Oleh MUCH. KHOIRI
Setiap
manusia lazimnya memiliki dream atau
impian, cita-cita, dalam hidupnya.
Impian tentu tidak identik dengan angan-angan kosong, sekadar keinginan atau
harapan (wish). Impian menyimpan
kekuatan jauh lebih kuat, dan daya motivatif yang dahsyat. Manusia yang
memiliki impian kuat biasanya berobsesi, bahwa impian hidupnya haruslah
terwujud; sebab jika tidak, manusia bersangkutan mungkin tidak akan sanggup
menanggung akibatnya.
Dalam
sebuah puisinya yang inspiratif dan aspiratif, Langston Hughes, seorang penyair
kulit hitam Amerika, bertutur berikut ini:
Hold fast to dreams
For if dreams die
Life is a broken-winged bird
That cannot fly.
Hold fast to dreams
For when dreams go
Life is a barren field
Frozen with snow.
Menurut
Hughes, tanpa impian, hidup adalah burung yang patah sayapnya yang tak kuasa
terbang melanglang angkasa. Pun tanpa impian, hidup adalah ladang tandus yang
membeku bersama salju. Dus, impian haruslah dipegang erat-erat, dirawat, dan diwujudkan. Hanya dengan impian kuat, manusia
memiliki arah hidup jelas dan selalu terdorong untuk “menghidupkan” hidup dan
menjadi manusia sesungguhnya. Kualitas kehidupan yang sempurna dimulai dengan
impian besar.
Ironisnya,
tidak semua orang memiliki impian, cita-cita, atau tujuan hidup yang jelas. Jika ditanya bagaimana
kondisi hidup kita lima
atau sepuluh tahun mendatang—baik aspek fisik-jasmaniah, finansial, mental,
spiritual, keluarga, maupun sosial—, hanya sedikit dari kita yang mampu
menjawabnya dengan meyakinkan. Kebanyakan kita hanya mampu menggeleng-gelengkan
kepala, atau diam dengan pandangan kosong. Umumnya kita hanya mengalir, pasrah, bersama arus hidup itu sendiri.
Apakah
ada sesuatu yang salah? Mungkin ada yang salah, kurang pas; tetapi janganlah
langsung dipulangkan pada nasib/takdir, sebab nasib atau taldir memanglah bukan
urusan kita. Jika kegagalan kita pulangkan pada takdir, kita biasanya akan
berprasangka buruk kepada Tuhan—dan itu bukanlah jawaban yang konkret. Sebagai manusia, kita seyogianya
menomorsekiankan nasib/takdir setelah menempuh berbagai ikhtiar. Dalam kalimat
lain, ikhtiar tetaplah yang terdepan dan utama, barulah disusul dengan doa dan
kepasrahan (tawakkal). Maka, amat
mungkin “kegagalan” atas impian kita bersumber dari “kegagalan” kita dalam
mengelola proses perwujudannya.
Lalu,
adakah strategi mewujudkan impian?
Marilah
kita berguru pada orang-orang sukses. Orang-orang sukses mengidentifikasi dan
menuliskan dengan jelas impian mereka. Menurut survei, ada 27% dari seluruh
manusia di dunia ini sama sekali tak memiliki tujuan hidup yang jelas; 60% memiliki
tujuan agak samar-samar; 10% memiliki tujuan hidup jelas; dan 3% sisanya tidak
hanya bertujuan jelas melainkan juga menuliskannya! Dan telah terbukti bahwa
yang 3% itu sekarang memiliki kondisi hidup yang jauh lebih cemerlang dan
sejahtera.
Menurut
mereka, yang 3% itu, impian-impian perlu ditulis di dalam sebuah “Dream Book”
(buku impian). Buku ini memuat daftar impian berupa pernyataan-pernyataan
tertulis dan bertarget sesuai dengan klasifikasi aspek hidup: fisik-jasmaniah,
finansial, mental, spiritual, keluarga, dan sosial. Pernyataan itu, misalnya,
berbunyi: (1) Fisik-jasmaniah: “Aku harus memiliki tubuh sehat, kuat, dan
seimbang.” (2) Finansial: “Saya harus membeli sepeda motor baru tahun
depan; (3) Mental: “Aku harus melenyapkan
ego-ku yang berlebihan.” (4) Spiritual: “Aku harus menunaikan ibadah haji tiga tahun lagi.” (5) Keluarga: “Aku harus membangun keluarga yang demokratis
dan akrab.” (6) Sosial: “Aku harus
memiliki teman dari segala lapisan masyarakat.” Jika perlu, pernyataan itu disertai
gambar atau foto representatif—dan sebagai tambahan, bisa ditempel di dinding
kamar tidur, ruang keluarga, dapur, kamar mandi atau kaos singlet, agar
visualisasinya jelas dan selalu mengobsesi benak. Obsesi impian di dalam benak
merupakan sumber kekuatan impian.
Kemudian,
daftar impian tersebut perlu diterjemahkan menjadi daftar goal rinci dan operasional yang langsung mendukung impian. Daftar goal ini bisa dianggap sebagai target-target
langkah kecil yang harus ditempuh untuk mewujudkan sebuah impian besar yang
berkaitan. Perlu diingat, kesuksesan besar hanya bisa dicapai dengan mewujudkan
ribuan kesuksesan kecil. Impian membeli sepeda motor, misalnya, harus ditempuh
dengan goal berupa menabung penuh
disiplin setiap bulan hingga tabungan itu memadai. Begitu pula hanya dengan
impian untuk memiliki teman dari segala lapisan masyarakat.
Setelah
daftar goal siap, kita perlu segera
menyusun rencana kerja (action plan).
Ini perlu dipetakan dalam diagram atau skema sederhana yang menggambarkan
butir-butir goal dan target
waktu—yang berujung pada butir impian. Actian
plan bisa diterapkan pada semua atau salah satu aspek hidup yang
diprioritaskan. Tentu saja, action plan
semacam ini perlu disiapkan untuk semua impian dalam aspek fisik-jasmaniah,
finansial, mental, spiritual, keluarga, dan sosial.
Kini
tinggallah kita melaksanakannya dengan kendaraan berupa kerja keras dan fokus
pada pencapaian goal. Ibarat bermain
bola, pemaian legendaris Pele atau Maradona tak mungkin mencetak gol andaikata
gawangnya tidak terpasang, atau andaikata mereka tak terfokus menggiring bola
secara lihai dan melewati pemain-pemain lawan. Mereka terfokus pada upaya
menyarangkan bola ke gawang (goal)
untuk mewujudkan impian memenangi pertandingan. Dengan goal jelas, orang menjadi kreatif dan bersemangat untuk menang.
Bagaimana
dengan hambatan atau kendala?
Hambatan
atau kendala tentu saja tidak harus diharamkan, tetapi harus dicarikan solusi.
Memang banyak kendala dalam mewujudkan impian, sebab tanpa kendala sebuah
perjuangan—sebagaimana plot sebuah cerita novel—tidaklah seru dan indah. Tanpa
kendala, perjuangan hidup bagaikan sayur tanpa garam. Alangkah hambar dan
monoton hidup semacam itu. Kendala
justru hanya akan menjadi tantangan selama kita tetap fokus pada goal, atau selama kita memfokuskan diri
pada solusi—bukan pada masalah. Selagi kita konsentrasi pada solusi, kita akan
kreatif menemukan cara apa pun yang memungkinkan untuk mengatasi kendala itu.
Sebaliknya, jika kita konsentrasi pada kendala, kita akan selalu berkutat dalam
lingkaran setan kendala itu—dan menjadi pecundang sebelum akhir perjuangan.
Lihatlah
pemain bola. Setiap pemain, dengan goal yang jelas, terobsesi menyarangkan bola ke
gawang lawan. Berbagai kendala
dihadapinya. Dengan keringat bercucuran
atau napas terengah, mereka mengadu
strategi dan skill bermain untuk
saling mengungguli pihak lawan. “Main
kayu” alias bermain kasar pun tak jarang harus mereka jalani, bahkan
kadang-kadang mereka mengalami cedera tertentu.
Mereka tidak cepat menyerah, bahkan semangat harus tetap berkobar dalam
jiwanya. Jatuh bangun ditempuhnya, seakan tanpa keluh kesah. Semua itu mereka
lakukan untuk menghalau setiap kendala dalam permainan. Mereka berkonsentrasi
penuh untuk menaklukkan kendala itu.
Mereka ingin menjadi pemenang, bukan menjadi pecundang.
Dalam
menghadapi setiap kendala, sikap (attitude)
kita jualah yang berperan sangat penting. Untuk mencapai setiap mimpi, kita
perlu membangun sikap positif agar menjadi pemenang. Kita perlu memiliki
pengabdian dan komitmen total serta daya tahan kuat untuk tidak cepat
menyerah. Sikap negatif perlu dibuang
jauh-jauh, karena sikap negatif hanya akan menghancurkan semangat perjuangan—laksana
api yang menghanguskan ranting-ranting kayu. Sikap negatif membuat orang
pesimistik dan menyebabkannya menjadi pecundang, sedangkan sikap positif
membuat orang optimistik dan mencetaknya menjadi pemenang.
Orang-orang
bijak pernah bertutur: “Jika Anda berpikir punya masalah, Anda pasti punya
masalah; jika tidak berpikir demikian, Anda akan merasakan tak punya masalah.”
Kekuatan pikiran dan sikap juga tampak dalam ungkapan indah berikut ini: “Kalau
Anda keras terhadap hidup, maka hidup akan lunak terhadap Anda; sebaliknya, kalau
Anda lunak terhadap
hidup, maka hidup akan sangat keras terhadap Anda.”
Refleksi, Meretas Kemenangan
Sekarang,
marilah kita renungkan rutinitas kita sehari-hari. Di sana barangkali kita temukan (kembali)
permata impian kita yang selama ini tersembunyi, terabaikan, atau lenyap
terkubur. Kita gali (kembali) gudang impian itu, dan kita gambarkan dengan
jelas selagi bermimpi (untuk lebih baik) tidaklah berdosa. Justru dengan impian
kuat, hidup kita menjadi lebih hidup, kreatif, dan bermakna—bukannya seperti
burung yang tak kuasa terbang atau ladang tandus
yang membeku bersama salju.
Dan bila
saatnya tiba kita sukses mewujudkan impian, kita harus memberikan hadiah atau
penghargaan (reward) yang pantas dan
memadai kepada diri sendiri—mulai pujian sampai hadiah materiil: misalnya laptop baru! Tak usah pelit dan
malu-malu. Pahlawan memang seharusnya memperoleh penghargaan dan ganjaran yang
setimpal. Kita rayakan kemenangan itu, dan dengan tulus kita akui bahwa kita
memang layak jadi pemenang!
*Much.
Khoiri adalah Dosen Unesa, Penulis, dan Perintis Jaringan Literasi
Indonesia (Jalindo).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar