Much.
Khoiri
Kawan,
pernahkah engkau menunaikan shalat tidak khusyu dan dalam kalbu yang tidak
berdzikir? Setiap hari engkau terbang ke sana kemari. Pagi di Jakarta, siang
sedikit di Surabaya, menjelang sore di Balikpapan, malam sudah di Jakarta
kembali, dan begitu seterusnya. Ah, semoga engkau dijauhkan dari shalat yang
tak disertai kalbu berdzikir...
Bagiku
sendiri, shalat dan berdoa sepenuh kalbu teramat sulit. Selama bertahun-tahun
aku telah bershalat-berdoa, namun aku belum mengalami kekhusyu’an yang purna.
Aku selalu sibuk urusan kantor ini dan itu, demi menyambung hidup keluarga di
tengah kota yang kian buas. Urusan dunia ini begitu kokoh menjeratku sehingga
aku tak berdaya dan rela menjadi budaknya. Dalam bahasa Guruku, shalat tak
khusyu itu akibat iblis laknatullah yang masih bersarang dalam kalbu.
Dalam
kondisi biasa, aku masih rutin shalat lalu berdoa dengan khusyu’ dan tawadlu’
(ini pun menurut perasaanku). Namun, bila kantorku makin sibuk, dan berbagai deadline terus mengejar, apalagi saat
berdinas ke luar-kota, shalatku belang-belang dan bolong-blong. Menyempatkan
shalat hanya beberapa menit saja, terasa eman sekali. Menjamak dan meng-qasar
shalat, seringkali, juga terlepas. Ketika aku mesti menghadiri rapat-rapat bertaraf
nasional, apalagi?
Padahal, saya sejatinya sadar
sesadar-sadarnya, bahwa shalat khusyu' –sebagaimana yg diwejangkan Guruku—itu
harus dilakukan dengan kalbu yang dzikir, yakni kalbu yang sudah dibiasakan
untuk berdzikir siang malam. Kalbu yang berdzikir itu syarat mutlak bagi
tegaknya (bukan sekadar melaksanakan!) shalat khusyu’. Wadzakarasma rabbini fashalla (Dan dzikirlah akan Tuhanmu dan
tegakkanlah shalat. QS.Al-A’la: 15).
Mengapa demikian? Kalbu yang dzikir
itu berada dalam dimensi pancaran nur (nurun
‘alannuurin) yang sangat halus, dan hanya dimensi inilah yang
berkemungkinan untuk bersentuhan dan berpadu dengan pancaran nur Allah.
Artinya, orang yang kalbunya selalu berdizikir, dia memiliki frekwensi yang
dapat menangkap frekwensi nur/rohaniah Allah.
Dalam kondisi demikian, semakin
hilang hijab atau penghalang orang dengan Allah--dalam bahasa sederhana, dia
bisa berkomunikasi rohaniah dengan Allah. Itulah sebabnya orang yang khusyu'
shalatnya sangat menikmati shalatnya, dan akan berlama-lama dalam shalatnya,
akibat kenikmatan yang dia peroleh dengan komunikasi dan audiensi dengan Allah.
Ya Allah, kapankah Engkau limpahkan kesempatan untukku untuk berlama-lama dalam
shalat dan menikmati persuaan dengan-Mu?
Kawan,
Guruku pernah bilang, selagi manusia masih punya hijab atau penghalang dalam
berhubungan-rohaniah dengan Tuhan, ia pastilah sulit berintim-intim dengan-Nya.
Hijab itu gunung baja. Jangankan berintim-intim, ber-audensi rohaniah secara
langsung, menyentuh sebintik roh-kudus-Nya saja pun mustahil. Padahal, kukira,
orang yang ingin dikabulkan doa-doanya, ia mutlak harus berada dalam naungan
roh-kudus-Nya yang agung suatu pancaran dari Empunya segala cahaya yang penuh
maghfirah dan rahmah. Agar doa-doanya sampai, ia harus mengikis hijab kokoh itu.
Tapi mungkinkah aku?
Ya,
aku merindukan terbuka hijab rohaniah itu. Aku ingin memulainya dengan dzikir.
Tatkala berdzikir, aku ingin rasa penat tak kuhiraukan, peluh membanjir biarlah
ada. Aku ingin terpencil dalam hingar-bingarnya kota, menyendiri dalam
konsentrasi. Aku ingin lupa keduniawian untuk memasuki alam ‘kebakaan’. Aku ingin duduk dalam keterpisahan dan
keterasingan, untuk hanya menghadirkan Kalimah Allah yang Maha Suci.
Aku
ingin, Tuhan semata yang kumaksud, ridla-Nya yang kutuntut. Bibirku, wajahku,
telapak tanganku, kulitku, dagingku, tulang-belulangku, uratku, ubun-ubunku,
darahku, nafasku, pikiranku, seluruh rasaku, hati jiwaku, sukmaku, dan hening
sepiku ingin kuikutkan berdo’a dalam dzikir. Hanya Kalimah Allah yang Maha Suci
yang bisa mensucikan hati nurani dari noda-noda syirik khafie, yang dimasukkan
iblis laknatullah ke dalam diriku.
Bahkan
aku ingin bagaikan orang mati. Sendi-sendi tulangku lunglai, lenyap kekuatan
jasmaniku, remuk hatiku bak pelataran tak terurus, bak gedung tak berpenghuni,
bak mesin kehabisan daya. Aku bagai orang buta-tuli: seakan bibirku bengkak
nyeri, gigiku tanggal, lidahku bisu-kelu dan kasar, rahangku bernanah, kedua
tanganku lumpuh dan tak kuasa memegang sesuatu pun kecuali bijih tasbih. Kakiku
gemetar penuh luka, dan tubuhku bagai mayat diangkut ke kubur.
Kawan,
keinginan-keinginan itu selalu menyiksaku, karena sering aku tak mampu
melakukannya. Kedirian telah lama menjajahku. Guruku pernah berpesan, bahwa
kedirian (nafs) manusia itu teramat pongah. “Maka keluarlah dari kedirianmu,
bersihkan nafs amarah. Juga nafs lawwamah. Buanglah keakuanmu sampai
tak tersisa dari kalbumu. Dan berpalinglah hanya kepada-Nya semata, dengan jiwa
tenang (nafs muthmainnah)…”
Masih
menurut Guru: “Keluarlah dari keakuanmu bagaikan seekor ular keluar dari
selongsong tubuthnya. Segala kebajikan terletak pada memerangi kedirian dalam
dalam setiap hal dan keadaan yang bathil. Maka jika ada kesalahan, tundukkanlah
kedirianmu hingga kau terbebas dari keterikatan, ketergantungan, dan
keterbelengguan manusia lain.”
Selanjutnya:
“Rindukanlah sebuah perjumpaan atau liqa’ dengan-Nya pada pendapa sutra yang
dinaungi rahmat hidayah-Nya, dengan jiwa tenang, dengan ridha dan diridhai. Jangan
berkedip bila memandang nur-Nya. Contohlah tatkala nabi kita shalat, dari kalbu
beliau terdengar gemuruh bak air mendidih di dalam ketel, karenaintensitas
ketakutan yang timbul dari penglihatan atau ma’rifat beliau akan Kekuasaan dan
Kebesaran-Nya…”
Akhirnya:
“Bersabarlah dalam dzikir. Tegarkan kesabaran itu. Semoga kau menang dan
beruntung. Kau harus mati dalam hidup, hidup dalam mati. Bila matang dzikirmu,
kau berada dalam keadaan mati yang hidup, hidup yang mati. Rohmu sudah menembus
kedamaian alam yang abadi. Tiada jarak atau hijab antara rohmu dan nur agung
Ilahi. Itulah esensi tertinggi dari sebuah dzikir.”
Begitulah,
kawan, aku dambakan terbukanya hijab rohaniahku. Terbuka-tidaknya hijab itu
bisa menjelaskan mengapa ada ayat yang menyiratkan bahwa Allah sedekat urat
leher (Wa nahnu aqrabu Ilaihi min hablil
wariid, QS. Qaf: 16). Ketika orang ditanya seberapa dekat dengan Tuhan,
tentu saja bingung, bagi yang tidak mengalaminya. Tapi para sufi atau orang
suci yang mengalaminya akan bisa menjelaskan seberapa dekat dirinya dengan
Allah. Sayangnya, aku bukanlah seorang sufi; aku manusia yang masih berkutat
dalam maqam syariat—belum meniti maqam thariqat, haqiqat, ma’rifat, dan
seterusnya.
Meski rata-rata sufi yang sudah
sangat matang (yang sudah mencapai maqam haqiqat, ma'rifat atau fana, baqa,
liqa, dan malah ke atasnya lagi seperti Ghaust--yakni maqamnya Syech Abdul
Qadir Jailany) tidak mau mengaku seberapa dekatnya mereka dengan Allah, tapi
pernah ada kisah Syech Siti Jenar yang terang-terangan mengaku penyatuannya (wahdatul wujud) dengan Allah. Sayangnya,
pengakuannya tidak pada tempatnya (di depan orang awam), sehingga dia dihukum
oleh para sufi lain (diwakili Wali Sanga) karena dianggap berbahaya.
Kawan, dengan demikian, terbukanya
hijab rohaniah itu syarat shalat khusyu’, sedangkan pembuka hijab itu dzikir
siang-malam dengan cara yang benar dan atas bimbingan Guru rohani yang mukhlis.
Sederhana saja caraku berpikir. Kalau kalbu tidak dalam keadaan dzikir, berarti
aku tidak bisa sampai ke dimensi rohaniah Allah, sehingga kekhusyukan sulit untuk
aku dapatkan.
Ibaratnya, hijab dengan Tuhan
laksana radio-pemancar dan penerimanya. Radio akan berbunyi bila frekuensi
gelombangnya sama. Bila antara pesawat pemancar dan pesawat penerima berbeda
frekuensi, tentu saja tidak berhubungan. Kalau pemancar radio berfrekwensi FM,
lalu aku menyetel radio penerimaku pada frekwensi AM, pastilah tak akan nyambung,
meskipun radio penerimaku itu aku tempelkan ke dinding stasiun pemancar. Nah,
"frekwensi" rohaniahku dalam shalat juga harus berada dalam naungan
atau pancaran frekwensi rohaniah Allah.
Ya Allah, izinkan aku mengalami
terbukanya hijab, agar menikmati shalat khusyu’. Limpahkan kekuatan
lahir-bathin agar shalat khusyu’ku mampu mencuci dan mensucikan aku dari
nafs-nafs yang dihembuskan dan dimasukkan iblis laknatullah. Di akhir hariku kelak
izinkan aku sowan di hadapan-Mu dengan perasaan ridha dan Engkau ridhai.
Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah.
Irji’iy ilaa rabbiki raadhiyatan mardhiyyah. Fadhuli fiy ‘ibaadiy, wadhuli
jannatiy.***
Driyorejo,
Gresik
Lingsir
Esuk, 6 Maret 2013, pk. 01.00
1 komentar:
mantab gan.
Posting Komentar