukup) berawan.
Sekarang pun demikian. Pagi ini masih redup dan sejuk, meski seharusnya mentari
mulai menyala-nyala.
Ayat demi
ayat mengalun. Doa demi doa kami panjatkan. Ada kenyamanan kalbu di dalamnya.
Ada kepuasan bathin selama menghayatinya. Kebahagiaan itu terukir abadi di
dalam dada ini. Seakan kami bertemu kembali dengan Tegar: merenda kembali
rajutan kisahnya.
Ya, rumah
Tegar hanya semeter panjangnya, dengan dua tiang di ujungnya. Namun, rumah itu
telah enam tahun senantiasa mengikat kami agar selalu mengunjungi, agar selalu
memetik hikmahnya: Bahwa mati itu tidaklah pergi, melainkan pulang!
Rumah Tegar
menggugah kami bagaimana dia yang bayi prematur harus kami rawat dengan segenap
kasih-sayang. Teringat bagaimana dia punya ‘keistimewaan’: sekali
diberitahu—tentang apapun, dia paham dan hafal. Teringat, menginjak 11 bulan,
dia bisa berjalan, dan suka mendengar ayat-ayat Qur’an diperdengarkan. Juga
musik-musik Islami.
Terkenang,
seusia 1,5 tahun-an dia selalu minta pangku
selagi saya mengetik di PC dengan menyetel Juz-‘amma. Kemudian, kalau ada suara
adzan, selalu dia mengangkat telunjuknya dan berujar, “Ayah, awwohu akbang.” Lalu, dia minta disarungi dan dikopiahi. Dan
dia mengikuti kami shalat—lalu dia mengayun-ayunkan badannya saat menirukan
dzikir.
Terkenang
pula, kalau kami mengaji bersama, dia tiba-tiba minta pangku, dan minta diajari
mengaji. Atau, kalau kami membaca, dia cepat-cepat minta buku bergambar untuk
“dikonsultasikkan” isinya. Di usianya yang di bawah 2 tahun, dia memaksa kami
untuk mengikutkannya dalam kelas PAUD.
Sungguh, dia
telah menyedot seluruh perhatian kami semua. Kami seakan dimanja Tuhan untuk
memuaskan diri dengan anak istimewa ini. Setiap detik bersamanya terasa begitu
bermakna. Bahkan, tidur pun, kami sering ngruntel
bareng di atas satu kasur. Setiap hari ada cerita baru tentang dia....
Karena itu,
tatkala Rabu malam dia pamit pulang—ujarnya rada kedal: “Ayah, pulang ya.”
(setelah dia “merampas” gagang telepon dari ibundanya yang sedang menghubungi
saya di Bali.)—Kamis pagi saya sudah di sampingnya. Kamis malam badannya panas,
Jumat membaik—dan malamnya dia pulang.
Memang,
seakan langit runtuh. Ujian kami begitu berat saat itu. Namun, seiring dengan
waktu dan panjatan doa tak kenal lelah, ada keakraban lain yang Tuhan limpahkan
dibanding semasa dia belum pulang. Selain malam Jumat, keakraban lain itu kami wujudkan
dalam kunjungan rutin se-umur rumput.
Begitulah,
rumah Tegar telah senantiasa merekatkan kami, seakan tidur ngruntel bareng di atas satu kasur—beserta sederet kenangan indah
yang terukir bersamanya. Andaikan kami sudah berumah sendiri-sendiri, saya
harap semoga rumah Tegar terhubung lewat gang menuju rumah kami. Dia telah
mengabadi di hati.***
Pasuruan, 8
Juni 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar