Pengantar: Berikut ini saya bagikan tulisan saya yang dimuat di rubrik 'Horizon' harian Radar Surabaya pada Minggu 17 Maret 2013. Selamat membaca. (mk)
****
Much. Khoiri
Otewe
merujuk ke pembacaan atas tiga-huruf “otw” dengan kepanjangan “on the way”
(dibaca: ondewei)—artinya (masih) di jalan. Otewe sendiri secara pragmatis
belakangan ini agaknya telah mengalami pergeseran makna dan fungsi.
Lugasnya,
otewe dimaknai sebagai (masih) di jalan, menuju tujuan tertentu yang
ditargetkan. Ketika seseorang ditanya lewat telepon ke mana atau di mana, si
penerima menjawab (dengan mengenakan head-set-nya)
bahwa dia masih di jalan, mungkin menuju ke rumah yang menelepon atau ke tempat
lain yang tak perlu diungkap di sini.
Fungsinya
untuk mengabarkan dia berada di perjalanan, TIDAK sedang berbelanja di pasar,
duduk-duduk di beranda, makan patin tim di resto ikan segar, atau bertakziyah
(melayat) di tetangga mepet rumah. Ini murni untuk memberi kabar keberadaannya:
Sedang di jalan. Netral, lugas, dan tidak konotatif.
Sekarang,
masihkah makna dan fungsi lugas semacam itu tidak mengalami pergeseran, baik
sebagian maupun seluruhnya? Tentu saja,
masih ada dan banyak orang yang menggunakan frase otewe untuk menyatakan maksud
sebenarnya, tanpa bermain-main makna dan fungsi.
Namun,
di balik semua itu, ada kalangan yang telah menjalankan praktik permainan
wacana (language game), yang secara
pragmatis menggeser makna dan fungsi frase otewe itu sesuai hasratnya, untuk
menyembunyikan “ideologi” tertentu agar tidak terungkap kebenarannya.
Yang
paling banyak, tentu muncul di layar-layar gadget Anda. Semula otewe muncul
dalam bentuk “es-em-es”. Ketika blackberry menyapa atau mengendon di saku Anda,
setiap saat otewe juga menyelinap di layar pribadi dan grup BBM Anda.
Belakangan otewe tak asing lagi menghiasi tablet Anda.
Di
samping itu, otewe juga tak jarang meluncur dalam percakapan telepon dengan
sesama. Frase itu seakan begitu enteng keluar begitu saja, hampir tiada filter
yang membuatnya tertunda. Otewe seakan sudah ada templet-nya di dasar otak kita,
tinggal copy-paste belaka untuk menggunakannya.
Begitulah,
makna dan fungsi otewe agaknya sudah bergeser. Otewe dalam dunia ide tampaknya
tidak lagi berkedudukan sebagai entitas netral dan statis, melainkan entitas
dinamis, provokatif, dan hegemonik. Otewe sudah diseret ke dalam permainan
wacana yang dimanipulasi oleh pemakainya.
Betapa
tidak, otewe sudah kerap difungsikan sebagai kilah (excuse) atas keterlambatan, dengan harapan agar tetap dimaklumi
kondisinya. Misalnya, mahasiswa yang akan terlambat (akibat macet), agar tidak
disemprot dosen, dikirimkan-lah pesan otewe lewat ponsel atau BBM-nya. Jika hal
itu terkesan bukan kesengajaan, amat boleh jadi sang dosen memaklumnya.
Misalnya
juga, pacar Anda mungkin akan memahami pesan otewe berisyarat di ponselnya
ketika Anda mengirimkan pesan itu selagi terjebak kemacetan atau pura-pura
terlambat akibat mengantarkan kenalan baru. Otewe bisa membius pacar Anda
seakan-akan semuanya benar.
Sebaliknya,
seorang atasan mungkin akan ber-otewe untuk memaklumkan bahwa dirinya akan
terlambat. Dengan pesan otewe, dia merasa lega (relieved) karena anak-buahnya akan menunggu (setidaknya) tanpa mengumpat
di dalam hati.
Nah,
orang begitu mudah menulis atau mengucap otewe, meski yang bersangkutan mungkin
baru keluar rumah dan akan berangkat ke kantor. Tak peduli jarak ke tujuan,
otewe jadi andalan. Jika ditanya “Sampai mana?”, barulah makna otewe menjadi
jelas. Namun, jika tanpa ada pertanyaan itu, jarak otewe sangatlah relatif dan
tak definitif.
Hanya
dengan pesan otewe, si penerima mungkin berpersepsi bahwa si pengirim pesan
sudah berada di jalan—sebutlah separuh, tiga perempat, atau delapan puluh
persen perjalanan. Andaikata timbul persepsi lain, setidaknya pesan otewe sudah
mampu menembel kekecewaan.
Otewe
kini memiliki ruang yang luas untuk digunakan oleh orang dari strata
berbeda-beda. Otewe menjadi akrab dalam pergaulan, dan nyaman terdengar di
telinga. Terlebih, di tengah metropolitan yang rawan kemacetan, situasi sumpek bisa meniscayakan penggunaan otewe
sebagai excuse.
Padahal,
jika didalami, semua itu tak jarang semata permainan wacana, dan setiap permainan
wacana dalam komunikasi selalu menguntungkan siapa yang memanipulasi permainan
wacana itu. Di sana dia sejatinya telah memenangkan tarung kuasa, sambil
menyembunyikan kekurangan diri.
Akankah
penggunaan istilah otewe kelak akan mengalami pergeseran balik? Para
sosiolinguis tentu akan memaparkannya berdasarkan fenomena pergeseran dan
pemertahanan bahasa (language shift and
maintenance). Para pemerhati Kajian Budaya mungkin akan menggali “ideologi
tersembunyi” di balik permainan wacana itu.
Sementara
itu, komunitas pengguna otewe akan menikmati kenyamanan ber-otewe ria hingga
suatu saat terjadi kejenuhan dan ketidakpercayaan diri. Tidak usah terlalu
direpotkan; dijalani saja. Otewe hanya sepersekian butir debu fenomena yang
terhampar di atas bumi ini. O ya, by the
way, tulisan ini juga saya buat selagi otewe pulang kerja.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar