It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

14 Juni 2013

KE RUMAH TEGAR


Much. Khoiri

Kami tiba di makam Gading, Pasuruan, pukul 08.00-an. Seharusnya mentari mulai meninggi, namun pagi ini tidak. Embun belum beranjak dari hijau dedaunan dan rerumputan. Kemarin sore tampaknya gerimis manis menyapa daerah ini.


Setelah memarkir mobil di halaman mushala, saya, isteri, dan Anis—sementara Najib, karena kuliah di Jakarta, tidak ikut serta—menyusuri jalan setapak berpaving, lalu berjingkat sekitar 100 meter; kami tiba di rumah Tegar Aji Pamungkas—yang pulang 16 Maret 2007 kemarin. Ya, rasanya baru kemarin.

Rumah Tegar berdempetan dengan rumah Sulastri kakaknya dan Hj. Fatechah neneknya. (Dua meter ke timur ada sejejer rumah para pendahulu kami dari pihak ibu mertua.) Rumput mulai tebal, menutup atap rumahnya, dan melilit-lilit dua tiangnya. Namun, dalam sekejap dua anak pembersih rumput telah membabatnya bersih.

Kali ini rumput. Ya, rumput yang mulai menebal itulah yang memanggil kami untuk mengunjungi rumah Tegar. Dua hari sebelumnya dia sering berkelebat dalam bathin saya; juga bathin bundanya, juga kakaknya. Pikiran kami hampir sama: mungkin rumputnya sudah waktunya disabit bersih.

Rumput tebal saja melintas dalam bathin kami. Apalagi yang lebih “serius”. Saat muncul lubang akibat banjir, 1 meter dari salah satu nisannya, dia juga masuk ke mimpi bundanya. Tak jarang dia juga berkelebat dalam mimpi, bathin, atau bayangan kakak-kakaknya. Dengan saya, jangan ditanya.

Enam tahun telah berlalu, namun kami masih terasa teramat dekat. Selama itu pula kami insyaallah rutin membaca Yasin, tahlil, dan doa untuknya setiap malam Jumat. Kami kapok, sekali kami tidak berdoa untuknya (karena saya menjemput Anis dari pondok ramadhan di SMAN 15 Surabaya tahun 2007), Tegar muncul dengan kondisi sedih dalam bayangan mata bundanya.

***
Kami membaca paket doa ini dengan takdzim. Seperti biasa, ada semacam keajaiban kami alami. Hampir selalu sama: kalau kami mengunjungi rumah Tegar, hari menjadi (cukup) berawan. Sekarang pun demikian. Pagi ini masih redup dan sejuk, meski seharusnya mentari mulai menyala-nyala.

Ayat demi ayat mengalun. Doa demi doa kami panjatkan. Ada kenyamanan kalbu di dalamnya. Ada kepuasan bathin selama menghayatinya. Kebahagiaan itu terukir abadi di dalam dada ini. Seakan kami bertemu kembali dengan Tegar: merenda kembali rajutan kisahnya.

Ya, rumah Tegar hanya semeter panjangnya, dengan dua tiang di ujungnya. Namun, rumah itu telah enam tahun senantiasa mengikat kami agar selalu mengunjungi, agar selalu memetik hikmahnya: Bahwa mati itu tidaklah pergi, melainkan pulang!

Rumah Tegar menggugah kami bagaimana dia yang bayi prematur harus kami rawat dengan segenap kasih-sayang. Teringat bagaimana dia punya ‘keistimewaan’: sekali diberitahu—tentang apapun, dia paham dan hafal. Teringat, menginjak 11 bulan, dia bisa berjalan, dan suka mendengar ayat-ayat Qur’an diperdengarkan. Juga musik-musik Islami.

Terkenang, seusia 1,5 tahun-an dia selalu minta pangku selagi saya mengetik di PC dengan menyetel Juz-‘amma. Kemudian, kalau ada suara adzan, selalu dia mengangkat telunjuknya dan berujar, “Ayah, awwohu akbang.” Lalu, dia minta disarungi dan dikopiahi. Dan dia mengikuti kami shalat—lalu dia mengayun-ayunkan badannya saat menirukan dzikir.

Terkenang pula, kalau kami mengaji bersama, dia tiba-tiba minta pangku, dan minta diajari mengaji. Atau, kalau kami membaca, dia cepat-cepat minta buku bergambar untuk “dikonsultasikkan” isinya. Di usianya yang di bawah 2 tahun, dia memaksa kami untuk mengikutkannya dalam kelas PAUD.

Sungguh, dia telah menyedot seluruh perhatian kami semua. Kami seakan dimanja Tuhan untuk memuaskan diri dengan anak istimewa ini. Setiap detik bersamanya terasa begitu bermakna. Bahkan, tidur pun, kami sering ngruntel bareng di atas satu kasur. Setiap hari ada cerita baru tentang dia....

Karena itu, tatkala Rabu malam dia pamit pulang—ujarnya rada kedal: “Ayah, pulang ya.” (setelah dia “merampas” gagang telepon dari ibundanya yang sedang menghubungi saya di Bali.)—Kamis pagi saya sudah di sampingnya. Kamis malam badannya panas, Jumat membaik—dan malamnya dia pulang.

Memang, seakan langit runtuh. Ujian kami begitu berat saat itu. Namun, seiring dengan waktu dan panjatan doa tak kenal lelah, ada keakraban lain yang Tuhan limpahkan dibanding semasa dia belum pulang. Selain malam Jumat, keakraban lain itu kami wujudkan dalam kunjungan rutin se-umur rumput.

Begitulah, rumah Tegar telah senantiasa merekatkan kami, seakan tidur ngruntel bareng di atas satu kasur—beserta sederet kenangan indah yang terukir bersamanya. Andaikan kami sudah berumah sendiri-sendiri, saya harap semoga rumah Tegar terhubung lewat gang menuju rumah kami. Dia telah mengabadi di hati.***

Pasuruan, 8 Juni 2013.    

Tidak ada komentar: