It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

06 Maret 2013

CERMIN 1: SHALAT KHUSYU'


Much. Khoiri

Kawan, pernahkah engkau menunaikan shalat tidak khusyu dan dalam kalbu yang tidak berdzikir? Setiap hari engkau terbang ke sana kemari. Pagi di Jakarta, siang sedikit di Surabaya, menjelang sore di Balikpapan, malam sudah di Jakarta kembali, dan begitu seterusnya. Ah, semoga engkau dijauhkan dari shalat yang tak disertai kalbu berdzikir...


Bagiku sendiri, shalat dan berdoa sepenuh kalbu teramat sulit. Selama bertahun-tahun aku telah bershalat-berdoa, namun aku belum mengalami kekhusyu’an yang purna. Aku selalu sibuk urusan kantor ini dan itu, demi menyambung hidup keluarga di tengah kota yang kian buas. Urusan dunia ini begitu kokoh menjeratku sehingga aku tak berdaya dan rela menjadi budaknya. Dalam bahasa Guruku, shalat tak khusyu itu akibat iblis laknatullah yang masih bersarang dalam kalbu.

Dalam kondisi biasa, aku masih rutin shalat lalu berdoa dengan khusyu’ dan tawadlu’ (ini pun menurut perasaanku). Namun, bila kantorku makin sibuk, dan berbagai deadline terus mengejar, apalagi saat berdinas ke luar-kota, shalatku belang-belang dan bolong-blong. Menyempatkan shalat hanya beberapa menit saja, terasa eman sekali. Menjamak dan meng-qasar shalat, seringkali, juga terlepas. Ketika aku mesti menghadiri rapat-rapat bertaraf nasional, apalagi?

Padahal, saya sejatinya sadar sesadar-sadarnya, bahwa shalat khusyu' –sebagaimana yg diwejangkan Guruku—itu harus dilakukan dengan kalbu yang dzikir, yakni kalbu yang sudah dibiasakan untuk berdzikir siang malam. Kalbu yang berdzikir itu syarat mutlak bagi tegaknya (bukan sekadar melaksanakan!) shalat khusyu’. Wadzakarasma rabbini fashalla (Dan dzikirlah akan Tuhanmu dan tegakkanlah shalat. QS.Al-A’la: 15).

Mengapa demikian? Kalbu yang dzikir itu berada dalam dimensi pancaran nur (nurun ‘alannuurin) yang sangat halus, dan hanya dimensi inilah yang berkemungkinan untuk bersentuhan dan berpadu dengan pancaran nur Allah. Artinya, orang yang kalbunya selalu berdizikir, dia memiliki frekwensi yang dapat menangkap frekwensi nur/rohaniah Allah.

Dalam kondisi demikian, semakin hilang hijab atau penghalang orang dengan Allah--dalam bahasa sederhana, dia bisa berkomunikasi rohaniah dengan Allah. Itulah sebabnya orang yang khusyu' shalatnya sangat menikmati shalatnya, dan akan berlama-lama dalam shalatnya, akibat kenikmatan yang dia peroleh dengan komunikasi dan audiensi dengan Allah. Ya Allah, kapankah Engkau limpahkan kesempatan untukku untuk berlama-lama dalam shalat dan menikmati persuaan dengan-Mu?

Kawan, Guruku pernah bilang, selagi manusia masih punya hijab atau penghalang dalam berhubungan-rohaniah dengan Tuhan, ia pastilah sulit berintim-intim dengan-Nya. Hijab itu gunung baja. Jangankan berintim-intim, ber-audensi rohaniah secara langsung, menyentuh sebintik roh-kudus-Nya saja pun mustahil. Padahal, kukira, orang yang ingin dikabulkan doa-doanya, ia mutlak harus berada dalam naungan roh-kudus-Nya yang agung suatu pancaran dari Empunya segala cahaya yang penuh maghfirah dan rahmah. Agar doa-doanya sampai, ia harus mengikis hijab kokoh itu. Tapi mungkinkah aku?

Ya, aku merindukan terbuka hijab rohaniah itu. Aku ingin memulainya dengan dzikir. Tatkala berdzikir, aku ingin rasa penat tak kuhiraukan, peluh membanjir biarlah ada. Aku ingin terpencil dalam hingar-bingarnya kota, menyendiri dalam konsentrasi. Aku ingin lupa keduniawian untuk memasuki alam ‘kebakaan’.  Aku ingin duduk dalam keterpisahan dan keterasingan, untuk hanya menghadirkan Kalimah Allah yang Maha Suci.

Aku ingin, Tuhan semata yang kumaksud, ridla-Nya yang kutuntut. Bibirku, wajahku, telapak tanganku, kulitku, dagingku, tulang-belulangku, uratku, ubun-ubunku, darahku, nafasku, pikiranku, seluruh rasaku, hati jiwaku, sukmaku, dan hening sepiku ingin kuikutkan berdo’a dalam dzikir. Hanya Kalimah Allah yang Maha Suci yang bisa mensucikan hati nurani dari noda-noda syirik khafie, yang dimasukkan iblis laknatullah ke dalam diriku.

Bahkan aku ingin bagaikan orang mati. Sendi-sendi tulangku lunglai, lenyap kekuatan jasmaniku, remuk hatiku bak pelataran tak terurus, bak gedung tak berpenghuni, bak mesin kehabisan daya. Aku bagai orang buta-tuli: seakan bibirku bengkak nyeri, gigiku tanggal, lidahku bisu-kelu dan kasar, rahangku bernanah, kedua tanganku lumpuh dan tak kuasa memegang sesuatu pun kecuali bijih tasbih. Kakiku gemetar penuh luka, dan tubuhku bagai mayat diangkut ke kubur.

Kawan, keinginan-keinginan itu selalu menyiksaku, karena sering aku tak mampu melakukannya. Kedirian telah lama menjajahku. Guruku pernah berpesan, bahwa kedirian (nafs) manusia itu teramat pongah. “Maka keluarlah dari kedirianmu, bersihkan nafs amarah. Juga nafs lawwamah. Buanglah keakuanmu sampai tak tersisa dari kalbumu. Dan berpalinglah hanya kepada-Nya semata, dengan jiwa tenang (nafs muthmainnah)…”

Masih menurut Guru: “Keluarlah dari keakuanmu bagaikan seekor ular keluar dari selongsong tubuthnya. Segala kebajikan terletak pada memerangi kedirian dalam dalam setiap hal dan keadaan yang bathil. Maka jika ada kesalahan, tundukkanlah kedirianmu hingga kau terbebas dari keterikatan, ketergantungan, dan keterbelengguan manusia lain.”

Selanjutnya: “Rindukanlah sebuah perjumpaan atau liqa’ dengan-Nya pada pendapa sutra yang dinaungi rahmat hidayah-Nya, dengan jiwa tenang, dengan ridha dan diridhai. Jangan berkedip bila memandang nur-Nya. Contohlah tatkala nabi kita shalat, dari kalbu beliau terdengar gemuruh bak air mendidih di dalam ketel, karenaintensitas ketakutan yang timbul dari penglihatan atau ma’rifat beliau akan Kekuasaan dan Kebesaran-Nya…”

Akhirnya: “Bersabarlah dalam dzikir. Tegarkan kesabaran itu. Semoga kau menang dan beruntung. Kau harus mati dalam hidup, hidup dalam mati. Bila matang dzikirmu, kau berada dalam keadaan mati yang hidup, hidup yang mati. Rohmu sudah menembus kedamaian alam yang abadi. Tiada jarak atau hijab antara rohmu dan nur agung Ilahi. Itulah esensi tertinggi dari sebuah dzikir.”

Begitulah, kawan, aku dambakan terbukanya hijab rohaniahku. Terbuka-tidaknya hijab itu bisa menjelaskan mengapa ada ayat yang menyiratkan bahwa Allah sedekat urat leher (Wa nahnu aqrabu Ilaihi min hablil wariid, QS. Qaf: 16). Ketika orang ditanya seberapa dekat dengan Tuhan, tentu saja bingung, bagi yang tidak mengalaminya. Tapi para sufi atau orang suci yang mengalaminya akan bisa menjelaskan seberapa dekat dirinya dengan Allah. Sayangnya, aku bukanlah seorang sufi; aku manusia yang masih berkutat dalam maqam syariat—belum meniti maqam thariqat, haqiqat, ma’rifat, dan seterusnya.

Meski rata-rata sufi yang sudah sangat matang (yang sudah mencapai maqam haqiqat, ma'rifat atau fana, baqa, liqa, dan malah ke atasnya lagi seperti Ghaust--yakni maqamnya Syech Abdul Qadir Jailany) tidak mau mengaku seberapa dekatnya mereka dengan Allah, tapi pernah ada kisah Syech Siti Jenar yang terang-terangan mengaku penyatuannya (wahdatul wujud) dengan Allah. Sayangnya, pengakuannya tidak pada tempatnya (di depan orang awam), sehingga dia dihukum oleh para sufi lain (diwakili Wali Sanga) karena dianggap berbahaya.

Kawan, dengan demikian, terbukanya hijab rohaniah itu syarat shalat khusyu’, sedangkan pembuka hijab itu dzikir siang-malam dengan cara yang benar dan atas bimbingan Guru rohani yang mukhlis. Sederhana saja caraku berpikir. Kalau kalbu tidak dalam keadaan dzikir, berarti aku tidak bisa sampai ke dimensi rohaniah Allah, sehingga kekhusyukan sulit untuk aku dapatkan.

Ibaratnya, hijab dengan Tuhan laksana radio-pemancar dan penerimanya. Radio akan berbunyi bila frekuensi gelombangnya sama. Bila antara pesawat pemancar dan pesawat penerima berbeda frekuensi, tentu saja tidak berhubungan. Kalau pemancar radio berfrekwensi FM, lalu aku menyetel radio penerimaku pada frekwensi AM, pastilah tak akan nyambung, meskipun radio penerimaku itu aku tempelkan ke dinding stasiun pemancar. Nah, "frekwensi" rohaniahku dalam shalat juga harus berada dalam naungan atau pancaran frekwensi rohaniah Allah.

Ya Allah, izinkan aku mengalami terbukanya hijab, agar menikmati shalat khusyu’. Limpahkan kekuatan lahir-bathin agar shalat khusyu’ku mampu mencuci dan mensucikan aku dari nafs-nafs yang dihembuskan dan dimasukkan iblis laknatullah. Di akhir hariku kelak izinkan aku sowan di hadapan-Mu dengan perasaan ridha dan Engkau ridhai.

Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah. Irji’iy ilaa rabbiki raadhiyatan mardhiyyah. Fadhuli fiy ‘ibaadiy, wadhuli jannatiy.***

Driyorejo, Gresik
Lingsir Esuk, 6 Maret 2013, pk. 01.00

1 komentar: