It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

14 Maret 2013

MELINTASI KHATULISTIWA


Catatan Much. Khoiri

“Walikota Pontianak, dengan ini menerangkan, Much. Khoiri, telah melintasi Khatulistiwa di Kota Pontianak, Kalimantan Barat Indonesia, di atas garis 109o20’00” Bujur Timur pada hari Sabtu tanggal 09 Maret 2013 jam 15.41 WIB. Walikota Pontianak, H. Sutarmidji, S.H.M.Hum.”


Sertifikat perlintasan Khatulistiwa (equator crossing) itu tertera indah dalam dwibahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, pada kertas berlatar biru muda dengan ilustrasi kepulauan Indonesia kuning samar-samar. Di margin kanan-kiri ada ornamen bordir khas Kalimantan, berwarna cokelat dan merah gelap. Ada garis merah melintang yang di antaranya ada titik merah sebagai penanda lokasi kota Pontianak. Selain itu, ada gambar Tugu Khatulistiwa berwarna abu-abu samar yang sejajar dengan ornamen bordir di margin kanan.

Begitulah, akhirnya saya berkesempatan untuk mengunjungi tugu Khatulistiwa, nama yang selama ini hanya terukir dan mengendon di dalam ingatan saya tentang pelajaran Geografi. Kini saya benar-benar hadir di sini, menyaksikan, mengambil gambar, menyentuh, menikmati berlama-lama, atau mengeja foto-foto dan dokumen yang terpajang di dinding kubah besar tugu ini.

Ya, itulah tugu Khatulistiwa. Di tugu ini pada tengah hari setiap tahunnya tanggal 23 Maret dan 23 September benda-benda tegak lainnya yang berada di sekitar tugu Khatulistiwa tidak ada bayangannya. Benda berdiri tanpa bayangan! Hal ini menunjukkan bahwa tugu Khatulistiwa terletak tepat pada garis lintang nol derajat.

Belum lagi menemui 23 Maret saja udara di sini begitu gerah alias panas. Bisa dibayangkan bagaimana gerahnya jika tanggal itu tiba. Bisa jadi para penjual degan alias kelapa muda di seputar lokasi tugu bisa laris manis. Termasuk para penjual minuman lain, tentunya. Sekarang pun menyeruput degan sambil menikmati kemegahan tugu, sungguh nikmat rasanya.

By the way, bentuk tugu yang terlihat kini ternyata menyimpan sejarahnya sendiri. Menurut informasi yang berhasil digali, tugu ini dibangun bertahap. Tugu pertama dibangun tahun 1928 berbentuk tonggak dengan tanda panah. Tahun 1930 ia dikemas menjadi berbentuk tonggak dengan lingkaran dan tanda panah.

Tahun 1938 tugu asli dibangun kembali dengan penyempurnaan oleh arsitek Silaban dengan ukuran sebagai berikut: Bangunan tugu terdiri atas 4 buah tonggak belian (kayu besi atau kayu ulin) berdiameter masing-masing 0,30 m, dengan tonggak depan sebanyak 2 buah setinggi 3,05 m dari permukaan tanah, dan tonggak belakang tempat lingkaran dan anak panah petunjuk arah setinggi 4,40 m.

Kemudian tahun 1990-1991 tugu itu direnovasi dengan pembuatan kubah dan duplikat atau replika tugu Khatulistiwa dengan ukuran 5 kali lebih besar dari tugu asli. Dua buah tonggak depan berdiameter 1,5 m dengan tinggi 15,25 m; dan dua buah tonggak belakang tempat lingkaran dan anak panah penunjuk arah berdiameter 1,5 m dengan ketinggian 22 meter, panjang anak panah 10,75 m. Pada 21 September 1991 bangunan ini diresmikan gubernur Kalimantan Barat, Pardjoko Suryokusumo.

Simbol berupa anak panah menunjukkan arah utara-selatan (lintang 0 derajat). Simbol plat lingkaran bertuliskan AVENAAR (bahasa Belanda, yang artinya Khatulistiwa) menunjukkan belahan garis khatulistiwa atau batas utara dan selatan. Sedangkan plat di bawah arah panah tertulis 109o20’00” OLVGR menunjukkan, garis khatulistiwa di kota Pontianak bertepatan dengan 109o garis bujur timur 20 menit 00 detik GMT.

Terakhir, pada Maret 2005 posisi Tugu Khatulistiwa dikoreksi kembali oleh tim Badan Pengkajian Penerapan Teknologi yang bekerja-sama dengan Pemkot Pontianak. Ada perbedaan pengukuran satelit dengan pengukuran astronomi (ilmu falaq). Namun, perbedaan itu diterima berbagai pihak untuk saling melestarikan aset sangat berharga ini.

Begitulah, saya sempat “terpanggang” di daerah garis Khatulistiwa, yakni garis yang membentang melingkar dan membelah bumi menjadi dua belahan persis sama—belahan utara dan belahan selatan. Selain Pontianak, garis Khatulistiwa melewati kota Sekadau, Nanga Dedai, dan beberapa provinsi di Indonesia: Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Irian Jaya.

Sementara itu, garis Khatulistiwa juga melintasi 5 negara di benua Afrika, yakni Gabon, Zaire, Uganda, Kenya, dan Somalia. Di Amerika Latin garis Khatulistiwa melintasi 4 negara, yakni Equador, Peru, Colombia, dan Brazil. Saya bayangkan sekarang saya melesat ke setiap daerah garis Khatulistiwa di muka bumi ini, dan menemukan alangkah kerdilnya saya menapakkan kaki di atasnya.

Di atas saya implisitkan hari kulminasi atau ekinoks matahari, yakni hari ketika matahari tepat berada di atas Khatulistiwa. Selama satu tahun metahari mengalami dua kali Ekinoks—tanggal 21 Maret dan 23 September. Semua ini akibat gerak semu matahari, yang seolah-olah bergerak sepanjang tahun terhadap bumi dari arah utara menuju selatan. Bukankah bumi melakukan dua gerakan sekaligus: berotasi pada sumbunya dan berevolusi terhadap matahari?

Apa pengaruh ekinoks matahari bagi atmosfir Indonesia? Negeri ini terletak di Khatulistiwa (7o LU hingga 10oLS). Sementara itu, ekinoks matahari terjadi dua kali di wilayah Indonesia, tepatnya di Pontianak dan daerah lain yang terletak persis di garis Khatulistiwa. Akhirnya, negeri ini menerima energi matahari yang melimpah ruah sepanjang tahun.

Energi panas ini selanjutnya digunakan untuk menggerakkan atmosfir secara global ke seluruh dunia. Indonesia merupakan salah satu dari tiga wilayah Khatulistiwa yang menjadi pusat pertumbuhan awan dan pembentukan hujan seluruh dunia. Selain itu, Indonesia juga wilayah yang memiliki curah hujan tinggi.

Dalam penelitian Bayong Tyasyono (2006), 70 persen hujan di dunia turun di khatulistiwa. Tiga wilayah penting di dunia, di mana atmosfirnya mengalami konveksi (pemanasan dan pembentukan awan di atmosfir) sangat aktif adalah Indonesia, Afrika Tengah, dan Amerika Selatan.

Selain itu, ekinoks juga berpengaruh langsung pada pola curah hujan di Pontianak, yang secara umum berbeda dengan pola curah hujan di wilayah Indonesia. Wilayah di Indonesia umumnya mengalami satu puncak curah hujan, yakni Desember atau Januari. Sementara itu, Pontianak mengalami dua puncak curah hujan, yakni Maret dan November.

Begitu pentingnya tugu Khatulistiwa ini sehingga siapapun yang melintasinya perlu diberi sertifikat “equator crossing” segala. Ah, ternyata di balik sertifikat itu tertulis kronologi pembangunan Tugu Khatulistiwa dalam dwibahasa (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris). Sebuah apresiasi dan penghargaan akan kepedulian terhadap daerah yang secara geografis diperhitungkan dalam percaturan musim dunia.

Pontianak, 10 Maret 2013
Much. Khoiri         
Merintis Mimpi Lintas Generasi

Tidak ada komentar: