It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

19 Maret 2013

OTEWE


Pengantar: Berikut ini saya bagikan tulisan saya yang dimuat di rubrik 'Horizon' harian Radar Surabaya pada Minggu 17 Maret 2013. Selamat membaca. (mk)
**** 
Much. Khoiri

Otewe merujuk ke pembacaan atas tiga-huruf “otw” dengan kepanjangan “on the way” (dibaca: ondewei)—artinya (masih) di jalan. Otewe sendiri secara pragmatis belakangan ini agaknya telah mengalami pergeseran makna dan fungsi.


Lugasnya, otewe dimaknai sebagai (masih) di jalan, menuju tujuan tertentu yang ditargetkan. Ketika seseorang ditanya lewat telepon ke mana atau di mana, si penerima menjawab (dengan mengenakan head-set-nya) bahwa dia masih di jalan, mungkin menuju ke rumah yang menelepon atau ke tempat lain yang tak perlu diungkap di sini.

Fungsinya untuk mengabarkan dia berada di perjalanan, TIDAK sedang berbelanja di pasar, duduk-duduk di beranda, makan patin tim di resto ikan segar, atau bertakziyah (melayat) di tetangga mepet rumah. Ini murni untuk memberi kabar keberadaannya: Sedang di jalan. Netral, lugas, dan tidak konotatif.

Sekarang, masihkah makna dan fungsi lugas semacam itu tidak mengalami pergeseran, baik sebagian maupun seluruhnya?  Tentu saja, masih ada dan banyak orang yang menggunakan frase otewe untuk menyatakan maksud sebenarnya, tanpa bermain-main makna dan fungsi.

Namun, di balik semua itu, ada kalangan yang telah menjalankan praktik permainan wacana (language game), yang secara pragmatis menggeser makna dan fungsi frase otewe itu sesuai hasratnya, untuk menyembunyikan “ideologi” tertentu agar tidak terungkap kebenarannya.

Yang paling banyak, tentu muncul di layar-layar gadget Anda. Semula otewe muncul dalam bentuk “es-em-es”. Ketika blackberry menyapa atau mengendon di saku Anda, setiap saat otewe juga menyelinap di layar pribadi dan grup BBM Anda. Belakangan otewe tak asing lagi menghiasi tablet Anda.

Di samping itu, otewe juga tak jarang meluncur dalam percakapan telepon dengan sesama. Frase itu seakan begitu enteng keluar begitu saja, hampir tiada filter yang membuatnya tertunda. Otewe seakan sudah ada templet-nya di dasar otak kita, tinggal copy-paste belaka untuk menggunakannya.

Begitulah, makna dan fungsi otewe agaknya sudah bergeser. Otewe dalam dunia ide tampaknya tidak lagi berkedudukan sebagai entitas netral dan statis, melainkan entitas dinamis, provokatif, dan hegemonik. Otewe sudah diseret ke dalam permainan wacana yang dimanipulasi oleh pemakainya.

Betapa tidak, otewe sudah kerap difungsikan sebagai kilah (excuse) atas keterlambatan, dengan harapan agar tetap dimaklumi kondisinya. Misalnya, mahasiswa yang akan terlambat (akibat macet), agar tidak disemprot dosen, dikirimkan-lah pesan otewe lewat ponsel atau BBM-nya. Jika hal itu terkesan bukan kesengajaan, amat boleh jadi sang dosen memaklumnya.

Misalnya juga, pacar Anda mungkin akan memahami pesan otewe berisyarat di ponselnya ketika Anda mengirimkan pesan itu selagi terjebak kemacetan atau pura-pura terlambat akibat mengantarkan kenalan baru. Otewe bisa membius pacar Anda seakan-akan semuanya benar.

Sebaliknya, seorang atasan mungkin akan ber-otewe untuk memaklumkan bahwa dirinya akan terlambat. Dengan pesan otewe, dia merasa lega (relieved) karena anak-buahnya akan menunggu (setidaknya) tanpa mengumpat di dalam hati.

Nah, orang begitu mudah menulis atau mengucap otewe, meski yang bersangkutan mungkin baru keluar rumah dan akan berangkat ke kantor. Tak peduli jarak ke tujuan, otewe jadi andalan. Jika ditanya “Sampai mana?”, barulah makna otewe menjadi jelas. Namun, jika tanpa ada pertanyaan itu, jarak otewe sangatlah relatif dan tak definitif.

Hanya dengan pesan otewe, si penerima mungkin berpersepsi bahwa si pengirim pesan sudah berada di jalan—sebutlah separuh, tiga perempat, atau delapan puluh persen perjalanan. Andaikata timbul persepsi lain, setidaknya pesan otewe sudah mampu menembel kekecewaan.

Otewe kini memiliki ruang yang luas untuk digunakan oleh orang dari strata berbeda-beda. Otewe menjadi akrab dalam pergaulan, dan nyaman terdengar di telinga. Terlebih, di tengah metropolitan yang rawan kemacetan, situasi  sumpek bisa meniscayakan penggunaan otewe sebagai excuse.

Padahal, jika didalami, semua itu tak jarang semata permainan wacana, dan setiap permainan wacana dalam komunikasi selalu menguntungkan siapa yang memanipulasi permainan wacana itu. Di sana dia sejatinya telah memenangkan tarung kuasa, sambil menyembunyikan kekurangan diri.

Akankah penggunaan istilah otewe kelak akan mengalami pergeseran balik? Para sosiolinguis tentu akan memaparkannya berdasarkan fenomena pergeseran dan pemertahanan bahasa (language shift and maintenance). Para pemerhati Kajian Budaya mungkin akan menggali “ideologi tersembunyi” di balik permainan wacana itu.

Sementara itu, komunitas pengguna otewe akan menikmati kenyamanan ber-otewe ria hingga suatu saat terjadi kejenuhan dan ketidakpercayaan diri. Tidak usah terlalu direpotkan; dijalani saja. Otewe hanya sepersekian butir debu fenomena yang terhampar di atas bumi ini. O ya, by the way, tulisan ini juga saya buat selagi otewe pulang kerja.***

Tidak ada komentar: