Catatan Much. Khoiri
“Walikota Pontianak, dengan ini
menerangkan, Much. Khoiri, telah melintasi Khatulistiwa di Kota Pontianak,
Kalimantan Barat Indonesia, di atas garis 109o20’00” Bujur Timur
pada hari Sabtu tanggal 09 Maret 2013 jam 15.41 WIB. Walikota Pontianak, H.
Sutarmidji, S.H.M.Hum.”
Sertifikat perlintasan
Khatulistiwa (equator crossing) itu
tertera indah dalam dwibahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, pada kertas
berlatar biru muda dengan ilustrasi kepulauan Indonesia kuning samar-samar. Di
margin kanan-kiri ada ornamen bordir khas Kalimantan, berwarna cokelat dan
merah gelap. Ada garis merah melintang yang di antaranya ada titik merah
sebagai penanda lokasi kota Pontianak. Selain itu, ada gambar Tugu Khatulistiwa
berwarna abu-abu samar yang sejajar dengan ornamen bordir di margin kanan.
Begitulah,
akhirnya saya berkesempatan untuk mengunjungi tugu Khatulistiwa, nama yang
selama ini hanya terukir dan mengendon di dalam ingatan saya tentang pelajaran
Geografi. Kini saya benar-benar hadir di sini, menyaksikan, mengambil gambar,
menyentuh, menikmati berlama-lama, atau mengeja foto-foto dan dokumen yang
terpajang di dinding kubah besar tugu ini.
Ya, itulah
tugu Khatulistiwa. Di tugu ini pada tengah hari setiap tahunnya tanggal 23
Maret dan 23 September benda-benda tegak lainnya yang berada di sekitar tugu
Khatulistiwa tidak ada bayangannya. Benda berdiri tanpa bayangan! Hal ini
menunjukkan bahwa tugu Khatulistiwa terletak tepat pada garis lintang nol
derajat.
Belum lagi menemui
23 Maret saja udara di sini begitu gerah alias panas. Bisa dibayangkan
bagaimana gerahnya jika tanggal itu tiba. Bisa jadi para penjual degan alias
kelapa muda di seputar lokasi tugu bisa laris manis. Termasuk para penjual
minuman lain, tentunya. Sekarang pun menyeruput degan sambil menikmati
kemegahan tugu, sungguh nikmat rasanya.
By the way, bentuk tugu yang terlihat kini
ternyata menyimpan sejarahnya sendiri. Menurut informasi yang berhasil digali,
tugu ini dibangun bertahap. Tugu pertama dibangun tahun 1928 berbentuk tonggak
dengan tanda panah. Tahun 1930 ia dikemas menjadi berbentuk tonggak dengan
lingkaran dan tanda panah.
Tahun 1938
tugu asli dibangun kembali dengan penyempurnaan oleh arsitek Silaban dengan ukuran sebagai berikut:
Bangunan tugu terdiri atas 4 buah tonggak belian (kayu besi atau kayu ulin) berdiameter
masing-masing 0,30 m, dengan tonggak depan sebanyak 2 buah setinggi 3,05 m dari
permukaan tanah, dan tonggak belakang tempat lingkaran dan anak panah petunjuk
arah setinggi 4,40 m.
Kemudian
tahun 1990-1991 tugu itu direnovasi dengan pembuatan kubah dan duplikat atau
replika tugu Khatulistiwa dengan ukuran 5 kali lebih besar dari tugu asli. Dua
buah tonggak depan berdiameter 1,5 m dengan tinggi 15,25 m; dan dua buah
tonggak belakang tempat lingkaran dan anak panah penunjuk arah berdiameter 1,5
m dengan ketinggian 22 meter, panjang anak panah 10,75 m. Pada 21 September
1991 bangunan ini diresmikan gubernur Kalimantan Barat, Pardjoko Suryokusumo.
Simbol berupa
anak panah menunjukkan arah utara-selatan (lintang 0 derajat). Simbol plat
lingkaran bertuliskan AVENAAR (bahasa Belanda, yang artinya Khatulistiwa)
menunjukkan belahan garis khatulistiwa atau batas utara dan selatan. Sedangkan
plat di bawah arah panah tertulis 109o20’00” OLVGR menunjukkan,
garis khatulistiwa di kota Pontianak bertepatan dengan 109o garis
bujur timur 20 menit 00 detik GMT.
Terakhir,
pada Maret 2005 posisi Tugu Khatulistiwa dikoreksi kembali oleh tim Badan
Pengkajian Penerapan Teknologi yang bekerja-sama dengan Pemkot Pontianak. Ada
perbedaan pengukuran satelit dengan pengukuran astronomi (ilmu falaq). Namun,
perbedaan itu diterima berbagai pihak untuk saling melestarikan aset sangat
berharga ini.
Begitulah,
saya sempat “terpanggang” di daerah garis Khatulistiwa, yakni garis yang
membentang melingkar dan membelah bumi menjadi dua belahan persis sama—belahan
utara dan belahan selatan. Selain Pontianak, garis Khatulistiwa melewati kota
Sekadau, Nanga Dedai, dan beberapa provinsi di Indonesia: Sumatera Barat, Riau,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Irian Jaya.
Sementara
itu, garis Khatulistiwa juga melintasi 5 negara di benua Afrika, yakni Gabon,
Zaire, Uganda, Kenya, dan Somalia. Di Amerika Latin garis Khatulistiwa
melintasi 4 negara, yakni Equador, Peru, Colombia, dan Brazil. Saya bayangkan
sekarang saya melesat ke setiap daerah garis Khatulistiwa di muka bumi ini, dan
menemukan alangkah kerdilnya saya menapakkan kaki di atasnya.
Di atas saya
implisitkan hari kulminasi atau ekinoks matahari, yakni hari ketika matahari
tepat berada di atas Khatulistiwa. Selama satu tahun metahari mengalami dua
kali Ekinoks—tanggal 21 Maret dan 23 September. Semua ini akibat gerak semu
matahari, yang seolah-olah bergerak sepanjang tahun terhadap bumi dari arah
utara menuju selatan. Bukankah bumi melakukan dua gerakan sekaligus: berotasi
pada sumbunya dan berevolusi terhadap matahari?
Apa pengaruh
ekinoks matahari bagi atmosfir Indonesia? Negeri ini terletak di Khatulistiwa
(7o LU hingga 10oLS). Sementara itu, ekinoks matahari
terjadi dua kali di wilayah Indonesia, tepatnya di Pontianak dan daerah lain
yang terletak persis di garis Khatulistiwa. Akhirnya, negeri ini menerima
energi matahari yang melimpah ruah sepanjang tahun.
Energi panas
ini selanjutnya digunakan untuk menggerakkan atmosfir secara global ke seluruh
dunia. Indonesia merupakan salah satu dari tiga wilayah Khatulistiwa yang
menjadi pusat pertumbuhan awan dan pembentukan hujan seluruh dunia. Selain itu,
Indonesia juga wilayah yang memiliki curah hujan tinggi.
Dalam
penelitian Bayong Tyasyono (2006), 70 persen hujan di dunia turun di
khatulistiwa. Tiga wilayah penting di dunia, di mana atmosfirnya mengalami
konveksi (pemanasan dan pembentukan awan di atmosfir) sangat aktif adalah
Indonesia, Afrika Tengah, dan Amerika Selatan.
Selain itu,
ekinoks juga berpengaruh langsung pada pola curah hujan di Pontianak, yang
secara umum berbeda dengan pola curah hujan di wilayah Indonesia. Wilayah di
Indonesia umumnya mengalami satu puncak curah hujan, yakni Desember atau
Januari. Sementara itu, Pontianak mengalami dua puncak curah hujan, yakni Maret
dan November.
Begitu
pentingnya tugu Khatulistiwa ini sehingga siapapun yang melintasinya perlu
diberi sertifikat “equator crossing” segala. Ah, ternyata di balik sertifikat
itu tertulis kronologi pembangunan Tugu Khatulistiwa dalam dwibahasa (bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris). Sebuah apresiasi dan penghargaan akan kepedulian
terhadap daerah yang secara geografis diperhitungkan dalam percaturan musim dunia.
Pontianak, 10
Maret 2013
Much. Khoiri
Merintis Mimpi Lintas
Generasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar