Oleh Much. Khoiri
Sabtu
(23/6) cerah ini saya mendapati alangkah indahnya nilai pertemanan seandainya
dapat terjalin (kembali). Ada wajah-wajah baru, ada juga nama-nama baru. Mereka
menambah deretan nama teman saya yang bakal memberikan warna lebih di dalam
kehidupan saya.
Sementara
ini, ada ratusan atau ribuan nama yang menghiasi buku pikiran dan hati saya
selama ini. Mereka telah membuat hidup saya menjadi indah, dinamis, produktif,
kreatif, dan (mudah-mudahan) bermanfaat bagi sesama. Tanpa mereka, saya
bukanlah siapa-siapa dan tak mampu memberikan makna apa pun dalam hidup ini. Saya
ada karena mereka ada. Justru dengan mereka, hidup saya memiliki makna
mendalam.
Meski
demikian, ribuan teman yang telah saya miliki selama ini tidaklah senantiasa
mampu menjadi teman yang sebenarnya. Maklumlah, mereka memang memiliki
kesibukan masing-masing. Mereka juga menjadi hak bagi mereka masing-masing. Tiada
hak bagi saya, atau orang lain, untuk membuat mereka mendekati saya atau merasa
dekat dengan saya dalam berbagai keadaan. Pertemanan kita, dengan berbagai romantika
itu, agaknya akan berlangsung demikian: Pertemanan yang terbayangkan (imagined
frindship). Meski tercatat bahwa saya
berteman dengan ribuan orang, ternyata yang benar-benar menjadi teman
dalam kehidupan saya sehari-hari saat ini tidaklah banyak.
Oleh
karena itu, dengan hadirnya teman-teman baru—dalam PLPG gelombang 3 ini—jumlah
teman saya makin bertambah. Setidaknya, sejak kemarin, sudah bertambahlah teman
saya 33 orang per kelas dan dua kelas—sehingga total 66 orang. Mereka
teman-teman guru (kebanyakan) SMP mapel bahasa Inggris yang telah mengabdi selama
sekurang-kurangnya lima tahun. Mengingat kita memiliki profesi sama sebagai
guru (bahasa Inggris)—dengan catatan, saya disebut dosen (berkat tempat kerja
saya di perguruan tinggi), saya bersyukur bahwa kita berada dalam visi-misi
yang sama. Kita bisa merasakan permasalahan yang sama, bahwa dunia pendidikan
masih harus ditingkatkan kualitasnya. Ibaratnya, we are on the boat.
Teman-teman
baru saya, sepenglihatan saya, mudah-mudahan pribadi-pribadi yang luar biasa dan
punya integritas prima. Tampak sekali (dari roman muka dan sorot mata) mereka bahwa
mereka pribadi yang tegar, kreatif, bersemangat, dinamis, dan gigih
memperebutkan masa depan yang lebih unggul. Saya yakin, jika mereka bergiat
dalam bekerja, dan menginvestasikan nilai plus sedikit saja, mereka akan
memanen hasil yang plus juga kelak.
Saya
yakin, dalam hidup saya, juga saya sampaikan kepada teman-teman guru itu, bahwa
hasil panenan akan bergantung pada bibit yang ditanam atau diinvestasikan. Jika
orang berinvesti uang, dia akan memanen uang. Jika dia berinvestasi waktu,
waktulah yang akan dipanennya. Jika tenaga yang dijadikan investasi, panennya
akan berupa tenaga. Demikian pun kalau dia investasi perhatian, ketekunan,
ketelatenan, kasih sayang, atau cinta.
Hal
ini analog dengan (misalnya) jika orang menanam keburukan. Jika orang menebar
bibit keburukan atau keculasan, sangat mungkin suatu saat kelak juga akan
memanen keburukan atau keculasan dari orang lain, entah lewat orang itu
langsung atau pun lewat orang lain lagi.
Kalau kita misuhi
(mengeluarkan kata-kata kotor) orang, mungkin saja suatu saat kelak akan ada
orang yang misuhi kita, mungkin lewat
orang itu atau orang lain yang tak pernah bersua dengan kita.
Jika
orang mau menanam, dia bolehlah berharap untuk memanen, kendati mungkin panenan
tidak seideal yang diidamkan. Maksudnya, menanam saja belum tentu memberikan
hasil panenan yang bagus—apalagi kalau tidak pernah menanam sama sekali.
Identik dengan hal itu, apa yang diharapkan dari teman-teman saya itu jika
mereka tidak tergerak untuk “bermimpi” menjadi lebih baik, dengan melakukan
hal-hal kecil yang teratur untuk membangun langkah besar? Kesuksesan bukanlah
sesuatu yang dapat dicapai dengan
satu-dua langkah besar, akan tetapi dengan langkah-langkah kecil yang teratur
(atau istiqomah).
Begitulah,
saya berharap 66 teman baru saya ini
akan bergiat menanam waktu, tenaga, pikiran, dan sebagainya untuk kemajuan
pendidikan atau pembelajaran bahasa Inggris di tempat kerja masing-masing.
Bukan itu saja, mereka juga perlu memikirkan kemajuan pembelajaran bahasa
Inggris untuk siswa dengan skala lebih luas.
Dalam
hal ini, teman-teman perlu membangun jaringan (networking) yang solid dan kokoh. Harus ada sistem keorganisasian
yang dirintis dan dibangun: siapa duduk sebagai apa, melakukan apa, kapan,
target apa saja yang hendak diraih, bagaimana mengevaluasi, bagaimana
mengembangkan, dan sebagainya. Organisasi mereka yang “bakal” solid, akan
memungkinkan mereka mampu melakukan –kata Syahrini—“sesuatu” (alhamdulillah
ya). Apakah itu? Jumlahnya bisa banyak.
Salah
satu kegiatan yang bukan mustahil bisa dilakukan adalah jaringan membuat blog.
Jika masing-masing teman baru saya ini
membuat satu blog saja, akan terbit 66 blog yang hebat. Jika setiap hari mereka
menulis satu teks (naratif misalnya) saja, akan muncul 66 teks naratif. Itu
dalam sehari, bayangkan! Bisa dipastikan, dalam sebulan akan terkumpul ratusan
teks yang bisa saling bagi (shared).
Itu sebuah prestasi yang gemilang dan luar biasa. Andaikata mereka berhasil
mengukir sejarah ini!
Bukan
itu saja. Dengan blog itu, forum komunikasi antar teman baru saya akan
berlangsung hangat. Dengan komunikasi hangat antar anggota, banyak yang dapat
dipikirkan, dibagi, dipecahkan, dan dilakukan bersama. Bukan tidak mungkin,
mereka akan mampu merancang untuk menulis buku mereka sendiri. Adalah sebuah
impian saya, bahwa saya memiliki teman-teman guru yang menumbuhkan dan
mengembangkan budaya menulis—mulai dari hal yang paling kecil (remeh) hingga
sesuatu yang dahsyat yang tak pernah dipikirkan atau dirasakan sebelumnya.
Yang
tak kalah penting adalah saling edifikasi. Edifikasi itu proses “mengangkat
status” orang lain secara wajar, yang lazim dilakukan di hadapan hadirin atau
publik. Demikian juga dengan para guru ini. Saya berharap, mereka akan saling
mengedifikasi, di berbagai fora, sehingga mereka akan makin didengar dan
memiliki jaringan yang lebih luas. Secara simultan, hal ini akan memperkuat
jaringan mereka sendiri. Tanpa networking, yang didukung edifikasi satu sama
lain, ibaratnya seorang pemain bola sekelas Ronaldo yang bermain di lapangan
sendirian, tanpa dukungan tim yang kuat. Pasti kalah!
Sejumlah
gagasan tersebut benar-benar (secara tulus) saya titipkan kepada teman-teman
baru saya, agar mereka menindaklanjutinya dengan keyakinan kuat. Pertemanan
ini, mudah-mudahan, memberikan manfaat yang sebanyak-banyaknya—terutama
diarahkan untuk mewujudkan impian yang sangat menawan: menuju atau menjadi
masyarakat (guru) berbudaya menulis.
Melihat
potensi yang mereka miliki—yang terpancar dari sinar mata mereka, juga semangat
kerja yang mereka tunjukkan--, saya menjadi kian yakin bahwa pertemanan ini
bukanlah sebuah kesia-siaan. Saya berharap, mereka menjadi mitra hebat yang
membuat impian saya menjadi kenyataan. Demikian pun, saya juga berharap bahwa
saya menjadi mitra mereka untuk mewujudkan impian-impian mereka.
Saya
yakin pula bahwa pertemanan adalah sebuah kekuatan. It’s the power of friendship—dan itu sudah cukup untuk menaklukkan
berbagai rintangan yang mungkin menghalang di depan. Bukankah pertemanan yang indah sejatinya juga
dilandasi kasih sayang sesama untuk saling memberi dan menerima?***
Kampus
Lidah Wetan,
23
Juni 2012
1 komentar:
ijin quote untuk status di Facebook Pak :D
Posting Komentar