Oleh MUCH. KHOIRI
Dari mana datangnya inspirasi (ilham) menulis? Apakah hadir
secara kebetulan sebagai gejala alam, atau sengaja dihadirkan? Ataukah
inspirasi harus direbut dan diperjuangkan agar ia membuat kita menulis sesuatu?
Tak sedikit orang yang mengaku “mencari inspirasi”, dengan
berjalan di mal, naik bus ke berbagai daerah, menyaksikan demonstrasi,
mengamati bencana alam, semedi di dalam goa, dan sebagainya. Mereka mengira, di
sanalah mereka akan menemukan inspirasi yang pantas untuk ditulis.
Namun, sejatinya, apakah inspirasi memang tersedia di mal,
daerah pinggiran, area demonstrasi, lokasi bencana, goa, atau tempat lain?
Buatlah daftar tempat sesuai dengan selera Anda. Lalu, jawablah apakah
inspirasi ada di sana dan Anda tinggal memungutnya?
Mungkin Anda menjawab, inspirasi itu Anda temukan di sana.
Namun, sebenarnya tidak! Inspirasi tumbuh dalam diri Anda bukan pada lokasi
kosong tanpa pengetahuan Anda sebelumnya. Tempat-tempat itu hanya sebagai
lokasi tumbuhnya inspirasi, tempat terpicunya pengetahuan lama oleh pengetahuan
baru untuk mewujudkan suatu entitas baru.
Mengapa demikian? Inspirasi bisa tumbuh dalam diri Anda karena
Anda telah memiliki gugusan pengetahuan lama (prior knowledge) yang kemudian
dipicu (triggered) oleh suatu
pengetahuan baru—yang diperoleh dengan melihat, mendengar, meraba, mengecap,
mencium, memikirkan, atau merasakan suatu objek personal dan impersonal.
Sementara itu, pengetahuan lama (prior knowledge) itu telah
Anda peroleh dengan melihat, mendengar, meraba, mengecap, mencium, memikirkan,
atau merasakan suatu objek personal dan impersonal pada waktu sebelumnya. Ada
perbendaharaan pengetahuan lama yang telah menyatu dengan Anda—dan akan
bertambah dari waktu ke waktu.
Semakin banyak pengetahuan lama, semakin besar kemungkinan
untuk tumbuhnya inspirasi tatkala dipicu oleh suatu pengetahuan baru. Dengan
demikian, luasnya pengetahuan lama berbanding lurus dengan cepatnya pertumbuhan
inspirasi. Maka, orang yang sulit menangkap inspirasi bisa disebabkan kurangnya
wawasan.
Jelasnya, ketika Anda menangkap inspirasi untuk menulis
tentang Borobudur, Anda pastilah sudah punya simpanan wawasan tentang Borobudur
atau candi-candi sejenis sebelum inspirasi itu tumbuh. Mustahil Anda mulai dari
lahan pikiran yang kosong! Sementara itu, aktivitas Anda mendengar, membaca
atau mendatangi candi itu menjadi pemicu bangkitnya simpanan wawasan terdahulu
dan mewujud menjadi inspirasi baru.
Dengan demikian, agar mudah menumbuhkan inspirasi, Anda
wajib memiliki wawasan luas. Sementara, keluasan wawasan hanya bisa dipenuhi
dengan banyak “membaca” dalam arti luas—tidak hanya membaca teks, melainkan
juga membaca konteks.
Untuk menjadi penulis baik, Anda harus menjadi pembaca yang
baik, yang memiliki reading habit
yang baik pula. Bacaannya banyak dan bervariasi: buku, majalah, jurnal,
koran—dan kehidupan. Dengan sendirinya Anda memiliki akumulasi pengetahuan dan
informasi memadai; oleh karena itu, Anda berwawasan luas.
Saat wawasan Anda luas, latar pengetahuan Anda memungkinkan
Anda peka terhadap isu-isu kehidupan yang berkelebat dalam masyarakat. Dalam
kondisi ini, menemukan ide bukan lagi suatu masalah. Anda tidak repot menemukan
ide, namun justru repot kapan menuangkan antrean ide-ide itu ke dalam bentuk tulisan.
Memang, tak bisa dimungkiri, ada kalanya inpirasi itu suatu
keajaiban—yang begitu saja menggoda dalam benak seseorang. Namun, jika dia
tidak memiliki wawasan luas, boleh jadi inspirasi itu tidak bisa diakomodasi
oleh akalnya sehingga bisa terbentuk menjadi sebuah karya. Kemacetan menulis
bisa disebabkan oleh kondisi semacam ini.
Jika Anda berjalan di mal, naik bus ke berbagai daerah,
menyaksikan demonstrasi, mengamati bencana alam, semedi di dalam goa, dan
sebagainya; semua ini hanyalah untuk memicu simpanan wawasan yang telah Anda
pahami dan hayati sebelumnya. Jadi, prinsipnya tetap, Anda harus berwawasan
luas dengan rajin membaca.
Yang menarik, inspirasi itu tansendental—melintas ruang dan
waktu. Amat boleh jadi Tuhan, lewat malaikat-malaikat-Nya, membagikan bibit
inspirasi (ide) ke berbagai penjuru bumi. Maka, di luar pengetahuan Anda,
mungkin ada orang Amerika, Inggris, atau Thailand yang memikirkan dan menulis
topik sama pada waktu sama.
Selain itu, juga amat boleh jadi, Anda menulis mendapat inspirasi
topik yang sama dengan suatu karya ratusan tahun silam meski Anda belum pernah
membaca karya itu. Saya yakin hal ini, karena saya pernah mengalaminya. Cerpen
saya “Obsession” memiliki cerita yang mirip dengan salah satu cerpen Ernest
Hemingway “The End of Something”, dan hampir sama dengan sebuah film—padahal
sebelumnya saya tidak pernah “membaca” karya-karya itu.
Begitulah, membaca
teks dan konteks merupakan prasyarat penting bagi terbangunnya wawasan luas,
tempat benih-benih inspirasi memungkinkan tumbuh. Karena itu, bacalah, bacalah,
dan bangunlah gudang wawasan atau ladang pengetahuan—agar pengetahuan baru Anda
memantik inspirasi-inspirasi.
Perbanyaklah
“membaca” dan kobarkan api inspirasi Anda. Jangan pernah bermimpi untuk
berhenti membaca; karena hal itu akan meredupkan atau bahkan memadamkan api
inspirasi. Jika api inspirasi itu padam, pupuslah harapan untuk menjadi penulis
yang baik.
Singkatnya, inspirasi
itu bisa dikonstruksi, diciptakan, atau dikondisikan. Jangan hanya menunggu
inspirasi turun dari langit atau muncrat dari perut bumi. Kata orang bijak, “If you wait for inspiration, you're not a
writer, but a waiter.” (Jika Anda menunggu inspirasi, Anda bukanlah
penulis, melainkan seorang penunggu.)
Gresik, 13 Juli 2013.
Copyrights@Much. Khoiri, 2013.
Copyrights@Much. Khoiri, 2013.
1 komentar:
Inspirasi saya sudah berkobar-kobar. Tapi belum bisa membakar. Terimakasih telah "ngububi" Mas Much. Khoiri
Posting Komentar